Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
LIBUR Lebaran sebentar lagi usai. Selalu bikin penasaran, akan seperti apakah situasi ekonomi dan politik di Republik ini setelah hampir semua orang Indonesia mengambil rehat sekitar 10 hari demi melepaskan kepenatan yang menumpuk selama setahun terakhir?
Apakah kesyahduan suasana Idul Fitri di negeri ini akan secepatnya berganti lagi dengan keriuhan dan kegaduhan lama yang bersumber dari kelewat besarnya syahwat ekonomi dan politik masyarakat dan para pemimpin mereka?
Kalau Lebaran dimaknai hanya sebagai jeda sejenak dari kerasnya kehidupan dunia, bukan dalam arti kembali ke fitrah atau fitri seperti yang selama ini banyak dipahami, ya, bisa jadi betul, semua keriuhan yang sebelum Lebaran kemarin belum kelar akan segera balik lagi.
Semua persoalan yang terlupakan, atau sengaja dilupakan demi merayakan Lebaran, seketika akan kembali lagi saat liburan sudah usai. Panasnya perseteruan politik, perebutan sumber ekonomi, kiranya bakal kembali menghiasi kehidupan di kota-kota besar yang selama sepekan lalu relatif lengang ditinggal sebagian warga yang pulang kampung.
Bahkan, bukan tidak mungkin, energi baru yang didapatkan setelah di-charge selama libur Lebaran, alih-alih dimanfaatkan untuk meneruskan kesyahduan Idul Fitri, malah dimaksimalkan para aktor politik untuk lebih mengencangkan lagi manuver-manuver politik mereka yang sempat tertahan.
Upaya atau setidaknya niat untuk melanjutkan 'kedamaian' Lebaran di kancah perpolitikan nasional sebetulnya ada. Salah satunya yang patut kita hargai ialah upaya 'diplomasi silaturahim' yang dilakukan putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo alias Didit, yang saat momen Lebaran kemarin mengunjungi kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Memang masih terlalu prematur untuk disimpulkan bahwa kunjungan silaturahim Didit itu akan menjadi embrio rekonsiliasi politik antara Prabowo dan Megawati. Kedua tokoh itu sejak sebelum Pemilu 2024 hingga sekarang digadang-gadang untuk segera bertemu, tapi belum juga terealisasi. Sulit sekali rasanya mempertemukan dua orang yang pernah menjadi pasangan capres-cawapres itu meskipun anak-anak mereka, Didit dan Puan Maharani, kerap terlihat akrab dalam beberapa kesempatan.
Karena itu, meski banyak pakar politik menganggapnya masih prematur, silaturahim Lebaran Didit ke rumah Megawati tetaplah menjadi langkah yang perlu didukung. Suasana kebatinan yang damai di antara para pemimpin di Republik ini akan sangat positif karena pada akhirnya akan menular ke akar rumput. Kekompakan mereka, jika rekonsiliasi itu benar terwujud, sangat mungkin bakal membuat negara ini lebih mudah keluar dari jeratan gejala krisis, baik politik, demokrasi, maupun ekonomi.
Ya, selain politik, sektor ekonomi memang mesti menjadi highlight karena situasinya juga makin tidak baik-baik saja belakangan ini. Kesulitan ekonomi yang kini dialami sebagian besar masyarakat Indonesia, yang ditandai sangat jelas dengan rontoknya daya beli dan masifnya pemutusan hubungan kerja (bahkan dua hal itu membuat jumlah pemudik tahun ini menurun tajam) ialah fakta yang tak terbantahkan.
Persoalan yang masih menggantung itu mestinya menjadi pelecut pemerintah untuk bekerja ekstra keras lagi pasca-Lebaran untuk mencari solusi yang holistis. Sejujurnya pemerintah sangat kepayahan mengatasi beragam simtom kemandekan ekonomi itu. Dalam beberapa kasus, kebijakan yang mereka rilis bahkan malah membuat situasi kian semrawut.
Belum lagi kemarin Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan daftar tarif dasar dan bea masuk pada banyak mitra dagang negara itu, yang ia sebut sebagai 'Hari Pembebasan'. Indonesia tak luput dari sengatan 'Hari Pembebasan' tersebut karena akan dikenai tarif timbal balik (resiprokal) sebesar 32%.
Ketika persoalan di internal belum bisa diatasi, kini hantaman keras juga bakal diterima dari eksternal. Bayangkan kalau dalam situasi seperti itu para elite dan pemimpin justru malah sibuk memelihara perseteruan lama yang sesungguhnya bukan bermuara pada kepentingan rakyat, melainkan kepentingan mereka dan kelompok mereka. Miris.
Karena itu, tak berlebihan rasanya bila publik berharap momen pasca-Lebaran ini harus menjadi titik lompat bangsa ini untuk bersama-sama keluar dari selimut kemandekan. Energi baru yang muncul setelah jeda Lebaran semestinya dapat dimaksimalkan untuk membawa Indonesia melompat tinggi, bukan malah menggelorakan pertengkaran-pertengkaran yang tak produktif.
Akan tetapi, mesti diingat pula bahwa mengesampingkan perseteruan dan pertengkaran bukan berarti meniadakan suara-suara kritis. Dalam konteks Megawati dan PDIP misalnya, rekonsiliasi yang nantinya dibangun hendaknya tidak dalam arti menggeret mereka masuk koalisi pemerintahan yang saat ini saja sudah gemuk luar biasa.
Negara dan pemerintah butuh kekuatan penyeimbang, kalau tidak mau disebut oposisi. Tanpa kekuatan itu, penyelenggaraan negara akan berjalan satu arah dan itu sangat berbahaya. PDIP, harus diakui, punya kemampuan dan pengalaman memainkan peran kritis dalam sistem demokrasi. Sejumlah pakar bahkan menyebut partai berlambang banteng itu memiliki DNA oposisi.
Fakta itu juga harus mendasari setiap langkah rekonsiliasi atau apa pun namanya. Jangan biarkan rakyat berjuang sendiri tanpa wakil yang berani bersuara keras di parlemen. Hal itu penting karena saat ini sudah tampak gejala-gejala ada semangat antikritik yang menghinggapi jajaran pemerintah. Kini, setiap datang kritik, pemerintah selalu cepat melawannya dengan kontranarasi sampai intimidasi.
Setelah Lebaran, semua mesti berubah. Jangan balik lagi ke setelan awal. Sungguh akan menjadi kesia-siaan belaka 'raihan kemenangan' kita saat Idul Fitri kemarin bila setelah itu kita justru mengulang kesalahan, kealpaan, apalagi kebodohan yang sama. Selamat Idul Fitri 1446 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved