Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
AKAN seperti apakah DPR yang baru ini? Pertanyaan itu terus menguar, terutama setelah pelantikan anggota DPR periode 2024-2029 pada Selasa (1/10) kemarin. Apakah kinerja mereka akan berubah atau malah sama saja seperti DPR periode lalu yang tampak kedodoran menjalankan tiga pilar fungsi mereka, utamanya sisi pengawasan dan legislasi?
Salah satu kunci jawabannya barangkali akan muncul dari keputusan partai pemenang Pemilu 2024, yaitu PDIP, terkait dengan posisi mereka pada pemerintahan nanti. Hingga hari ini masih menjadi misteri apakah PDIP bakal bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka atau tidak. Rencana pertemuan Prabowo dengan Megawati Sukarnoputri pun masih berkutat sebatas spekulasi.
Suka tidak suka, wajah DPR akan ditentukan oleh keputusan itu. Saat ini PDIP merupakan satu-satunya parpol yang berada di luar koalisi gendut pendukung Prabowo-Gibran. Merekalah yang sebetulnya digadang-gadang publik bisa mengambil standpoint sebagai oposisi untuk mengimbangi kekuatan besar koalisi pemerintah.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?
Kalau PDIP 'kuat iman' dan tidak tergoda masuk koalisi, barangkali parlemen masih memiliki taji dan sumber daya untuk mengontrol pemerintah. Apalagi, kader andalan mereka, Puan Maharani, juga baru saja terpilih kembali menjadi Ketua DPR. Semestinya PDIP punya keberanian lebih untuk mengambil jarak dari koalisi pemerintah meskipun harus menjadi single fighter.
Namun, bila pada akhirnya PDIP memutuskan ikut bersekutu dengan koalisi, secara teori sudah pasti tidak akan ada oposan di parlemen. Kerja DPR nantinya mungkin hanya formalitas belaka karena semua parpol di parlemen sudah menjadi bagian dari kekuasaan. Tidak akan ada perlawanan, tak akan muncul daya gebrak, minus kontrol terhadap pemerintah.
DPR berpotensi sekadar menjadi paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu setuju, persis seperti yang digambarkan musikus Iwan Fals dalam lirik lagu Surat buat Wakil Rakyat rilisan 1987 silam. Parlemen yang seharusnya kuat dan berani menggebuk kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat bisa-bisa malah menjadi parlemen cemen.
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Kalau itu yang terjadi, yakinlah DPR baru yang akan bekerja sampai lima tahun ke depan itu tidak akan berbeda dengan sebelumnya, bahkan bisa jadi lebih parah. Ketika DPR berpusat dalam satu kekuatan yang menempel pada eksekutif, kita akan dengan mudah menebak bahwa fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran yang dimiliki DPR bakal tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dari sisi pengawasan, misalnya. Jangan heran bila kejadian seperti pada Pemilu 2024 lalu ketika para elite di lingkar kekuasan mempertontonkan pengkhianatan terhadap undang-undang dan konstitusi tanpa kontrol dari parlemen akan terulang lagi. Begitupun saat ada kebijakan dan perilaku yang nyata-nyata membungkam sekaligus merusak demokrasi, sangat mungkin akan kembali lolos dari pengawasan.
Lalu, dari sisi legislasi. Pembiaran DPR terhadap sejumlah rancangan undang-undang yang sejatinya bagus dalam konteks kepentingan publik, tapi tidak berdampak kepada kepentingan mereka atau elite kekuasaan sepertinya akan terus terjadi.
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Begitupun terhadap RUU yang sebenarnya dibutuhkan penegak hukum sebagai suplemen pemberantasan korupsi, tampaknya tidak akan ada kabar baik. Dengan beragam dalih, DPR akan melewatkan pembahasan dan pengesahan RUU semacam itu. Namun, sebaliknya, giliran RUU-RUU yang berkaitan erat dengan kepentingan oligarki, para legislator sangat gercep membahasnya.
Situasi seperti itu, sekali lagi, terjadi apabila kekuatan penyeimbang di parlemen betul-betul nihil. Maka itu, seperti di awal tulisan tadi, untuk menjawab pertanyaan bakal seperti apa DPR yang sekarang, salah satu kuncinya ada di langkah PDIP.
Betul, tidak ada jaminan juga bahwa ketika PDIP memutuskan menjadi oposan lalu DPR akan otomatis menjadi lebih baik. Siapa, sih, yang bisa menggaransi pikiran dan omongan politisi? Akan tetapi, setidaknya publik masih punya simpanan kekuatan di Senayan, meskipun minoritas, untuk bisa menyampaikan suara mereka lewat jalur formal di parlemen.
Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024
Muncul pertanyaan, adilkah publik menggantungkan baik dan buruknya nasib DPR di pundak PDIP sendirian? Ya, adil-adil saja, kalau menurut saya. Toh, PDIP bukan partai kemarin sore yang tak punya basis massa sebagai kekuatan utama. Loyalitas pendukung menjadi modal PDIP membangun kekuatan hingga disegani lawan-lawan politik mereka.
Mereka bahkan sudah teruji sebagai oposisi yang kritis ketika era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada kekuatan, ada pengalaman, kurang apa lagi? Lagi pula PDIP sesungguhnya juga bisa menabung keuntungan elektoral bila memilih sikap sebagai oposan. Mereka akan memperoleh dukungan suara rakyat sendirian sebagai partai oposisi.
Jadi, masak publik tidak boleh berharap kepada partai berlambang banteng itu untuk paling tidak membuat warna dan dinamika di DPR lebih berimbang? Mestinya lumrah saja kalau saat ini masyarakat menggantungkan semua itu ke punggung dan pundak PDIP, semata-mata demi mewujudkan parlemen yang kuat, bukan parlemen yang lemah dan cemen.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved