Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
SAYA ingin mengawali tulisan ini dari bait-bait lagu God Bless, Balada Sejuta Wajah, yang liriknya ditulis oleh Theodore KS Hutagalung. Lagu ciptaan Ian Antono itu berbicara para manusia urban yang resah karena impitan ekonomi. Lirik lagu itu senapas dengan kondisi kelas menengah kita, kini.
Theodore KS menulis:
'Denyut di jantungmu kota
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?
Pusat gelisah dan tawa
Dalam selimut debu dan kabut
Yang hitam kelam warnanya
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Sejuta janjimu kota
Menggoda wajah-wajah resah
Ada di sini dan ada di sana
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Menunggu di dalam tanya
Tanya
Mengapa semua berkejaran dalam bising?
Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024
Mengapa oh mengapa
Sejuta wajah engkau libatkan
Dalam himpitan kegelisahan?
Adakah hari esok makmur sentosa
Bagi wajah-wajah yang menghiba?
Sejuta janjimu kota
Menggoda wajah-wajah resah
Ada di sini dan ada di sana
Menunggu di dalam tanya.'
Pertanyaan paling krusial dari lirik itu, jika dihubungkan dengan kondisi kelas menengah hari ini, ialah: 'apakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang mengiba?' Sikap skeptis, cenderung pesimistis, memang menggelayuti kelas menengah kita, hari-hari ini. Rupa-rupa impitan membuat jumlah mereka menciut dalam kurun lima tahun terakhir, dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,8 juta orang.
Lebih dari 9 juta orang kelas menengah itu turun kelas menjadi kaum MKM (menuju kelas menengah). Beragam musabab, dari soal global hingga masalah domestik, membuat mereka gagal bertahan, alih-alih naik kelas. Pandemi covid-19 diyakini menjadi penyebab utama. Residunya terasa hingga kini. Banyak pabrik bangkrut. PHK merajalela. Pekerjaan formal menyusut, tinggal sekitar 40%. Sisanya, 'berkejaran dalam bising' di trek pekerjaan informal yang serbatidak pasti.
Realisasi investasi memang naik. Namun, kebanyakan investasi itu padat modal. Nilai investasi saat ini tidak sama lagi ketimbang masa lampau dalam soal penyerapan tenaga kerja. Saat ini, investasi yang padat modal itu tidak terlalu banyak lagi menyerap tenaga kerja.
Maka itu, para kelas menengah, baik yang masih bertahan maupun yang sudah turun kelas, berada pada impitan kegelisahan yang sama. Uang mereka kian hari kian menipis. Sialnya, aksi 'mantab' (makan tabungan) itu bukan dipakai untuk memenuhi kebutuhan sekunder, apalagi tersier, lazimnya kelas menengah, melainkan 'mantab' demi membeli bahan pokok dan membayar cicilan.
Impitan bakal kian menjadi-jadi bila pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 jadi direalisasikan. Maka itu, pelemahan ekonomi sudah di ambang pintu. Pasalnya, penaikan itu akan kian menekan daya beli masyarakat dan berpeluang menghambat tingkat konsumsi rumah tangga. 'Bisa-bisa perekonomian kita bakal terkontraksi lagi', begitu hasil analisis para ahli ekonomi negeri ini.
Hasil analisis Indef sejalan dengan analisis itu. Argumen itu dilandaskan pada hitungan Indef tiga tahun lalu mengenai wacana penaikan tarif PPN menjadi 12,5%. Hasilnya, didapati pendapatan riil masyarakat akan menurun, konsumsi rumah tangga tersendat dan bermuara pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Karena sifatnya yang melekat pada objek barang dan jasa, penaikan tarif PPN tidak hanya menambah beban di golongan masyarakat tertentu. Kelompok miskin, menengah, dan atas, semua terkena dampak. Itu yang mengkhawatirkan lantaran masyarakat miskin dan menengah juga memikul beban kenaikan harga yang sama dengan masyarakat kaya.
Jika demikian, mengapa kebijakan fiskal seperti itu tidak ditinjau dan dikaji lebih lanjut oleh pemerintah? Apakah data-data dan hasil analisis dari para cerdik cendekia tidak ada gunanya? Saat ini, kemampuan konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, sudah berada dalam tekanan hebat.
Bila skenario penaikan tarif PPN tetap dilaksanakan, pendapatan masyarakat akan turun, pendapatan riil turun, dan konsumsi masyarakat jelas turun. Situasi itu tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, tapi juga perdesaan.
Memang sudah muncul kebijakan lanjutan berupa pemberian insentif pajak sektor properti. Insentif itu berupa PPN sektor properti yang ditanggung pemerintah (singkatan resminya PPN DTP). Beleid itu dimaksudkan untuk mendongkrak sektor properti yang banyak dibutuhkan kelas menengah. Akan tetapi, kini, kebijakan itu diyakini tidak banyak menolong kelas menengah.
Apa pasal? Karena, ya, seperti banyak saya tulis di alinea sebelumnya: kelompok masyarakat kelas menengah kita tidak memiliki cukup uang. Boro-boro untuk kredit rumah, untuk meng-cover kebutuhan harian saja mereka mulai kelimpungan. Maka itu, beleid PPN DTP sektor properti itu dinilai hanya akan menolong segelintir kelas menengah. Sebagian besar kelas menengah tetap saja ngos-ngosan.
Sejumlah kalangan pun mengusulkan agar ada kebijakan yang lebih progresif. Misalnya, kebijakan moneter dari Bank Indonesia melalui pemangkasan suku bunga acuan, BI rate yang saat ini masih relatif tinggi, 6,25%. Apalagi momentumnya cukup tersedia. Penurunan itu akan membuat sektor riil menggeliat, bahkan bisa ekspansif. Dampak lanjutannya, ada ruang untuk memupuk kembali daya beli.
Parade kebijakan kombinasi fiskal dan moneter yang progresif itu akan membuat badai yang menerjang kelas menengah cepat berlalu. Agar tidak selalu muncul pertanyaan: 'adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang mengiba?'
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved