Headline
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
Di Indonesia, pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) —apalagi artificial intelligence (AI) — memang masih didominasi oleh sisi konsumtif, bukan kreatif-produktif. Banyak yang terjebak pada euforia teknologi tanpa strategi jangka panjang.
Sementara di negara-negara maju justru mulai berefleksi dan memperbaiki arah, kita masih sibuk terpesona oleh potensinya, belum sampai pada kesadaran kritis soal dampak sosial, etika, dan kecakapan digital yang dibutuhkan.
Lihat Swedia yang pada September 2023 memutuskan menurunkan penggunaan perangkat digital di kelas, kembali menekankan buku cetak serta latihan menulis tangan untuk pra-sekolah dan sekolah dasar. Langkah ini lahir dari kekhawatiran menurunnya kemampuan membaca dan konsentrasi siswa akibat kelebihan penggunaan layar.
Diikuti Finlandia yang pada 2024 melakukan eksperimen menghapus penggunaan perangkat elektronik di beberapa sekolah, menggantinya dengan buku teks kertas. Hasilnya menunjukkan peningkatan pemahaman dan retensi, sekaligus menurunkan gangguan dari media sosial dan game.
Indonesia saat ini berada di persimpangan. Di satu sisi, kita terpesona akan pesatnya kemajuan AI. Namun di sisi lain, realitas masyarakat digital kita masih sebatas menikmati teknologi untuk sekadar hiburan dan gaya hidup. Budaya literasi digital belum tumbuh kuat, sementara pendidikan tentang etika, privasi, dan pemanfaatan produktif AI masih sangat minim. Alih-alih menyiapkan generasi yang siap berkolaborasi dengan AI secara bijak, kita justru belum selesai menjawab pertanyaan paling mendasar: teknologi ini untuk siapa dan untuk tujuan apa?
Belajar dari negara-negara maju seperti Swedia dan Finlandia yang mulai menarik diri dari ketergantungan digital demi menyelamatkan kualitas belajar anak-anaknya, Indonesia seharusnya bisa lebih mawas diri.
Senyampang Indonesia sedang dalam tahap membentuk peta jalan pemanfaatan AI dalam pendidikan, penting meninjau ulang konsep pembelajaran kita: bukan sekadar mempercepat adopsi AI, tapi memastikan bahwa teknologi berpihak pada perkembangan utuh anak sebagai manusia yang mampu berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab.
Penting bagi anak Indonesia untuk tidak hanya dikenalkan AI sebagai alat, tetapi perlu dididik menjadi manusia merdeka yang tidak dikendalikan oleh teknologi, melainkan menggunakannya untuk membentuk masa depan yang lebih adil, bijak, dan berkelanjutan.
Di tengah gempuran teknologi yang serba cepat dan AI yang kian canggih, anak-anak Indonesia membutuhkan pendampingan nilai yang membentuk kesadaran diri dan otonomi digital. Mereka perlu memahami bahwa AI bukanlah sahabat serba tahu, melainkan alat buatan manusia yang sarat bias dan kepentingan. Maka, pendidikan AI bukan hanya soal kecakapan teknis, tetapi juga kemampuan memilah: kapan memanfaatkan teknologi, kapan berhenti, dan kapan mempercayai nalar sendiri.
Lebih dari itu, anak-anak perlu dibekali keberanian untuk bertanya—siapa yang membangun sistem ini, untuk siapa ia bekerja, dan bagaimana dampaknya terhadap sesama. Dengan critical thinking yang dibarengi etika, anak belajar melihat bahwa teknologi bukan wilayah netral, dan bahwa pilihan moral dalam menggunakannya sangat menentukan wajah masa depan.
Kecanggihan tak boleh meredupkan sisi manusiawi. Di tengah dunia yang makin impersonal, pendidikan AI harus justru menghidupkan empati dan kemampuan berinteraksi secara hangat dan bermakna. Anak perlu tetap diajarkan untuk mendengar, menyimak, dan merasakan. Ini karena manusia tidak unggul dari mesin karena kecepatannya, tetapi karena hatinya. Nilai keberlanjutan juga penting ditanamkan: bahwa teknologi harus berpihak pada bumi, bukan sekadar efisiensi. Anak perlu diajak memahami dampak ekologis dan sosial dari setiap inovasi, agar mereka tumbuh sebagai generasi yang sadar akan tanggung jawab antargenerasi.
Dalam lanskap digital yang penuh kesenjangan, keadilan sosial dan inklusivitas harus menjadi kompas moral. Pendidikan AI yang berpihak pada anak bukanlah yang memberi akses semata, tetapi yang membangun kesadaran untuk tidak meninggalkan siapa pun dalam perjalanan menuju masa depan. Intinya, AI Literacy with Human Values merupakan pendidikan AI yang tidak hanya fokus pada kemampuan menggunakan alat, tetapi juga menanamkan nilai: berpikir kritis, berperilaku etis, berempati, dan bertanggung jawab terhadap masa depan.
Pada Hari Anak Nasional 2025 bertema“Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”, kita diingatkan, jika ingin anak-anak tumbuh menjadi generasi hebat yang benar-benar menguatkan Indonesia, maka kita harus berani bertanya: apakah kita sedang menciptakan anak yang menguasai teknologi, atau justru sedang membentuk generasi yang tergantung dan dikendalikan oleh AI? Masa depan tidak ditentukan oleh seberapa canggih alat di tangan mereka, tetapi oleh seberapa kuat nilai mengakar dalam jiwa.
Containerized Mini Data Centers merupakan mini data center lengkap pada satu kontainer yang dilengkapi hot aisle containment, rack server, distribusi daya LV hingga 3,5 MW IT load.
Proyek ini juga menunjukkan cara inovasi yang etis dapat memberdayakan generasi muda dan menjembatani kesenjangan digital.
PEMERINTAH telah menetapkan Koding dan kecerdasan artifisial (KA) sebagai 'mata pelajaran pilihan' di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Sebanyak 60 dosen dan peneliti universitas hadir dalam workshop Advancing A.I. Capacity in Indonesian Universities, yang dilaksanakan pada 26–27 Juli 2025 di Perpustakaan Nasional.
AI akan memberikan efek pengangguran masal dalam 2 - 3 tahun ke depan karena perusahaan nantinya tidak akan memerlukan karyawan jika AI dapat menyelesaikan banyak pekerjaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved