Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
APAKAH gerakan reformasi yang sudah berusia 27 tahun bisa disebut berhasil atau malah gagal? Jawabannya tergantung dari sudut pandang yang mana dan dalam hal ihwal apa. Sebab, 'gagal' dan 'berhasil' itu kiranya bertetangga dekat. Penggunaan dua kata itu, walaupun berada di kutub yang jauh berbeda, bisa diterapkan dalam situasi yang sama. Itu tergantung perspektif apa yang digunakan.
Dalam memandang penurunan angka kemiskinan yang dilakukan dari rezim ke rezim, misalnya, kata 'berhasil' dan 'gagal' bisa diterapkan sekaligus. Bila yang dimaksud adalah persentase orang miskin menurun selama 27 tahun atau setidak-tidaknya 10 tahun terakhir, kata 'berhasil' boleh disematkan.
Fakta menunjukkan, dalam kurun satu dekade terakhir, pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 10,96% pada September 2014 menjadi 8,57% pada September 2024. Secara jumlah, penduduk miskin juga berkurang jika dibandingkan dengan satu dekade lalu, yakni berkurang 3,06 juta orang, dari 28,28 juta orang menjadi 25,26 juta orang.
Namun, capaian perjuangan memerangi kemiskinan itu tetap ada yang menyebutnya dengan kata 'gagal'. Apa tolok ukurnya? Barometernya target sebagaimana yang sudah dicanangkan dalam RPJMN (rencana pembangunan jangka menengah basional). Kalau sudut pandang ukurannya target, fakta menunjukkan penurunan angka kemiskinan meleset, alias gagal mencapai target.
Mari kita kupas tahun demi tahun urusan target perang melawan kemiskinan ini. Berdasarkan data RPJMN dan Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan ditargetkan turun menjadi 10% pada 2015. Namun, realisasinya angka kemiskinan masih 11,22%. Pada 2016, target penurunan angka kemiskinan menjadi 9,5%, tapi realisasinya meleset dari target karena kemiskinan masih di angka 10,86%.
Pada 2017, angka kemiskinan di Indonesia masih 10,64%, tidak sesuai dengan yang ditargetkan di angka 9%. Kemudian, pada tahun berikutnya pemerintah hanya mampu menekan angka kemiskinan di level 9,82%, gagal mencapai target yang sebesar 8%. Pada 2019, pemerintah juga gagal menekan angka kemiskinan sesuai dengan RPJMN. Dari target yang dipatok 7,5%, angka kemiskinan masih di angka 9,41%.
Pada RPJMN 2020-2024, pemerintah tidak meletakkan target angka kemiskinan secara per tahun, tapi mematok langsung ke akhir 2024, yakni di kisaran 6%-7%. Namun, sampai September 2024, angka kemiskinan di Indonesia masih 8,57%. Angka kemiskinan ekstrem yang ditargetkan lenyap pada akhir 2024, juga meleset dari target karena realisasinya hingga kini masih ada lebih dari sejuta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Lalu, sebagian orang bertanya: jika demikian adanya, siapa yang salah? Kinerja atau targetnya? Lagi-lagi, seperti kata 'berhasil' dan 'gagal' yang bertetangga dekat, kata 'salah' dan 'benar' dalam konteks target capaian penurunan kemiskinan juga 'bersaudara dekat'.
Soal salah dan benar ini kiranya selalu menjadi perdebatan sepanjang waktu, khususnya menjawab mana yang benar soal bagaimana cara pandang negara terhadap kemiskinan. Boleh jadi masih ada elemen negara yang berpandangan bahwa akar masalah kemiskinan di Republik ini ialah murni problem kultural. Padahal, dalam banyak riset disebutkan akar masalah kemiskinan di negeri ini ialah persoalan struktural.
Dalam perspektif sosiologis, terjadinya kemiskinan bukanlah semata akibat seseorang itu kurang berusaha, pemalas, atau sekadar tidak beruntung sehingga jatuh miskin bahkan mewariskan kemiskinan. Kemiskinan acap kali berakar pada sebab struktural yang berada di luar kendali orang per orang.
Faktor penyebab itu bisa berwujud dalam regulasi yang tidak berpihak; diskriminasi yang membatasi akses terhadap pendidikan dan kesehatan; hingga kegagalan penciptaan lapangan kerja yang layak. Ditambah dengan sumber daya ekonomi dan politik yang terkonsentrasi di segelintir orang, kian paripurnalah kemiskinan itu, dilanggengkan oleh berbagai kebijakan yang bersifat struktural.
Dalam konteks itu, kegagalan menurunkan angka kemiskinan sesuai dengan target RPJMN yang pernah dibikin sendiri oleh pemerintah sebelumnya lebih mengarah ke kegagalan mengatasi problem-problem struktural. Pun kemerosotan jumlah kelas menengah di Indonesia dalam lima tahun terakhir dan makin banyaknya orang yang turun kelas jadi masyarakat rentan miskin bisa dilihat sebagai fenomena pemiskinan struktural.
Kata Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin, "Penurunan kelas menengah adalah refleksi dari fondasi ekonomi Indonesia, yaitu kegagalan tranformasi struktural perekonomian, deindustrialisasi terlalu dini, dan ketidaktersambungan antara sektor pertanian, sektor industri, dan jasa."
Saya sepakat dengan penilaian itu. Persoalan struktural yang membelit kemiskinan di negeri ini mesti diatasi dengan cara-cara struktural. Kebijakan menahan agar orang tidak turun kelas saja masih rapuh, apalagi menaikkan kelas agar tidak menjadi miskin. Jadi, dibutuhkan upaya struktural yang ekstra dalam bentuk keberpihakan kebijakan bila mau target-target penurunan kemiskinan menjadi kenyataan.
Kalau bukan langkah seperti itu yang terjadi, wajar belaka bila banyak yang frustrasi, lalu menghibur diri, seperti tecermin dari seabrek syair lagu di negeri ini yang 'membenarkan' hidup dalam kemiskinan: 'Biar miskin harta asal kaya hati', 'tidak apa jadi termiskin di dunia asal jadi yang paling mencintai dirimu', 'biarkan makan sepiring berdua asal selalu bersama'.
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved