Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
NEGERI ini akan damai tanpa buzzer. Itulah ungkapan sekaligus harapan banyak orang terkait dengan betapa berbahayanya sepak terjang buzzer. Sebagaimana profesi lainnya, buzzer awalnya juga baik, tapi lama kelamaan banyak yang buruk.
Menurut penelitian Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017, buzzer pertama kali muncul di Indonesia pada 2009 bersamaan dengan maraknya pengguna Twitter. Disebutkan pula, penggunaan buzzer mencapai puncaknya ketika Pilkada DKI Jakarta 2012. Sejak saat itu, buzzer semakin berbiak jelang pemilihan umum.
CIPG mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang berkemampuan mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan bergerak dengan motif tertentu. Adanya buzzer erat kaitannya dengan teori opinion leader dan hierarchy of influence.
Senada, penelitian University of Oxford mengungkapkan bahwa buzzer atau pendengung awalnya ialah penyedia jasa untuk melakukan promosi, kampanye, hingga memberitahukan hal-hal yang penting. Buzzer dibayar, bahkan boleh dibilang bekerja semata-mata karena bayaran. Dengan kemampuannya memengaruhi opini, terutama di medsos, mereka cuan.
Namun, buzzer lantas bersulih wajah dari menyejukkan menjadi menyeramkan. Buzzer kemudian akrab sebagai pelaku doxing (menyebar data pribadi), trolling (provokasi), hingga mengkreasi dan menyebarkan disinformasi (hoaks). Pekerjaan itu tentu terpaut dengan perut. Maka itu, muncullah istilah buzzer bayaran alias buzzer Rp.
Di negeri ini, buzzer menjadi masalah. Dalam setiap kontestasi demokrasi, mereka kerap menjadi penyulut ketegangan. Kampanye hitam menjadi andalan. Menghancurkan karakter orang ialah kebiasaan. Semua dilakukan berdasarkan orderan. Ada uang, status apa pun bisa dipesan.
Bukan cuma soal politik, bukan hanya urusan perebutan kekuasaan, buzzer juga laku di pergulatan hukum, bahkan dalam hal pemberantasan korupsi. Itulah yang diungkap oleh Kejaksaan Agung. Pada Rabu (7/5), Korps Adhyaksa menetapkan seorang ketua buzzer berinisial MAM atau M Adhiya Muzakki sebagai tersangka kasus perintangan penanganan tiga perkara korupsi kelas hiu, yaitu ekspor crude palm oil (CPO), tata niaga komoditas timah, dan importasi gula.
Kasus itu masih ada kaitannya dengan penetapan tersangka terhadap pengacara MS (Marcella Santoso), JS (Junaedi Saibih) selaku advokat dan dosen, serta Direktur Pemberitaan JAKTV, TB (Tian Bahtiar). Kronologinya, menurut Kejagung, bermula dari kesepakatan keempat tersangka untuk membuat berita dan konten negatif tentang penanganan perkara tersebut. Semua dirancang untuk menyudutkan kejaksaan, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupunpersidangan.
Atas permintaan Marcella, masih kata Kejagung, Adhiya membuat tim cyber army untuk menyebarkan narasi negatif itu di dunia maya, di Tiktok, Instagram, atau Twitter. Tim dibagi menjadi lima, Mustafa I hingga Mustafa V. Jumlah pasukannya terbilang banyak, total 150 orang. Tentu, mereka bekerja tidak suka rela, tak cuma-cuma. Mereka dibayar. Nominalnya Rp1,5 juta per orang. Sebagai bos, cuan yang didulang Adhiya jelas lebih besar. Kejagung berujar, dia total memperoleh Rp697,5 juta dan Rp167 juta dari Marcella. Sungguh bisnis yang menggiurkan.
Siapakah Adhiya? Dia diketahui punya organisasi bernama Penggerak Milenial Indonesia. Di situ, dia koordinator. Adhiya juga tercatat sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, bahkan sempat terpilih sebagai Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Jabodetabek-Banten 2021-2023.
Jejak Adhiya juga menunjukkan bahwa dirinya loyalis sejati Jokowi. Unggahan lawasnya yang berbunyi, 'Yang fana ialah waktu. Jokowi abadi', menegaskan siapa dia. Bukan sekadar loyalis, kiranya dia merupakan pemuja Jokowi.
Benarkah semua sangkaan Kejagung terhadap Adhiya tersebut? Biarkan pengadilan nanti yang memutuskan. Yang pasti, keyakinan bahwa ada banyak buzzer jahat berideologi uang bukanlah sekadar khayalan. Kalau betul apa yang dikatakan kejaksaan, Adhiya hanyalah salah satunya.
Kenapa buzzer-buzzer semacam itu enggak ada matinya? Perkembangan zaman ialah salah satu penyebabnya. Karena dipelihara ialah faktor lainnya. Ibarat hukum ekonomi, buzzer laku karena ada yang membutuhkan. Ia bak pisau bedah. Ampuh untuk memoles citra, mengubah wajah yang sebenarnya buruk menjadi orang baik.
Dalam pilkada, pemilu, atau pilpres, buzzer laris manis. Mereka yang akhirnya berkuasa pun memberikan tempat terhormat kepada buzzer. Pak Jokowi, misalnya. Tidak hanya sekali, dia disebut pernah mengundang mereka ke rumah milik negara. Pada 2017 ke Istana Negara Jakarta, lalu pada 2020 ke Istana Bogor. Klaimnya, sih, mereka ialah pegiat media sosial. Katanya, sih, untuk membicarakan persoalan negara.
Buzzer juga mendapat tempat mulia saat ini. Sulit diterima nalar bagaimana seorang pendengung dilantik menjadi Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Digital. Namanya Rudi Sutanto alias Rudi Valinka. Dia ditengarai punya akun Twitter dengan nama Kurawa. Unggahannya tak jarang kontroversial.
Buzzer jahat sebenarnya serupa dengan preman. Sama-sama meresahkan, tetapi dibutuhkan, bahkan dimuliakan. Buzzer dipelihara, jangan harap negeri ini bisa bersih dari ulah mereka.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved