Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
SEORANG teman bertanya kepada saya: mengapa Amerika Serikat (AS) ngotot agar Indonesia meninjau ulang penggunaan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) dan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard)? "Toh, itu cuma soal kemudahan transaksi pembayaran secara digital," ujarnya.
Sang teman itu tidak habis mengerti saat Kantor Perwakilan Dagang AS, atau United States Trade Representative (USTR), terus-terusan menyoroti penggunaan QRIS dan GPN. Kantor perwakilan AS itu menganggap kedua peranti itu sebagai hambatan. Karena dimasukkan sebagai hambatan, QRIS dan GPN masuk daftar yang mesti dinegosiasikan dengan Indonesia terkait dengan skema kebijakan pengenaan tarif resiprokal Donald Trump.
Sebelumnya, dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025, USTR mencatat sejumlah hambatan tarif dan nontarif yang dihadapi negara tersebut dengan para mitra dagang, termasuk Indonesia. Salah satu yang dipersoalkan USTR terkait dengan jasa keuangan, yakni penggunaan QRIS.
Laporan itu menyebutkan perusahaan AS, termasuk bank dan penyedia jasa pembayaran, merasa tidak dilibatkan saat Bank Indonesia membuat kebijakan mengenai QRIS. 'Stakeholder internasional tidak diberi tahu potensi perubahan akibat kebijakan ini dan tidak diberi kesempatan untuk memberi pandangan terhadap sistem tersebut', tulis USTR dalam dokumen mereka itu.
Padahal, sistem pembayaran berbasis teknologi itu berkembang dengan pesat di Indonesia karena dinilai lebih praktis. Sistem itu diperkenalkan sejak 2019. Lalu, penggunaannya kian masif saat pandemi covid-19, terutama ketika ada anjuran mengurangi pertemuan atau sentuhan fisik dengan pihak lain yang amat riskan menularkan virus covid-19.
"Lalu, apakah yang masif dan praktis itu mesti disetop karena ada tekanan dari 'Negeri Paman Sam'? Apa ya, AS minta QRIS dan GPN disetop hanya gara-gara tidak diajak berembuk oleh BI? Kalau yang keberatan perwakilan dagang, tidakkah itu ada urusannya dengan untung dan rugi?Come on," kata saya kepada sang teman.
Saya pun mencoba menjelaskan kepada sang teman dengan menggunakan analisis yang dikisahkan seorang bankir senior kepada saya. Kata sang bankir itu, AS resek urusan QRIS dan GPN karena sebelumnya sangat menikmati keuntungan dari 'kekosongan' alat pembayaran digital kita.
Pembayaran model kartu kredit dan debit yang berlaku selama ini menggunakan Visa dan Mastercard yang notabene milik 'Negeri Paman Sam'. Kata sang bankir itu, dari model transaksi menggunakan dua kartu produk AS itu, uang yang berhasil 'dikeruk' bisa mencapai US$2 miliar hingga US$3 miliar per tahun.
Mereka mendapat itu karena mereka menyediakan 'pipa penyalur PVC' milik mereka. Sebaliknya dengan QRIS dan GPN, ibarat pipa, dua-duanya ialah pipa penyalur milik Bank Indonesia, produk dalam negeri. Semakin banyak orang menggunakan QRIS dan GPN, kian banyak 'cuan' yang didapat 'pipa penyalur' milik Indonesia itu. Pada saat bersamaan, 'pipa penyalur' milik 'Paman Sam' kian kehilangan konsumen sekaligus kehilangan cuan.
Jadi, boleh dikata, QRIS dan GPN itu soal kedaulatan ekonomi. Itu ihwal siapa yang menguasai arus uang, data, dan masa depan. GPN diluncurkan BI pada Desember 2017, sedangkan QRIS dirilis sejak April 2019. Sebelum ada GPN & QRIS, setiap kali kita gesek kartu Visa atau Mastercard, data transaksi itu dikirim ke luar negeri. Kita pegang kartu debit perbankan di dalam negeri, membayar via mesin gesek, maka dialirkan dulu ke jaringan Visa/Master. Transaksinya dilakukan di luar negeri.
Fee-nya? Dipotong untuk dua raksasa finansial global asal Amerika: Visa dan Mastercard. Indonesia seperti membayar 'uang sewa saluran pipa' hanya untuk bisa bertransaksi di rumah sendiri. Jumlahnya pun fantastis, bisa sampai US$3 miliar (setara sekitar Rp50 triliun per tahun).
Bank-bank lokal tak punya pilihan. Jika ingin terkoneksi global, mereka harus ikut tarif dan sistem yang dibuat pihak asing. Ironisnya, bahkan untuk belanja domestik, kita masih 'meminta izin' lewat AS. Mereka mengambil 1%-3% fee dari setiap transaksi. Kelihatannya kecil, tapi kali sekian juta transaksi per tahun, dalam skala nasional, keuntungannya bisa sampai US$3 miliar.
Begitulah. Devisa kita tersedot ke 'Paman Sam'. Indonesia, dengan ritel tahunan ribuan triliun rupiah, ialah ladang emas. Mereka juga mendapat sesuatu yang lebih mahal daripada uang: data konsumen Indonesia. Mereka pun mengetahui kecenderungan dan pola belanja tiap-tiap warga Indonesia pemegang kartu.
Karena itu, pendapatan negara 'bocor' ke luar negeri. Biaya transaksi pun tinggi karena memakai jaringan global. Juga, kedaulatan data kita pun diacak-acak. Sepertinya biasa, tapi sesungguhnya luar biasa. Kalau biasa-biasa saja, mengapa sampai perwakilan dagang AS sangat getol menyoal QRIS dan GPN? Come on.
Sang teman terdiam, sedikit bengong. Dia mulai berpikir, bila AS melindungi 'kedaulatan dagang' mereka lewat tarif resiprokal, kenapa kita tidak bertahan dengan 'kedaulatan pembayaran' yang sudah kita rintis? Ia pun mulai bersiap membuka diktat-diktat lama karya intelektual sekaligus pendiri bangsa tentang makna kedaulatan bangsa. Selamat berkontemplasi, kawan.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved