Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
NEGERI ini semakin aneh saja. Anomali pun kian menjadi, termasuk ihwal penyikapan terhadap korupsi. Tidak sedikit dari mereka yang tersandung rasywah, bukannya merasa bersalah, mereka justru memperlihatkan ekspresi bungah.
Korupsi ialah aib memalukan, amat memalukan. Ia perbuatan tercela, termasuk kejahatan luar biasa. Ironisnya, korupsi kerap disikapi dengan cara-cara yang biasa, dianggap seolah sebagai sesuatu yang lumrah. Itulah yang terjadi ketika sejumlah orang tersandung kasus korupsi.
Deretan peristiwa menunjukkan bagaimana tersangka korupsi seakan tanpa beban. Montase foto para tersangka rasywah dengan raut semringah, dengan senyum mengembang di bibir, kiranya mengonfirmasi bahwa kehidupan bernegara kita terjerembap di titik nadir.
Marilah kita tengok ke belakang ketika para pewarta foto memotret para tersangka atau terdakwa kasus korupsi. Aneka rupa ekspresi wajah terdokumentasi. Ada yang tampak bersedih, ada yang datar-datar saja, ada yang menunduk dengan raut penyesalan. Ekspresi-ekspresi itu wajar, sudah semestinya. Namun, tak sedikit pula yang tersenyum, bahkan tertawa. Kalau yang seperti ini, tentu tak normal.
Eks Ketua Umum PPP Romahurmuziy pernah melakukan itu. Senyumnya mengembang ketika dikerubungi wartawan setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka perkara seleksi jabatan di Kementerian Agama. Politikus Partai Golkar Idrus Marham juga. Dia tersenyum seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK beberapa tahun silam. Pun dengan politikus PAN yang mantan Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan. Demikian halnya mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dalam kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih. Setali tiga uang, bekas Ketua DPR Setya Novanto tak pernah kehilangan senyuman di depan wartawan selepas menjalani pemeriksaan atau persidangan kasus korupsi KTP-E.
Tak cuma politikus, penegak hukum yang terterungku kasus hukum tak lantas kehilangan senyum. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Iswahyu Widodo misalnya. Orang swasta sama saja. Direktur Operasi Lippo Group Billy Sindoro salah satunya. Masih banyak yang lain, yang tampak bungah meski tangan diborgol, kendati berbalut jaket oranye KPK atau pink kejaksaan.
Itu dulu. Sekarang? Ternyata sami mawon. Saat ditahan oleh penyidik Kejati Jakarta pada 6 Januari 2025, eks Kepala Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Iwan Henry juga tersenyum. Terkini, tersangka korupsi di Bagian Umum Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Kendari Tahun Anggaran 2020 malah lebih kacau lagi.
Dalam perkara yang disebut merugikan negara sebesar Rp444 juta itu, Kejari Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, menetapkan tiga tersangka, yakni mantan Sekda Kendari Nahwa Umar serta dua aparatur sipil negara, yaitu Ariyuli Ningsih Lindoeno dan Muchlis. Nah, salah satunya memancing reaksi negatif publik. Dalam video yang viral, dia terlihat santai saat dibawa penyidik menuju mobil tahanan, beberapa hari lalu. Bibirnya tersungging senyum. Dia bahkan menunjukkan pose dua jari. Tak tampak raut penyesalan. Entah hatinya, tidak tahu perasaan aslinya.
Senyuman ialah pertanda hati seseorang senang. Memang ada istilah senyum di atas luka, tetapi ia lebih banyak menjadi pertanda bahagia. Karena itu, sungguh tak masuk akal jika tersangka korupsi masih bisa tersenyum.
Pose dua jari, telunjuk dan tengah, membentuk huruf 'v'. Ia melambangkan victory atau kemenangan, bisa juga simbol peace atau damai. Lambang ini dulu menjadi ekspresi keberhasilan Inggris meredam Jerman di Perang Dunia II. PM Inggris saat itu, Winston Churchill, sering tertangkap kamera dengan pose dua jari.
Menurut Nathaniel Zelinsky dalam artikelnya, V for Victory: How the English Bulldog Leads the Protests in Iran di Huffington Post edisi 25 Mei 2011, Churchill bahkan sempat membuat kampanye yang dia namakan V for Victory. Seorang politikus Belgia, Victor de Lavaleye, juga pernah menggalakkan pose jari 'v' untuk victoire (kemenangan).
Di Indonesia, pose jari 'v' populer untuk simbol kampanye pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. 'Salam dua jari' sebagai representasi nomor urut Jokowi-Kalla amat populer ketika itu. Jokowi-JK pun menjadi pemenang.
Pelaku korupsi alih-alih pemenang, justru mereka pecundang. Maka itu, teramat aneh jika ada tersangka kasus korupsi berpose dua jari. Masak v untuk victory dibajak menjadi v untuk korupsi? Yang mboten-mboten aja.
Kenapa pelaku korupsi masih bisa tersenyum, terlihat bangga dengan perbuatan lancungnya? Ada yang bilang mereka tak sedih karena hukumannya ringan. Ada yang berpendapat, mereka tetap tersenyum karena obral diskon hukuman sudah menunggu, remisi hukuman saban tahun siap dinikmati. Di penjara, konon mereka juga bisa mendapat perlakuan istimewa, bahkan menghabiskan malam di luar sel.
Tersangka korupsi tak takut, barangkali juga lantaran hakulyakin sekeluarnya dari penjara nanti masih tajir melintir, masih bisa nyaleg, ikut pilkada, terpilih pula. Mereka tersenyum karena UU Perampasan Aset tak jelas nasibnya. Mereka tak resah, bisa jadi karena sekelas presiden saja masih bersimpati terhadap anak-anak koruptor, tak ingin keturunan koruptor menderita.
Tersangka atau terdakwa korupsi masih bisa semringah, hampir pasti karena mereka tak punya malu lagi. Persis kata postulat, pengelola negara ini punya semuanya kecuali satu, rasa malu.
Boleh jadi pula senyuman mereka sekadar untuk menutupi kesedihan. Namun, apa pun, ia tetaplah menyakitkan. Bahkan, salah satu netizen menulis iblis pun bingung dengan sikap seperti itu.
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.
APAKAH gerakan reformasi yang sudah berusia 27 tahun bisa disebut berhasil atau malah gagal? Jawabannya tergantung dari sudut pandang yang mana dan dalam hal ihwal apa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved