Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PADA acara Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV dengan tema Pastikan Reformasi MA Menyala, minggu lalu, seorang penelepon menumpahkan uneg-unegnya. Dia mengaku sebagai korban ketidakadilan dari pengadilan. Dia pun ketawa ketika hakim-hakim minta naik gaji.
Penelepon itu bernama Nita, perempuan asal Jakarta. Dia bilang punya kasus soal gadai-menggadai sawah dan tanah di daerah. Di tingkat pertama, dia kalah. Demikian pula di tingkat banding. Dia merasa dan yakin betul putusan itu tidak fair. Yang salah dimenangkan, yang benar dikalahkan. Begitu kira-kira menurutnya.
Karena tak menyerah, Ibu Nita lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tapi lagi-lagi hasilnya zonk. Kasasinya ditolak. Lagi dan lagi ada yang aneh, janggal, karena sebelumnya dia ditelepon oleh seseorang yang mengaku dari MA dan minta uang jika ingin kasasinya dikabulkan.
''Saya tidak kasih. Perkara saya ditolak karena memang saya tidak kasih uang,'' ucapnya. Kok, dia tahu orang itu dari MA? ''Iya, kok dia tahu saya punya perkara di MA?'' jawabnya balik.
Nita kecewa luar biasa. Baginya, para pengadil justru menebar ketidakadilan. Karena itu, ketika para 'wakil Tuhan' kompak menuntut penaikan gaji dan tunjangan, dia cuma bisa ketawa. ''Hakim yang nangani perkara saya itu mobilnya Pajero, Pak. Jadi lucu aja melihatnya. Hakim, kok, bilang ndak ada uang,'' cetusnya.
Apa yang dikatakan Nita memang masih harus dibuktikan. Kiranya dia punya landasan superkuat hingga berani speak up perihal masalah yang ngeri-ngeri sedap itu di televisi. Jika mau, MA bolehlah proaktif menindaklanjuti permasalahannya. Jika benar menjadi korban ketidakadilan, Nita harus dibantu. Taruhlah keadilan ke pangkuannya.
Saya yakin Nita tidak sendiri. Masih ada Nita-Nita yang lain yang menjadi mangsa ketidakadilan. Saya juga yakin memang ada hakim yang menempatkan amanah di bak sampah. Palu sakral pengetuk keadilan mereka jadikan alat untuk mendulang uang.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, selama 2010-2022 sedikitnya ada 21 hakim yang tertangkap melakukan korupsi. Itu belum termasuk insan peradilan lainnya seperti panitera atau pegawai pengadilan. Itu juga belum mencakup hakim-hakim yang menjadi pesakitan institusi penegak hukum lain, semisal kejaksaan.
Ditangkap tangannya tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo, oleh tim Kejagung, Rabu (23/10), contohnya. Ketiga hakim itu diringkus dalam kasus dugaan suap pengondisian perkara. Mereka ialah pemvonis bebas Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan terhadap pacarnya, Dini Sera Afrianti.
Vonis yang menggegerkan, yang membuat publik geleng-geleng kepala. Vonis yang sampai-sampai membuat Wakil Ketua Komisi III DPR kala itu, Ahmad Sahroni, menyebut ketiga hakim sakit semua. Vonis yang diduga ada hanky panky dan dugaan itu kini ada benarnya.
Jika dibandingkan dengan keseluruhan hakim yang 8.000-an orang, jumlah mereka yang menjadikan putusan sebagai komoditas sekilas memang terlalu sedikit. Namun, publik, termasuk saya, yakin masih banyak hakim yang sakit, yang jahat, tapi belum kena batunya.
Konon, orang korupsi karena gajinya sedikit. Katanya, pemangku kewenangan cari sampingan karena penghasilannya pas-pasan. Kecilkah uang bulanan hakim? Sejak 2012, gaji dan tunjangan mereka memang tak naik-naik. Gaji mereka Rp2.064.100-Rp4.978.000 tergantung golongan. Tunjangan mereka Rp8.500.000-Rp40.200.000.
Soal besaran, itu relatif. Wang sinawang kalau orang Jawa bilang. Bagi 'Yang Mulia', gaji segitu mungkin dirasa kecil. Itukah yang kemudian melatari hakim-hakim berbuat korup? Apa pun, tiada pembenaran untuk melakukan korupsi. Namun, jika pendapatan 'kecil' memang pemicunya, rakyat bolehlah berharap mereka tidak korup lagi, tidak macam-macam lagi, karena tuntutan sudah dipenuhi.
Dua hari sebelum pulang ke Solo, Jokowi meneken Peraturan Pemerintah No 44/2024 tentang Perubahan Ketiga atas PP No 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Intinya, pemerintah menaikkan gaji pokok menjadi Rp2.785.700-Rp6.373.200 dan tunjangan menjadi Rp11.900.000-Rp56.500.000. Ihwal menaikkan pendapatan pengelola negara, Jokowi memang royal. Nyah-nyoh.
Tuntutan para hakim yang sebelumnya mengancam akan mogok kerja sudah diamini. Kini, giliran rakyat menuntut mereka benar-benar berpihak pada keadilan, bukan kepada mereka yang punya kekuasaan dan uang.
Ada studi dengan hasil berbeda soal relevansi antara upah pemerintah yang tinggi dan menekan korupsi. Negara-negara Amerika Latin seperti Argentina dan Peru juga menaikkan gaji pegawai negeri untuk mengurangi korupsi, tapi hasilnya kurang ngefek. Beda dengan di Singapura. Gaji pegawai mereka tinggi-tinggi, korupsinya pun tereliminasi.
Marilah kita tunggu apakah penaikan pendapatan para hakim akan berdampak baik atau justru sebaliknya, rakyat celaka kuadrat. Bak menggarami lautan, sudah makin dalam merogoh kantong untuk memanjakan mereka, tetap saja keadilan jadi barang dagangan. Kalau itu yang terjadi, seperti reaksi Ibu Nita, kita ketawain saja mereka.
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved