Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
BELAKANGAN ada anekdot sarkasme yang kerap berseliweran di berbagai platform media sosial. Bahkan ada sebagian orang yang menuliskannya di bagian punggung kaus mereka. Tulisannya berbunyi, "Teruslah berbuat baik sampai orang mengira kamu nyaleg."
Bila dilihat dari momentumnya, kemunculan anekdot itu di tahun politik jelas menyiratkan sindiran keras kepada orang-orang yang kini sedang nyaleg, mungkin juga kepada politisi pada umumnya, bahwa mereka sering berbuat baik kalau ada maunya saja. Apa maunya? Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan simpati dan suara masyarakat dalam pemilihan umum nanti.
Demi upaya menjaring suara itu, orang yang sedang nyaleg alias mereka yang menjalankan 'kerja' sebagai calon legislatif (caleg), mau tidak mau memang harus berbuat baik kepada sebanyak-banyaknya orang. Syukur-syukur bisa baik ke semua orang, tapi minimal kebaikan itu harus diberikan kepada orang-orang yang ada di daerah pemilihannya.
Muncul pertanyaan, masa orang berbuat baik tidak boleh sampai harus disindir-sindir segala? Ya, boleh-boleh saja, bahkan bagus kalau semua caleg, juga calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), dan semua politikus bisa mengirim kebaikan kepada masyarakat. Bukankah pada hakikatnya berpolitik itu menebar kebaikan? Justru aneh kalau ada yang melarang mereka berbuat baik.
Lagi pula, secara sifat dan karakter, kebaikan orang Indonesia tak perlu diragukan lagi. Sedari dulu masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya gotong-royong dan tolong-menolong. Dua budaya tersebut merupakan bentuk aplikatif dari konsep kebaikan yang sejak awal tertanam di hati dan benak masyarakat Tanah Air.
Kebaikan orang Indonesia dari sisi kedermawanan juga tinggi bahkan mendapat pengakuan dari lembaga internasional. Lembaga survei World Giving Index (WGI) baru-baru ini kembali menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan sedunia. Hasil itu menempatkan Indonesia sebagai juara selama enam tahun berturut-turut, yakni dari 2018-2023.
Tahun ini, berdasarkan hasil survei yang melibatkan 147.186 responden dari 142 negara pada 2022, Indonesia mendapat skor tertinggi 68, jauh di atas skor kedermawanan global yang hanya 39. Jika dirinci indikatornya, Indonesia meraih 61% dalam aspek membantu orang tak dikenal, 82% dalam hal donasi uang, dan 61% dalam hal kesediaan menjadi relawan.
Namun, bukan di situ persoalannya. Nilai kebaikan tentu tak lepas dari konteksnya. Dari banyak pengalaman yang sudah-sudah, kebaikan yang digondeli kepentingan politik seperti yang tecermin dari perilaku para politikus dan caleg akhir-akhir ini patut dicurigai tidak tulus. Kebaikan yang mengandung pamrih.
Pun layak diduga kebaikannya tidak autentik, lebih cenderung dibuat-buat untuk mengejar keuntungan politik sesaat. Seringkali kebaikan juga hanya untuk pencitraan atau topeng, berpura-pura baik demi mendulang suara.
Kebaikan, dalam konteks itu, juga menjadi sekadar perilaku musiman. Tempo-tempo muncul, tempo-tempo hilang. Pada musim kampanye pemilu, kebaikan bertebaran, tetapi begitu pemilu usai, kebaikannya juga ikut selesai. Saat tahun politik, mereka aktif mendekati rakyat. Namun, ketika tahun politik berganti, mereka mulai melupakan, bahkan menjauh dari rakyat.
Sulit untuk tidak mengatakan kebaikan kerap dimanfaatkan, bahkan disalahgunakan untuk memanipulasi opini publik dalam kancah pertarungan politik. Nilai kebaikan yang mestinya luhur karena bersumber dari hati, tergerus menjadi sekadar gimik politik yang kerap muncul tanpa nilai.
Kuncinya, lagi-lagi, memang ada pada masyarakat yang terus digerojogi kebaikan semu, atau bahkan palsu dari para pemain politik itu. Saringannya ada di masyarakat, apakah mereka akan menelan mentah-mentah kebaikan itu dan menuruti apa pun mau para caleg dan politisi, atau mereka akan memilah dulu kebaikan-kebaikan itu berdasarkan motifnya.
Jika masyarakat kritis, kedok orang-orang yang hanya berpura-pura baik itu pada akhirnya bakal terkuak dengan sendirinya. Jika publik selektif, niscaya akan ketahuan siapa politisi yang benar-benar berbuat kebaikan untuk kepentingan rakyat dan siapa yang gemar bersandiwara menjual kebaikan hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Jangan sampai publik terus dilenakan dengan kebaikan yang pura-pura. Itu jeratan yang meninabobokkan yang pada ujungnya nanti bakal membanting mereka dengan keras.
Lagi pula, kan, memang lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah. Artinya, daripada hanya menunggu kebaikan orang, apalagi itu kebaikan palsu, akan jauh lebih baik kalau kita mengukir kebaikan kita sendiri. "Teruslah berbuat baik, tak perlu menunggu kamu nyaleg."
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved