Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Antara Buzzer dan Preman

15/5/2025 05:00
Antara Buzzer dan Preman
Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

NEGERI ini akan damai tanpa buzzer. Itulah ungkapan sekaligus harapan banyak orang terkait dengan betapa berbahayanya sepak terjang buzzer. Sebagaimana profesi lainnya, buzzer awalnya juga baik, tapi lama kelamaan banyak yang buruk.

Menurut penelitian Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017, buzzer pertama kali muncul di Indonesia pada 2009 bersamaan dengan maraknya pengguna Twitter. Disebutkan pula, penggunaan buzzer mencapai puncaknya ketika Pilkada DKI Jakarta 2012. Sejak saat itu, buzzer semakin berbiak jelang pemilihan umum.

CIPG mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang berkemampuan mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan bergerak dengan motif tertentu. Adanya buzzer erat kaitannya dengan teori opinion leader dan hierarchy of influence.

Senada, penelitian University of Oxford mengungkapkan bahwa buzzer atau pendengung awalnya ialah penyedia jasa untuk melakukan promosi, kampanye, hingga memberitahukan hal-hal yang penting. Buzzer dibayar, bahkan boleh dibilang bekerja semata-mata karena bayaran. Dengan kemampuannya memengaruhi opini, terutama di medsos, mereka cuan.

Namun, buzzer lantas bersulih wajah dari menyejukkan menjadi menyeramkan. Buzzer kemudian akrab sebagai pelaku doxing (menyebar data pribadi), trolling (provokasi), hingga mengkreasi dan menyebarkan disinformasi (hoaks). Pekerjaan itu tentu terpaut dengan perut. Maka itu, muncullah istilah buzzer bayaran alias buzzer Rp.

Di negeri ini, buzzer menjadi masalah. Dalam setiap kontestasi demokrasi, mereka kerap menjadi penyulut ketegangan. Kampanye hitam menjadi andalan. Menghancurkan karakter orang ialah kebiasaan. Semua dilakukan berdasarkan orderan. Ada uang, status apa pun bisa dipesan.

Bukan cuma soal politik, bukan hanya urusan perebutan kekuasaan, buzzer juga laku di pergulatan hukum, bahkan dalam hal pemberantasan korupsi. Itulah yang diungkap oleh Kejaksaan Agung. Pada Rabu (7/5), Korps Adhyaksa menetapkan seorang ketua buzzer berinisial MAM atau M Adhiya Muzakki sebagai tersangka kasus perintangan penanganan tiga perkara korupsi kelas hiu, yaitu ekspor crude palm oil (CPO), tata niaga komoditas timah, dan importasi gula.

Kasus itu masih ada kaitannya dengan penetapan tersangka terhadap pengacara MS (Marcella Santoso), JS (Junaedi Saibih) selaku advokat dan dosen, serta Direktur Pemberitaan JAKTV, TB (Tian Bahtiar). Kronologinya, menurut Kejagung, bermula dari kesepakatan keempat tersangka untuk membuat berita dan konten negatif tentang penanganan perkara tersebut. Semua dirancang untuk menyudutkan kejaksaan, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupunpersidangan.

Atas permintaan Marcella, masih kata Kejagung, Adhiya membuat tim cyber army untuk menyebarkan narasi negatif itu di dunia maya, di Tiktok, Instagram, atau Twitter. Tim dibagi menjadi lima, Mustafa I hingga Mustafa V. Jumlah pasukannya terbilang banyak, total 150 orang. Tentu, mereka bekerja tidak suka rela, tak cuma-cuma. Mereka dibayar. Nominalnya Rp1,5 juta per orang. Sebagai bos, cuan yang didulang Adhiya jelas lebih besar. Kejagung berujar, dia total memperoleh Rp697,5 juta dan Rp167 juta dari Marcella. Sungguh bisnis yang menggiurkan.

Siapakah Adhiya? Dia diketahui punya organisasi bernama Penggerak Milenial Indonesia. Di situ, dia koordinator. Adhiya juga tercatat sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, bahkan sempat terpilih sebagai Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Jabodetabek-Banten 2021-2023.

Jejak Adhiya juga menunjukkan bahwa dirinya loyalis sejati Jokowi. Unggahan lawasnya yang berbunyi, 'Yang fana ialah waktu. Jokowi abadi', menegaskan siapa dia. Bukan sekadar loyalis, kiranya dia merupakan pemuja Jokowi.

Benarkah semua sangkaan Kejagung terhadap Adhiya tersebut? Biarkan pengadilan nanti yang memutuskan. Yang pasti, keyakinan bahwa ada banyak buzzer jahat berideologi uang bukanlah sekadar khayalan. Kalau betul apa yang dikatakan kejaksaan, Adhiya hanyalah salah satunya.

Kenapa buzzer-buzzer semacam itu enggak ada matinya? Perkembangan zaman ialah salah satu penyebabnya. Karena dipelihara ialah faktor lainnya. Ibarat hukum ekonomi, buzzer laku karena ada yang membutuhkan. Ia bak pisau bedah. Ampuh untuk memoles citra, mengubah wajah yang sebenarnya buruk menjadi orang baik.

Dalam pilkada, pemilu, atau pilpres, buzzer laris manis. Mereka yang akhirnya berkuasa pun memberikan tempat terhormat kepada buzzer. Pak Jokowi, misalnya. Tidak hanya sekali, dia disebut pernah mengundang mereka ke rumah milik negara. Pada 2017 ke Istana Negara Jakarta, lalu pada 2020 ke Istana Bogor. Klaimnya, sih, mereka ialah pegiat media sosial. Katanya, sih, untuk membicarakan persoalan negara.

Buzzer juga mendapat tempat mulia saat ini. Sulit diterima nalar bagaimana seorang pendengung dilantik menjadi Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Digital. Namanya Rudi Sutanto alias Rudi Valinka. Dia ditengarai punya akun Twitter dengan nama Kurawa. Unggahannya tak jarang kontroversial.

Buzzer jahat sebenarnya serupa dengan preman. Sama-sama meresahkan, tetapi dibutuhkan, bahkan dimuliakan. Buzzer dipelihara, jangan harap negeri ini bisa bersih dari ulah mereka.

 

 



Berita Lainnya
  • Ibadah bukan Ladang Rasuah

    16/8/2025 05:00

    LADANG ibadah malah dijadikan ladang korupsi.

  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.