Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
HARI-HARI belakangan ini, publik di negeri ini merasakan dua kabar dengan jenis berbeda: kabar sedap dan kabar pahit. Dua kabar itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika biasanya kita memulai dari kabar yang sedap-sedap, yang baik-baik, yang menyenangkan, untuk kali ini izinkan saya menuliskan kabar pahit dulu. Tujuan saya agar di ujung bacaan, 'lidah' kita mencecap yang sedap, yang enak, yang manis.
Kabar kurang sedap pertama berasal dari pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) soal perekonomian kita pada awal tahun ini. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kita pada kuartal I 2025 ada di angka 4,87% year on year (yoy). Capaian itu lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal sebelumnya (kuartal IV 2024) yang mencapai 5,02%.
Raihan pertumbuhan pada awal tahun ini juga lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi pada kuartal yang sama 2024 lalu di angka 5,11%. Jadi, selain meleset dari target pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 yang minimal 5%, angka pertumbuhan pada awal tahun 'ular kayu' ini turun ketimbang capaian pertumbuhan kuartalan sebelum-sebelumnya. Bahkan tercatat sebagai pertumbuhan ekonomi terendah secara kuartalan sejak kuartal III 2021.
Di tengah upaya keras pemerintah menggenjot pertumbuhan hingga mencapai 8% pada 2028, raihan pertumbuhan pada kuartal pertama 2025 ini jelas kenyataan pahit yang mesti diterima, bukan disangkal. Sinyal bahwa ekonomi bakal melesu sebetulnya sudah digaungkan sejak pertengahan tahun lalu. Ketika itu, para analis ekonomi meyakini bahwa ekonomi akan tumbuh di bawah 5% karena daya beli masyarakat terus tergerus.
Padahal, daya beli ialah faktor paling menentukan buat belanja, perkara dominan untuk konsumsi. Celakanya, hingga pada kuartal I 2025 ini, sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi kita. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi masih lebih dari separuh, tepatnya 54,53%. Bila daya beli tergerus, konsumsi masyarakat berkurang, otomatis pertumbuhan ekonomi terganggu.
Karena itu, yang harus dilakukan pemerintah dua hal: mengakui ekonomi sedang lesu (menyetop beragam penyangkalan) dan menyelamatkan konsumsi masyarakat dengan menggenjot belanja pemerintah. Dengan menyetop penyangkalan, segala energi akan lebih tersalurkan untuk menemukan solusi. Dengan pemerintah mulai menggenjot belanja, konsumsi akan bangkit, roda ekonomi menggeliat, dan pertumbuhan akan terselamatkan dari kejatuhan pada kuartal-kuartal mendatang.
Berita pahit kedua, soal posisi indeks industri manufaktur kita, alias purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia pada April 2025 yang berada di level kontraksi 46,7. Angka itu merupakan terendah sejak masa pandemi covid-19. Padahal, selama lima bulan sebelumnya, PMI kita berada di zona ekspansif dengan skor indeks menurut S&P Global di angka 50 lebih sedikit.
Angka PMI dikatakan terkontraksi atau melesu bila skornya di bawah 50. Bila skor indeks di atas 50, artinya sektor manufaktur kita ekspansif, positif, dan ramah terhadap penyerapan tenaga kerja. Bila terus-terusan indeks PMI kita di zona kontraksi, itu alarm bahaya bagi penyerapan tenaga kerja kita.
Karena itu, pemerintah mesti memutar otak sekencang-kencangnya untuk mengembalikan indeks manufaktur agar berada di jalur ekspansi. Tujuannya penambahan pengangguran bisa diminimalkan. Selama ini, dengan level industri manufaktur yang tidak ekspansif, tingkat ketersediaan lapangan kerja kalah cepat ketimbang penambahan jumlah angkatan kerja. Ketersediaan lapangan kerja seperti deret hitung, sedangkan jumlah angkatan kerja serupa deret ukur.
Boleh kiranya kita mengikuti cara Tiongkok, Filipina, atau Vietnam yang mampu menjaga daya ekspansi industri manufaktur mereka dengan mengedepankan kebijakan protektif terhadap pasar domestik. Jangan terus membuat negeri ini jadi pasar besar bagi industri dari negara lain, dengan dalih pasar bebas.
Itu tadi kabar pahit. Sekarang, saatnya kita mencecap kabar manis. Pertama, masih dari hubungan antara realisasi investasi dan penyerapan lapangan kerja. Adalah Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani yang mengumumkan realisasi investasi triwulan I 2025 mencapai Rp465,2 triliun, alias naik 15,9% year on year jika dibandingkan dengan realisasi triwulan I 2024 sebesar Rp401,5 triliun. Dampaknya, investasi tersebut mampu menyerap lebih dari 594 ribu tenaga kerja dari investasi baru, serta lonjakan pertumbuhan penanaman modal dalam negeri.
Fakta itu menandai dua momentum yang jika dimanfaatkan dengan tepat, bisa membawa transformasi struktural pada perekonomian Indonesia. Di tengah riuh rendah pemberitaan soal pemutusan hubungan kerja di sektor manufaktur, terutama dalam enam bulan terakhir, fakta bahwa hampir 600 ribu orang terserap dalam aktivitas investasi merupakan angin segar yang tidak boleh diabaikan. Karena itu, momentum tersebut jangan berhenti. Ini jadi saat penting untuk bangkit. Jika terus dipelihara, rasa pahit dari kabar sebelumnya bisa dikurangi, bahkan dihilangkan.
Kabar sedap kedua dari dunia pertanian kita. Untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir, pertanian menjadi sektor lapangan usaha yang mencatatkan pertumbuhan paling tinggi pada triwulan I 2025, dengan pertumbuhan 10,52% secara tahunan. BPS mencatat pertumbuhan fenomenal di sektor pertanian itu dipicu peningkatan produksi padi hingga 51,45% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Selain itu, produksi jagung naik 39,02%.
Capaian itu diperkuat rekor tertinggi stok beras nasional dalam 57 tahun terakhir yang mencapai lebih dari 3,5 juta ton. Stok itu sepenuhnya berasal dari produksi dalam negeri, enggak ada yang dari impor.
Dua kabar sedap itu menandakan kita punya modal penting untuk bangkit. Kalau yang sedap-sedap ini bisa dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, perekonomian kita ke depan ada gambaran cerah. Bakal muncul cahaya terang. Namun, itu disertai syarat dan ketentuan berlaku. Jika gagal mewujudkan modal penting itu menjadi gerakan yang TSM, tidak usah heran bila kita akan berada di kubangan 'dari gelap terbitlah gelap'.
KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.
ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.
BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.
Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved