Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
DARI sekian ratus daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang bakal menggelar pilkada serentak 2024 pada 27 November mendatang, Pilkada DKI Jakarta tampaknya tetap menjadi yang paling membetot perhatian. Bukan cuma perhatian publik, melainkan juga perhatian para elite politik nasional.
Kalau pilkada serentak diibaratkan festival musik, Pilkada Jakarta ialah panggung utamanya. Daerah-daerah lain mungkin cukup tampil di panggung-panggung kecil di sekelilingnya. Panggung utama akan menyedot atensi paling besar karena punya daya tarik paling kuat. Sorotan lampu dan bidikan kamera pun sudah pasti akan lebih terfokus ke sana.
Lantas apa sebetulnya daya tarik yang tersisa dari Jakarta? Bukankah sebentar lagi ibu kota negara akan berpindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN)? Jawabannya simpel, Jakarta dengan sejarah panjangnya tidak segampang itu tergantikan sebagai sentra bisnis, ekonomi, dan bahkan politik. Kota yang sudah menjelma menjadi megaurban itu tidak pernah gagal menawarkan peluang sekaligus mimpi utopia.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?
Boleh saja nanti, cepat atau lambat, pusat pemerintahan bakal berpindah ke IKN. Namun, daya magis Jakarta sebagai pusat perputaran uang tidak akan hilang. Sebagian kekuatan Jakarta yang katanya ingin dilepaskan dengan status barunya yang tak lagi menjadi ibu kota kiranya juga tidak akan signifikan memengaruhi daya tarik megapolitan itu di mata para elite baik penguasa politik maupun ekonomi.
Itu sebabnya, dalam konteks politik, Jakarta juga diperebutkan secara mati-matian. Buktinya ada. Keriuhan drama dan kencangnya dinamika pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang kita saksikan, beberapa waktu lalu, nyata-nyata menunjukkan 'penguasaan' atas panggung Jakarta dianggap sebagai kunci kekuasaan di level nasional.
Jakarta akan tetap menjadi episentrum politik nasional. Karena itu, panggung Pilkada Jakarta betul-betul menjadi magnet. Sejumlah pakar bilang kontestasi di Jakarta sangat strategis sebagai batu loncatan menuju level kontestasi demokrasi yang lebih tinggi, yaitu pemilihan presiden (pilpres).
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Joko Widodo (Jokowi), Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno ialah contoh pemimpin-pemimpin Jakarta yang dalam satu dekade ini mampu 'naik kelas' dengan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Jokowi, kendati baru merasakan dua tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta, bahkan berhasil memenangi Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Bisa dikatakan Pilkada Jakarta merupakan politik elektoral level daerah yang punya pengaruh paling kuat terhadap dinamika politik nasional. Teori itu semakin terasa dan berlaku pada Pilkada Jakarta tahun ini. Seluruh kekuatan politik nasional seakan tercurah untuk kepentingan pemenangan di Jakarta.
Itu pula yang menjadi jawaban mengapa perebutan penguasaan panggung utama itu tidak hanya berjalan sengit, tapi juga kotor. Tidak semata diisi dengan perang strategi, tetapi juga dalam prosesnya kerap ditingkahi dengan sikut-menyikut, ganjal-mengganjal, bahkan sandera-menyandera dan jegal-menjegal.
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Bahkan, representasi dinasti politik penguasa pun sempat akan dicoba 'disusupkan' menjadi kandidat di Pilkada Jakarta meski rencana itu kemudian pupus, terutama setelah Mahkamah Konstitusi pada 20 Agustus 2024 mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mengatur soal syarat usia pencalonan.
Pilkada Jakarta sejatinya selalu dituntut bisa menjadi contoh dari kedewasaan berdemokrasi bangsa ini. Namun, yang terjadi saat ini sebaliknya, malah menjadi contoh buruk penerapan demokrasi. Jakarta kini tak hanya tersandera oleh polusi udara, tapi juga polusi politik yang menghamba pada kekuasaan.
Para elitelah yang mengendalikan semuanya, tentu demi kepentingan mereka. Masa bodoh dengan suara dan aspirasi masyarakat. Mereka lupa bahwa hakikat pilkada bukan semata ajang mencari pemenang dan menyingkirkan yang kalah, melainkan arena memilih pemimpin mumpuni untuk memuliakan daerah tersebut.
Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024
Jakarta akan menuju status kekhususan yang baru di era gubernur dan wakil gubernur yang dihasilkan dari kontestasi pilkada tahun ini. Akan seperti apa Jakarta dengan status barunya, itu sangat bergantung pada kecakapan pemimpin yang baru nanti.
Akan tetapi, kalau melihat proses yang terjadi sepanjang tahapan pilkada, saya, kok, tidak yakin Jakarta akan banyak berubah. Boleh jadi, Jakarta dengan kekhususannya nanti hanya akan dijadikan objek untuk memenuhi kepentingan politik dan ekonomi para penguasa. Bukan sebagai subjek untuk memanusiakan dan membahagiakan seluruh warganya.
Namun, itu sebatas dugaan saya sebagai orang awam. Di balik itu saya masih punya simpanan asa akan hadirnya Jakarta yang lebih baik, yang lebih human. Pemimpin Jakarta harus lebih banyak menyerap aspirasi warga dalam menelurkan setiap program dan kebijakan, alih-alih menuruti kemauan dan kepentingan tuan yang mengusung mereka.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved