Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Modal Karakter

10/5/2025 05:00
Modal Karakter
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SEJAK awal bulan ini, Media Indonesia membuat ajakan kepada siapa pun di negeri ini untuk membuat bangkit Indonesia. Ajakan itu bahkan disimbolkan dengan logo dan tagar #BangkitIndonesia. Kebetulan, bulan ini, Mei, ada peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Maksud ajakan itu sederhana, yakni agar kita lebih tergerak untuk menyalakan lilin ketimbang mengutuki kegelapan. Saat tantangan terasa kian mendaki, sudilah kiranya kita berbagi resep tentang bagaimana cara sukses menuju puncak. Setiap kepala pasti punya cerita dan cara yang tidak persis sama. Kian banyak kepala akan makin banyak jalan keluar.

Mustahil bangsa sebesar Indonesia dihuni kepala yang kosong. Tidak masuk akal bangsa sekuat Indonesia lahir dari kehampaan tanpa cita-cita. Sejak Indonesia merdeka, sudah berbilang kata dinyatakan bahwa 'kita bangsa besar, kita bangsa kuat'. Kekuatan itu terletak pada manusia-manusia Indonesia. Kebesaran itu terdapat pada kepala-kepala anak bangsa yang cemerlang.

Bung Karno pernah mengatakan besar-kecilnya suatu bangsa bukan ditentukan seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya. Namun, besar-kecilnya suatu bangsa ditentukan kuantitas dan kualitas tekad yang merupakan pancaran dari karakter bangsa itu sendiri.

"Maka Indonesia ialah bangsa besar. Kita bangsa yang kuat, yang digembleng. Yang jatuh, digembleng lalu bangkit lagi. Digembleng lagi, bangkit lagi," tegas Bung Karno dalam sebuah pidatonya.

Perkataan Bung Karno diamini penulis asal Belgia lulusan Universitas Leiden, David van Reybrouck. Lewat bukunya, Revolusi: Indonesia and the Birth of Modern World, David menyebut Indonesia sebagai 'bangsa pelopor'. Ia menyimpulkan, 'Sejarah Indonesia menorehkan peristiwa tanpa preseden dengan signifikansi global, yakni negara pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan pasca-Perang Dunia II'.

Karena itu, kita sejatinya memiliki banyak modal penting. Para pendiri Republik ini punya karakter sehingga mereka sanggup mewujudkan kemerdekaan. Mereka bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa pelopor, bukan pengekor. Mereka menunjukkan diri sebagai figur berkarakter. Makanya, mereka juga autentik ketika berbicara tentang pentingnya membangun karakter bangsa.

Melalui #BangkitIndonesia, kita mengajak bangsa ini melihat kembali rekam jejak sejarah bangsa yang berkarakter, dengan para pendiri bangsa yang juga berkarakter. Karakter bangsa dapat menjadi dasar tolok ukur kemajuan suatu negara.

Dengan karakter yang kuat, sebuah bangsa bisa tetap eksis meskipun terus dihadapkan dengan tren dan teknologi yang dapat berubah dengan sangat cepat dari waktu ke waktu. Seperti kata Bung Karno, bangsa yang kuat tak akan takluk oleh zaman karena kita berkepribadian dalam budaya. Itu ciri karakter bangsa yang kuat dan tangguh.

Karakter itu hidup dan menyejarah, tidak semata ditentukan selembar sertifikat pengakuan atau ijazah. Berkaitan dengan hal itu, lagi-lagi Bung Karno punya kisah, ia pernah mendapatkan kesan yang menarik saat diwisuda dari Institut Teknologi Bandung. Kala itu, sang rektor berpesan bahwa ijazah yang diterima Bung Karno bisa saja hilang dan robek, tetapi yang menentukan hidup kelak bukan secarik ijazah, melainkan karakter. Jadi, lebih besar daripada seorang Sukarno ialah jiwa dan karakter Sukarno itu sendiri.

Bangsa yang sehat itu seperti pohon. Terdiri dari akar yang kuat, batang pohon yang menjulang tinggi, ranting yang tersusun rapi, berdaun lebat, serta berbuah ranum. Akar pohon itu bisa disamakan dengan karakter. Kita boleh pintar dan cerdas, tetapi jika akarnya lemah, akan mudah roboh ketika diterpa angin kencang.

Karena itu, kehilangan karakter ialah bencana. Sebuah adagium menuliskan, 'kalau suatu bangsa kehilangan nilai mata uang, sejatinya tidak ada yang hilang dari bangsa itu. Jika suatu bangsa kehilangan kesehatan, bangsa itu akan kehilangan sesuatu dari dalam diri bangsa itu. Namun, bila suatu bangsa kehilangan karakter, apa pun yang bangsa itu miliki menjadi tiada arti. Bangsa yang hampa, kosong, tak punya nilai apa-apa'.

Saya sepenuhnya sepakat dengan adagium itu. Kita memang tengah menghadapi dekadensi moral yang akut: dari korupsi yang tak mati-mati, politik uang yang terus beranak-pinak, suara yang diperdagangkan, pemburu rente terus berkeliaran, penegakan keadilan yang masih kesepian, lapangan pekerjaan kalah balapan ketimbang pemburu pekerjaan, kesenjangan yang terus dipekikkan tapi masih bertahan, hingga pemerataan ekonomi yang sulit diwujudkan.

Namun, kiranya itu bukan alasan bagi kita untuk terus mengutuki keadaan. Ibarat terowongan panjang kegelapan, masih ada cahaya yang disulut sebagian orang. Kita, meminjam perkataan cendekiawan Nucholish Madjid, belum pada tahap gridlock, alias saling mengunci.

Karena itu, tidak ada kata lelah untuk berbuat baik, menguatkan karakter. Seperti pesan Nabi Muhammad SAW: "Jika sampai saat terakhir hidupmu kau masih sempat berbuat baik, berbuat baiklah walaupun sekadar dengan menanam sebiji sawi."



Berita Lainnya
  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik