Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

Kompas Moral yang Rapuh

16/4/2025 05:00
Kompas Moral yang Rapuh
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

UBI societas ibi ius. Kalimat berbahasa Latin dari negarawan Romawi bernama Marcus Tullius Cicero itu artinya: ketika ada masyarakat pasti di situ ada hukum. Cicero ialah seorang pengacara dan negarawan Romawi yang aktif menentang munculnya kediktatoran pada akhir masa Republik di Romawi. Gaya penulisannya yang halus dalam bahasa Latin sangat memengaruhi generasi-generasi berikutnya.

Namun, Cicero bukan orang yang mesti menjejali publik dengan jawaban karena ia tak ingin menjadi kunci jawaban atas segala hal. Ia mengajak siapa pun untuk berpikir, selalu bertanya, bahkan jangan segan mendebat. Karena itu, pertanyaan selanjutnya dari pernyataan Cicero ialah hukum seperti apa yang mesti ada? Praktik hukum yang bagaimana yang harus hidup di tengah masyarakat? Jawabnya gamblang: hukum yang adil bagi seluruh rakyat.

Sumbunya hukum yang menghadirkan keadilan, bukan bagian atau bahkan produsen kebobrokan. Karena itu, amat banyak adagium keadilan yang bertemali dengan hukum. Misalnya, fiat justitia ruat caelum yang artinya tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh. Ada juga fiat justitia et pereat mundus yang artinya hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa.

Ada juga dalil dalam agama yang menegaskan 'janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil'. Pula, dalil yang menyeru: 'berlaku adillah karena keadilan itu amat dekat dengan takwa (derajat paling mulia manusia di hadapan Tuhan)'.

Dengan demikian, ketika hukum dan praktik hukum kosong dari keadilan, ketika itu hukum runtuh. Moral hukum bisa binasa. Hukum yang runtuh dapat diartikan sebagai kondisi ketika hukum tidak dilaksanakan atau ditegakkan sehingga menimbulkan kekacauan.

Hukum akan runtuh bisa karena diskriminasi dalam penegakannya. Bisa juga tersebab oleh korupsi yang merajalela dari aparaturnya. Amat mungkin dipicu ketidakmampuan aparat penegak hukumnya. Boleh jadi akibat lemahnya moral penegak hukumnya. Bisa juga karena tingkah laku manusia yang menjadi bagian dari hukum itu.

Dampak hukum yang runtuh tidak main-main. Dalam dosis tinggi, ia bisa menimbulkan kekacauan di semua bidang kehidupan. Tak ada keamanan. Tidak tumbuh ketenteraman. Jangan harap terwujud ketertiban. Pada titik itu, masyarakat akan memandang penegakan hukum lebih memihak kepada kalangan kaya dan/atau penguasa. Hukum bisa dibelokkan asal ada cuan.

Sejumlah kalangan melihat apa yang terjadi atas penangkapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, panitera, dan sejumlah pengacara dalam kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil, beberapa waktu lalu, ialah runtuhnya kompas moral, rontoknya panduan keadilan, dan masih lekatnya keserakahan. Dugaan suap hingga Rp60 miliar, penyitaan kendaraan mewah bernilai miliaran rupiah, juga perdagangan kasus demi fulus ialah tanda bahwa kuasa harta telah merenggut wibawa.

Keadilan dibuat tak punya lagi muruah, tapi sudah dibarter dengan harga rendah. Dengan demikian, inilah penistaan keadilan. Boleh jadi, ini fenomena gunung es yang kenyataannya telah berurat berakar menghunjam begitu dalam. Korupsi sudah tak terbendung lagi.

Saya lalu teringat sosok Bung Hatta, 'manusia jam' (julukan karena selalu tepat waktu) yang harga integritasnya tak terhingga. Seperti yang dikisahkan Wangsa Wijaya, yang puluhan tahun menjadi sekretaris pribadi proklamator kemerdekaan RI itu. Suatu hari pada 1972, Bung Hatta didampingi istrinya, Rachmi Hatta, dan putri bungsunya, Halida Nuriah Hatta, pergi untuk berobat ke Belanda. Seluruh biaya pengobatan itu ditanggung negara.

Sebagai mantan wakil presiden, Hatta memang berhak mendapatkan fasilitas berobat ke luar negeri jika pengobatan di dalam negeri dinilai kurang memadai. Setiba kembali di Jakarta, Hatta meminta Wangsa mencatat uang yang diterima dari Sekretariat Negara dan memerinci semua pengeluaran yang dibayarkan selama dia berobat di Belanda. Tak boleh ada satu pun terlewat.

Setelah dihitung Wangsa, ternyata ada uang tersisa. Bung Hatta segera meminta Wangsa membuat surat pengantar untuk pengembalian sisa uang ke Sekretariat Negara dan surat pernyataan terima kasih kepada Presiden Soeharto. Namun, staf Sekretariat Negara menolak pengembalian sisa uang perjalanan dari Bung Hatta karena uang yang sudah dikeluarkan sudah dianggap sah menjadi milik orang yang dibiayai negara. "Jadi, tak perlu ada yang dikembalikan,” Wangsa menjelaskan kepada Hatta, seperti dikutip dalam buku Bung Hatta: Di Mata Tiga Putrinya.

Namun, Hatta tak bisa menerima alasan itu. Sisa uang itu bukan haknya maka harus dikembalikan ke kas negara. “Kebutuhan rombongan dan kebutuhan saya sudah tercukupi, jadi uang itu harus dikembalikan,” Hatta menekankan sambil menyebut bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang lebih membutuhkan uang itu.

Dengan pelbagai cara, Wangsa ‘memaksa’ staf Sekretariat Negara agar mau menerima pengembalian sisa uang perjalanan dari Bung Hatta. Setelah Wangsa pulang dengan menunjukkan tanda terima pengembalian sisa uang perjalanan dari kantor Sekretariat Negara, barulah Hatta puas dan lega.

Apakah kisah itu sudah lenyap ditelan zaman? Apakah para punggawa hukum tak merasa malu dan perlu mengikuti kompas moral salah satu bapak bangsa itu? Sanggupkah mereka menegakkan hukum ketika runtuh, mendirikan hukum ketika roboh?



Berita Lainnya
  • Ibadah bukan Ladang Rasuah

    16/8/2025 05:00

    LADANG ibadah malah dijadikan ladang korupsi.

  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.