Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
DARI sekian ratus daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang bakal menggelar pilkada serentak 2024 pada 27 November mendatang, Pilkada DKI Jakarta tampaknya tetap menjadi yang paling membetot perhatian. Bukan cuma perhatian publik, melainkan juga perhatian para elite politik nasional.
Kalau pilkada serentak diibaratkan festival musik, Pilkada Jakarta ialah panggung utamanya. Daerah-daerah lain mungkin cukup tampil di panggung-panggung kecil di sekelilingnya. Panggung utama akan menyedot atensi paling besar karena punya daya tarik paling kuat. Sorotan lampu dan bidikan kamera pun sudah pasti akan lebih terfokus ke sana.
Lantas apa sebetulnya daya tarik yang tersisa dari Jakarta? Bukankah sebentar lagi ibu kota negara akan berpindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN)? Jawabannya simpel, Jakarta dengan sejarah panjangnya tidak segampang itu tergantikan sebagai sentra bisnis, ekonomi, dan bahkan politik. Kota yang sudah menjelma menjadi megaurban itu tidak pernah gagal menawarkan peluang sekaligus mimpi utopia.
Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Enak?
Boleh saja nanti, cepat atau lambat, pusat pemerintahan bakal berpindah ke IKN. Namun, daya magis Jakarta sebagai pusat perputaran uang tidak akan hilang. Sebagian kekuatan Jakarta yang katanya ingin dilepaskan dengan status barunya yang tak lagi menjadi ibu kota kiranya juga tidak akan signifikan memengaruhi daya tarik megapolitan itu di mata para elite baik penguasa politik maupun ekonomi.
Itu sebabnya, dalam konteks politik, Jakarta juga diperebutkan secara mati-matian. Buktinya ada. Keriuhan drama dan kencangnya dinamika pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang kita saksikan, beberapa waktu lalu, nyata-nyata menunjukkan 'penguasaan' atas panggung Jakarta dianggap sebagai kunci kekuasaan di level nasional.
Jakarta akan tetap menjadi episentrum politik nasional. Karena itu, panggung Pilkada Jakarta betul-betul menjadi magnet. Sejumlah pakar bilang kontestasi di Jakarta sangat strategis sebagai batu loncatan menuju level kontestasi demokrasi yang lebih tinggi, yaitu pemilihan presiden (pilpres).
Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo
Joko Widodo (Jokowi), Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno ialah contoh pemimpin-pemimpin Jakarta yang dalam satu dekade ini mampu 'naik kelas' dengan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Jokowi, kendati baru merasakan dua tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta, bahkan berhasil memenangi Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Bisa dikatakan Pilkada Jakarta merupakan politik elektoral level daerah yang punya pengaruh paling kuat terhadap dinamika politik nasional. Teori itu semakin terasa dan berlaku pada Pilkada Jakarta tahun ini. Seluruh kekuatan politik nasional seakan tercurah untuk kepentingan pemenangan di Jakarta.
Itu pula yang menjadi jawaban mengapa perebutan penguasaan panggung utama itu tidak hanya berjalan sengit, tapi juga kotor. Tidak semata diisi dengan perang strategi, tetapi juga dalam prosesnya kerap ditingkahi dengan sikut-menyikut, ganjal-mengganjal, bahkan sandera-menyandera dan jegal-menjegal.
Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas
Bahkan, representasi dinasti politik penguasa pun sempat akan dicoba 'disusupkan' menjadi kandidat di Pilkada Jakarta meski rencana itu kemudian pupus, terutama setelah Mahkamah Konstitusi pada 20 Agustus 2024 mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mengatur soal syarat usia pencalonan.
Pilkada Jakarta sejatinya selalu dituntut bisa menjadi contoh dari kedewasaan berdemokrasi bangsa ini. Namun, yang terjadi saat ini sebaliknya, malah menjadi contoh buruk penerapan demokrasi. Jakarta kini tak hanya tersandera oleh polusi udara, tapi juga polusi politik yang menghamba pada kekuasaan.
Para elitelah yang mengendalikan semuanya, tentu demi kepentingan mereka. Masa bodoh dengan suara dan aspirasi masyarakat. Mereka lupa bahwa hakikat pilkada bukan semata ajang mencari pemenang dan menyingkirkan yang kalah, melainkan arena memilih pemimpin mumpuni untuk memuliakan daerah tersebut.
Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024
Jakarta akan menuju status kekhususan yang baru di era gubernur dan wakil gubernur yang dihasilkan dari kontestasi pilkada tahun ini. Akan seperti apa Jakarta dengan status barunya, itu sangat bergantung pada kecakapan pemimpin yang baru nanti.
Akan tetapi, kalau melihat proses yang terjadi sepanjang tahapan pilkada, saya, kok, tidak yakin Jakarta akan banyak berubah. Boleh jadi, Jakarta dengan kekhususannya nanti hanya akan dijadikan objek untuk memenuhi kepentingan politik dan ekonomi para penguasa. Bukan sebagai subjek untuk memanusiakan dan membahagiakan seluruh warganya.
Namun, itu sebatas dugaan saya sebagai orang awam. Di balik itu saya masih punya simpanan asa akan hadirnya Jakarta yang lebih baik, yang lebih human. Pemimpin Jakarta harus lebih banyak menyerap aspirasi warga dalam menelurkan setiap program dan kebijakan, alih-alih menuruti kemauan dan kepentingan tuan yang mengusung mereka.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved