Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Akibat Air Galon

30/10/2024 05:00
Akibat Air Galon
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

ADA hubungan spesial apa antara kelas menengah dan air galon? Bagi sebagian besar orang, hubungan keduanya sebatas urusan haus dan minum. Tidak lebih dari sekadar itu. Namun, bagi ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, hubungan antara kelas menengah dan air galon sangat erat dan bersifat kausalitas.

Menurut analisis mantan Kepala Bappenas itu, turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia tidak hanya terjadi karena pandemi covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada faktor lain yang 'unik' ikut memengaruhi kelas menengah kian terengah-engah, yakni akibat kebiasaan sehari-hari minum air kemasan, seperti air dalam galon.

"Selama ini secara tidak sadar itu (air kemasan dan air galon) sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol, dan segala macamnya," kata Bambang dalam sebuah forum kajian di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, bulan lalu.

Banyak yang menertawakan analisis itu. Ada yang menyebutnya menghubung-hubungkan jatuhnya kelas menengah gara-gara konsumsi air galon terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Namun, diam-diam tidak sedikit pula yang sepakat dengan analisis Bambrod (sapaan kalangan dekat terhadap Bambang) itu, termasuk saya.

Apa justifikasi Bambang atas pernyataannya itu? Begini kata dia: kebiasaan mengonsumsi air dalam kemasan tidak terjadi di semua negara. Di negara maju, misalnya, warga kelas menengah terbiasa menenggak air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Dengan adanya fasilitas air minum massal itu, masyarakat negara maju tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli minum.

Karena itu, daya beli kelas menengah mereka aman karena untuk air pun mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak. Itu berbeda dengan di Indonesia. Saya mencoba menghitung berapa 'kontribusi' konsumsi air mineral kemasan dalam menggerus kantong kelas menengah. Hasilnya, lumayan dalam.

Tiap orang di negeri ini, saban hari butuh minimal tiga kemasan air mineral ukuran 1,5 liter. Dengan asumsi harga air kemasan ukuran 1,5 liter sekitar Rp7.000, tiap hari tiap orang mesti merogoh kantong Rp21 ribu per orang. Itu artinya, dalam sebulan, untuk urusan minum air saja tiap kelas menengah mesti membelanjakan uang sedikitnya Rp630 ribu. Angka itu setara hampir sepertiga pengeluaran kelas menengah level terbawah di Indonesia per bulan.

Benar bahwa faktor kebutuhan air minum hanyalah satu dari banyak faktor lain yang menyebabkan banyak kelas menengah turun kasta ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Pandemi covid-19, misalnya, membuat banyak kelas menengah kehilangan pekerjaan. Begitu pandemi pergi, lapangan kerja tidak tersedia seperti saat sebelum covid-19 melanda. Yang terjadi justru banyak industri pailit, bahkan gulung tikar.

Namun, bila faktor kesediaan air minum bisa dicukupi tanpa harus bergantung pada air kemasan atau air galon, setidaknya pengeluaran kelas menengah bisa lumayan terjaga. Minimal ada sedikit ruang untuk membeli keperluan mendesak lainnya. Bila negara mampu menyediakan instalasi air bersih layak diminum ke rumah-rumah warga dengan tarif terjangkau, seperempat uang mereka bisa disimpan.

Badan Pusat Statistik mencatat pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia masih 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024, jumlah mereka hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13% dari total jumlah penduduk. Artinya, ada 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.

Pada saat bersamaan, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari hanya sebanyak 128,85 juta, atau 48,20% dari total penduduk pada 2019, menjadi 137,50 juta orang, atau 49,22% dari total penduduk pada 2024. Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 54,97 juta orang, atau 20,56% di 2019, menjadi 67,69 juta orang, atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas ke kedua kelompok itu.

Sekali lagi, bila soal konsumsi air ini bisa diatasi, kiranya jumlah kelas menengah kita tidak turun sedrastis sekarang ketimbang jumlah di lima tahun lampau. Karena itu, saya sepakat dengan analisis Pak Bambang itu. Apa yang disampaikannya itu juga selaras dengan sebuah laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa air galon yang kian tidak terjangkau amat potensial menghambat pembangunan.

Laporan itu mengatakan bahwa hanya dalam lima dekade, air kemasan telah berkembang menjadi 'sektor ekonomi utama dan berdiri sendiri'. Hal itu berdasarkan analisis literatur dan data dari 109 negara. Laporan itu menyebut industri air kemasan telah tumbuh 73% dari 2010 hingga 2020. Penjualan produk itu diperkirakan hampir dua kali lipat pada 2030, dari US$270 miliar menjadi US$500 miliar.

Laporan yang dirilis Institute for Water, Environment, and Health bagian dari UN University (UNU-IWEH) itu menyimpulkan bahwa ekspansi tak terbatas dari industri air kemasan tidak selaras secara strategis dengan tujuan menyediakan akses universal ke air minum bagi warga dunia. Itu setidaknya memperlambat kemajuan global, mengganggu upaya pembangunan, dan mengalihkan perhatian ke pilihan yang kurang dapat diandalkan dan kurang terjangkau bagi banyak orang.

Nah, kalau PBB saja sudah mengendus potensi besar kerugian pembangunan akibat ketergantungan terhadap air galon atau air kemasan, masihkah kita menertawakan analisis yang menyebutkan bahwa air galon jadi salah satu faktor penurunan daya beli kelas menengah? Sungguh terlalu.



Berita Lainnya
  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.  

  • Debat Tarif Trump

    19/7/2025 05:00

    MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka? 

  • Jokowi dan Agenda Besar

    18/7/2025 05:00

    PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.

  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.

  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.