Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Demokrasi Kocar-kacir

01/10/2024 05:00
Demokrasi Kocar-kacir
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

'SEKELOMPOK preman membubarkan acara diskusi Forum Tanah Air, di Kemang, Jakarta. Mereka merangsek masuk forum, berteriak-teriak, lalu merusak banner-banner diskusi dengan kasar. Para peserta dan pembicara diskusi berlarian. Said Didu lari kocar-kacir'.

Seseorang membuat narasi informasi di atas untuk memantik sebuah pembicaraan di grup percakapan pesan Whatsapp. Lalu, seseorang anggota grup menimpali dengan kalimat singkat: 'demokrasi pun kocar-kacir'.

Saya tertarik dengan kalimat 'Demokrasi kocar-kacir' ini. Dalam bahasa Jawa, kocar-kacir bisa diganti dengan satu kata yang sangat umum dipakai, yakni ambyar. Dalam bahasa Indonesia, ambyar bisa diartikan 'berantakan' tak keruan.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?

Jadi, bisa dibilang, demokrasi kita memang berantakan. Dibuat kocar-kacir. Bahkan, kian kemari makin berantakan. Apalagi setelah tindakan sekelompok orang, ada yang menyebut preman, di Kemang, akhir pekan lalu itu. Lalu, ada yang bertanya seberantakan apakah demokrasi kita?

Kiranya, laporan hasil riset dan analisis sejumlah lembaga internasional bisa kita jadikan pisau analisis. Lembaga-lembaga itu memotret penurunan kualitas demokrasi di Indonesia sejak kepemimpinan Jokowi, utamanya pada periode kedua. Freedom House menyebut indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin ke 53 poin pada 2019-2023.

Lembaga Reporters Without Borders (RSF) mengungkap penurunan kualitas kebebasan pers Indonesia. Skor kebebasan pers Indonesia turun dari 63,23 poin pada 2019 ke 54,83 poin pada 2023. Kebebasan pers ialah instrumen penting tolok ukur demokratis atau tidaknya suatu negara. Pers yang bebas menandakan demokrasi di sebuah negara sehat. Sebaliknya, pers yang kebebasannya tertatih-tatih menunjukkan demokrasi di negara itu tengah sakit.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU), tahun lalu, menunjukkan kondisi demokrasi kita sami mawon. Dalam rilis EIU itu dinyatakan Indonesia berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari 2022 (skor 6,71). Skor tersebut menegaskan Indonesia masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Semua indikator demokrasi, yakni pluralisme dan proses pemilu, efektivitas pemerintah, partisipasi politik, budaya politik yang demokratis, dan kebebasan sipil, turun.

Dalam 14 tahun terakhir, EIU mencatat bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami tren naik turun. Setelah sempat mengalami kenaikan pada periode 2010 hingga 2015, nilai Indonesia mengalami penurunan sepanjang 2016 hingga 2020. Penurunan terlihat lagi-lagi pada indikator budaya politik yang demokratis dan kebebasan sipil. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia beberapa tahun lalu pun kalah dari Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Meski sama-sama bertipe rezim demokrasi cacat, tiga negara itu mencatatkan nilai lebih tinggi.

Itu berdasarkan angka. Jika kita hendak mengukur kualitas demokrasi dari pernyataan pejabat dan aparat negara, wajar kiranya bila demokrasi kita tidak kunjung sembuh dari sakit, bahkan makin kocar-kacir. Presiden Jokowi, misalnya, kerap membantah bahwa demokrasi kita masih bermasalah.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Kata Jokowi, demokrasi kita baik-baik saja. Buktinya, masih menurut Jokowi, tiap hari orang bebas mengkritik dan memaki-maki presiden tanpa ditangkap. Jadi, merujuk pada pernyataan Jokowi itu, ukuran sehat atau sakitnya demokrasi pada ditangkap atau tidaknya orang yang mengkritik atau memaki presiden.

Padahal, kesehatan demokrasi diukur dari banyak indikator. Tolok ukur utama ialah adanya kebebasan mengungkapkan pendapat dan adanya kebebasan berekspresi. Penghormatan, pemenuhan, dan pelindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi itu menjadi ranah kewajiban negara. Bila negara membiarkan warganya ketakutan atau ditakut-takuti saat hendak berbeda pendapat atau bersikap kritis (termasuk diteror para buzzer), itu berarti demokrasi dibiarkan kocar-kacir.

Di kalangan sebagian aparat, pemahaman hak kebebasan berpendapat dan berekspresi itu malah dipersempit pada ruang-ruang regulasi semata. Dalam pembubaran paksa diskusi di Kemang, misalnya, aparat setempat menyebutkan leluasanya tindakan premanisme di ruang diskusi terjadi karena aparat tidak menerima izin acara. Jadi, tidak 'sempat' dikawal. Polisi memilih 'mengawal' unjuk rasa di luar gedung karena aksi itu 'sudah berizin', sedangkan diskusi yang di dalam 'tidak berizin'.

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Apakah dengan demikian kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh diatur? Tentu saja bukan seperti itu cara pandang dan berpikirnya. Ketika kita mengalami pandemi covid-19, misalnya, negara boleh membatasi warganya untuk berkumpul. Tanpa dibatasi, kumpul-kumpul saat pandemi membahayakan nyawa manusia. Jadi, yang dibatasi bukan ekspresinya, melainkan cara melakukannya.

Pembatasan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak dapat dilakukan secara semena-mena. Pembatasan mesti memenuhi asas legalitas. Artinya kebebasan tidak boleh dibatasi tanpa aturan yang jelas. Yang kedua, aspek proporsionalitas, yaitu menyesuaikan tingkat ancaman dan pentahapan: harus ada peringatan, teguran, baru tindakan tegas. Yang ketiga, dimensi 'keperluan'. Artinya, pembatasan diperlukan karena potensial menghadirkan kekerasan lebih lanjut.

Semua aturan itu sudah ada dan negaralah yang melaksanakan aturan itu. Karena itu, bila ada yang semena-mena dengan mengambil alih peran negara untuk membubarkan diskusi, dengan cara kekerasan pula, itu namanya sengaja memukul demokrasi agar makin kocar-kacir. Kita ingin demokrasi yang sehat dan tumbuh, bukan demokrasi yang sakit, bahkan disakiti dan dibuat kocar-kacir.



Berita Lainnya
  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

  • Bahlul di Raja Ampat

    10/6/2025 05:00

    PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

  • Maling Uang Rakyat masih Berkeliaran

    09/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.

  • Menyembelih Ketamakan

    07/6/2025 05:00

    ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.

  • Uji Ketegasan Prabowo

    05/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam

  • APBN Surplus?

    04/6/2025 05:00

    SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.

  • Pancasila, sudah tapi Belum

    03/6/2025 05:00

    NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.

  • Arti Sebuah Nama dari Putusan MK

    02/6/2025 05:00

    APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.

  • Para Pemburu Pekerjaan

    31/5/2025 05:00

    MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.

  • Banyak Libur tak Selalu Asyik

    30/5/2025 05:00

    "LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.

  • Apa Kabar Masyarakat Madani?

    28/5/2025 05:00

    SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.

  • Basa-basi Meritokrasi

    27/5/2025 05:00

    HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.

  • Perseteruan Profesor-Menkes

    26/5/2025 05:00

    ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

  • Koperasi dan Barca

    24/5/2025 05:00

    KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.