Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
UBI societas ibi ius. Kalimat berbahasa Latin dari negarawan Romawi bernama Marcus Tullius Cicero itu artinya: ketika ada masyarakat pasti di situ ada hukum. Cicero ialah seorang pengacara dan negarawan Romawi yang aktif menentang munculnya kediktatoran pada akhir masa Republik di Romawi. Gaya penulisannya yang halus dalam bahasa Latin sangat memengaruhi generasi-generasi berikutnya.
Namun, Cicero bukan orang yang mesti menjejali publik dengan jawaban karena ia tak ingin menjadi kunci jawaban atas segala hal. Ia mengajak siapa pun untuk berpikir, selalu bertanya, bahkan jangan segan mendebat. Karena itu, pertanyaan selanjutnya dari pernyataan Cicero ialah hukum seperti apa yang mesti ada? Praktik hukum yang bagaimana yang harus hidup di tengah masyarakat? Jawabnya gamblang: hukum yang adil bagi seluruh rakyat.
Sumbunya hukum yang menghadirkan keadilan, bukan bagian atau bahkan produsen kebobrokan. Karena itu, amat banyak adagium keadilan yang bertemali dengan hukum. Misalnya, fiat justitia ruat caelum yang artinya tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh. Ada juga fiat justitia et pereat mundus yang artinya hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa.
Ada juga dalil dalam agama yang menegaskan 'janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil'. Pula, dalil yang menyeru: 'berlaku adillah karena keadilan itu amat dekat dengan takwa (derajat paling mulia manusia di hadapan Tuhan)'.
Dengan demikian, ketika hukum dan praktik hukum kosong dari keadilan, ketika itu hukum runtuh. Moral hukum bisa binasa. Hukum yang runtuh dapat diartikan sebagai kondisi ketika hukum tidak dilaksanakan atau ditegakkan sehingga menimbulkan kekacauan.
Hukum akan runtuh bisa karena diskriminasi dalam penegakannya. Bisa juga tersebab oleh korupsi yang merajalela dari aparaturnya. Amat mungkin dipicu ketidakmampuan aparat penegak hukumnya. Boleh jadi akibat lemahnya moral penegak hukumnya. Bisa juga karena tingkah laku manusia yang menjadi bagian dari hukum itu.
Dampak hukum yang runtuh tidak main-main. Dalam dosis tinggi, ia bisa menimbulkan kekacauan di semua bidang kehidupan. Tak ada keamanan. Tidak tumbuh ketenteraman. Jangan harap terwujud ketertiban. Pada titik itu, masyarakat akan memandang penegakan hukum lebih memihak kepada kalangan kaya dan/atau penguasa. Hukum bisa dibelokkan asal ada cuan.
Sejumlah kalangan melihat apa yang terjadi atas penangkapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, panitera, dan sejumlah pengacara dalam kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil, beberapa waktu lalu, ialah runtuhnya kompas moral, rontoknya panduan keadilan, dan masih lekatnya keserakahan. Dugaan suap hingga Rp60 miliar, penyitaan kendaraan mewah bernilai miliaran rupiah, juga perdagangan kasus demi fulus ialah tanda bahwa kuasa harta telah merenggut wibawa.
Keadilan dibuat tak punya lagi muruah, tapi sudah dibarter dengan harga rendah. Dengan demikian, inilah penistaan keadilan. Boleh jadi, ini fenomena gunung es yang kenyataannya telah berurat berakar menghunjam begitu dalam. Korupsi sudah tak terbendung lagi.
Saya lalu teringat sosok Bung Hatta, 'manusia jam' (julukan karena selalu tepat waktu) yang harga integritasnya tak terhingga. Seperti yang dikisahkan Wangsa Wijaya, yang puluhan tahun menjadi sekretaris pribadi proklamator kemerdekaan RI itu. Suatu hari pada 1972, Bung Hatta didampingi istrinya, Rachmi Hatta, dan putri bungsunya, Halida Nuriah Hatta, pergi untuk berobat ke Belanda. Seluruh biaya pengobatan itu ditanggung negara.
Sebagai mantan wakil presiden, Hatta memang berhak mendapatkan fasilitas berobat ke luar negeri jika pengobatan di dalam negeri dinilai kurang memadai. Setiba kembali di Jakarta, Hatta meminta Wangsa mencatat uang yang diterima dari Sekretariat Negara dan memerinci semua pengeluaran yang dibayarkan selama dia berobat di Belanda. Tak boleh ada satu pun terlewat.
Setelah dihitung Wangsa, ternyata ada uang tersisa. Bung Hatta segera meminta Wangsa membuat surat pengantar untuk pengembalian sisa uang ke Sekretariat Negara dan surat pernyataan terima kasih kepada Presiden Soeharto. Namun, staf Sekretariat Negara menolak pengembalian sisa uang perjalanan dari Bung Hatta karena uang yang sudah dikeluarkan sudah dianggap sah menjadi milik orang yang dibiayai negara. "Jadi, tak perlu ada yang dikembalikan,” Wangsa menjelaskan kepada Hatta, seperti dikutip dalam buku Bung Hatta: Di Mata Tiga Putrinya.
Namun, Hatta tak bisa menerima alasan itu. Sisa uang itu bukan haknya maka harus dikembalikan ke kas negara. “Kebutuhan rombongan dan kebutuhan saya sudah tercukupi, jadi uang itu harus dikembalikan,” Hatta menekankan sambil menyebut bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang lebih membutuhkan uang itu.
Dengan pelbagai cara, Wangsa ‘memaksa’ staf Sekretariat Negara agar mau menerima pengembalian sisa uang perjalanan dari Bung Hatta. Setelah Wangsa pulang dengan menunjukkan tanda terima pengembalian sisa uang perjalanan dari kantor Sekretariat Negara, barulah Hatta puas dan lega.
Apakah kisah itu sudah lenyap ditelan zaman? Apakah para punggawa hukum tak merasa malu dan perlu mengikuti kompas moral salah satu bapak bangsa itu? Sanggupkah mereka menegakkan hukum ketika runtuh, mendirikan hukum ketika roboh?
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved