Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Modal Karakter

10/5/2025 05:00
Modal Karakter
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SEJAK awal bulan ini, Media Indonesia membuat ajakan kepada siapa pun di negeri ini untuk membuat bangkit Indonesia. Ajakan itu bahkan disimbolkan dengan logo dan tagar #BangkitIndonesia. Kebetulan, bulan ini, Mei, ada peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Maksud ajakan itu sederhana, yakni agar kita lebih tergerak untuk menyalakan lilin ketimbang mengutuki kegelapan. Saat tantangan terasa kian mendaki, sudilah kiranya kita berbagi resep tentang bagaimana cara sukses menuju puncak. Setiap kepala pasti punya cerita dan cara yang tidak persis sama. Kian banyak kepala akan makin banyak jalan keluar.

Mustahil bangsa sebesar Indonesia dihuni kepala yang kosong. Tidak masuk akal bangsa sekuat Indonesia lahir dari kehampaan tanpa cita-cita. Sejak Indonesia merdeka, sudah berbilang kata dinyatakan bahwa 'kita bangsa besar, kita bangsa kuat'. Kekuatan itu terletak pada manusia-manusia Indonesia. Kebesaran itu terdapat pada kepala-kepala anak bangsa yang cemerlang.

Bung Karno pernah mengatakan besar-kecilnya suatu bangsa bukan ditentukan seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya. Namun, besar-kecilnya suatu bangsa ditentukan kuantitas dan kualitas tekad yang merupakan pancaran dari karakter bangsa itu sendiri.

"Maka Indonesia ialah bangsa besar. Kita bangsa yang kuat, yang digembleng. Yang jatuh, digembleng lalu bangkit lagi. Digembleng lagi, bangkit lagi," tegas Bung Karno dalam sebuah pidatonya.

Perkataan Bung Karno diamini penulis asal Belgia lulusan Universitas Leiden, David van Reybrouck. Lewat bukunya, Revolusi: Indonesia and the Birth of Modern World, David menyebut Indonesia sebagai 'bangsa pelopor'. Ia menyimpulkan, 'Sejarah Indonesia menorehkan peristiwa tanpa preseden dengan signifikansi global, yakni negara pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan pasca-Perang Dunia II'.

Karena itu, kita sejatinya memiliki banyak modal penting. Para pendiri Republik ini punya karakter sehingga mereka sanggup mewujudkan kemerdekaan. Mereka bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa pelopor, bukan pengekor. Mereka menunjukkan diri sebagai figur berkarakter. Makanya, mereka juga autentik ketika berbicara tentang pentingnya membangun karakter bangsa.

Melalui #BangkitIndonesia, kita mengajak bangsa ini melihat kembali rekam jejak sejarah bangsa yang berkarakter, dengan para pendiri bangsa yang juga berkarakter. Karakter bangsa dapat menjadi dasar tolok ukur kemajuan suatu negara.

Dengan karakter yang kuat, sebuah bangsa bisa tetap eksis meskipun terus dihadapkan dengan tren dan teknologi yang dapat berubah dengan sangat cepat dari waktu ke waktu. Seperti kata Bung Karno, bangsa yang kuat tak akan takluk oleh zaman karena kita berkepribadian dalam budaya. Itu ciri karakter bangsa yang kuat dan tangguh.

Karakter itu hidup dan menyejarah, tidak semata ditentukan selembar sertifikat pengakuan atau ijazah. Berkaitan dengan hal itu, lagi-lagi Bung Karno punya kisah, ia pernah mendapatkan kesan yang menarik saat diwisuda dari Institut Teknologi Bandung. Kala itu, sang rektor berpesan bahwa ijazah yang diterima Bung Karno bisa saja hilang dan robek, tetapi yang menentukan hidup kelak bukan secarik ijazah, melainkan karakter. Jadi, lebih besar daripada seorang Sukarno ialah jiwa dan karakter Sukarno itu sendiri.

Bangsa yang sehat itu seperti pohon. Terdiri dari akar yang kuat, batang pohon yang menjulang tinggi, ranting yang tersusun rapi, berdaun lebat, serta berbuah ranum. Akar pohon itu bisa disamakan dengan karakter. Kita boleh pintar dan cerdas, tetapi jika akarnya lemah, akan mudah roboh ketika diterpa angin kencang.

Karena itu, kehilangan karakter ialah bencana. Sebuah adagium menuliskan, 'kalau suatu bangsa kehilangan nilai mata uang, sejatinya tidak ada yang hilang dari bangsa itu. Jika suatu bangsa kehilangan kesehatan, bangsa itu akan kehilangan sesuatu dari dalam diri bangsa itu. Namun, bila suatu bangsa kehilangan karakter, apa pun yang bangsa itu miliki menjadi tiada arti. Bangsa yang hampa, kosong, tak punya nilai apa-apa'.

Saya sepenuhnya sepakat dengan adagium itu. Kita memang tengah menghadapi dekadensi moral yang akut: dari korupsi yang tak mati-mati, politik uang yang terus beranak-pinak, suara yang diperdagangkan, pemburu rente terus berkeliaran, penegakan keadilan yang masih kesepian, lapangan pekerjaan kalah balapan ketimbang pemburu pekerjaan, kesenjangan yang terus dipekikkan tapi masih bertahan, hingga pemerataan ekonomi yang sulit diwujudkan.

Namun, kiranya itu bukan alasan bagi kita untuk terus mengutuki keadaan. Ibarat terowongan panjang kegelapan, masih ada cahaya yang disulut sebagian orang. Kita, meminjam perkataan cendekiawan Nucholish Madjid, belum pada tahap gridlock, alias saling mengunci.

Karena itu, tidak ada kata lelah untuk berbuat baik, menguatkan karakter. Seperti pesan Nabi Muhammad SAW: "Jika sampai saat terakhir hidupmu kau masih sempat berbuat baik, berbuat baiklah walaupun sekadar dengan menanam sebiji sawi."



Berita Lainnya
  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.  

  • Debat Tarif Trump

    19/7/2025 05:00

    MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka? 

  • Jokowi dan Agenda Besar

    18/7/2025 05:00

    PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.

  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.

  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.

  • Gibran Tuju Papua Damai

    14/7/2025 05:00

    KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.  

  • Negosiasi Vietnam

    12/7/2025 05:00

    DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.

  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.