Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Solidaritas Lintas Iman: Pilar Moderasi di Tengah Konflik

Hendrikus Maku Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
05/8/2025 12:00
Solidaritas Lintas Iman: Pilar Moderasi di Tengah Konflik
(Dokpri)

SALAH satu insiden paling menggemparkan dalam konflik berkepanjangan di wilayah Gaza adalah serangan militer Israel yang menghantam Gereja Keluarga Kudus (GKK) pada Kamis (17/7/2025). Sehari setelah tragedi itu, Media Indonesia menurunkan dua berita pada waktu yang berbeda, dengan angle yang berbeda pula. 

Berita pertama, “Paus Leo Desak Gencatan Senjata Usai Serangan Israel ke Gereja Katolik di Gaza”. Sementara berita kedua, “Indonesia Kecam Serangan Israel ke Gereja Katolik Satu-Satunya di Gaza”. Paus Leo XIV mengharapkan tercapainya dialog, rekonsiliasi, dan perdamaian abadi di Gaza. Kementerian Luar Negeri RI juga mengingatkan, bahwa serangan tersebut merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional serta nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian tempat ibadah.

Solidaritas lintas iman: dari dunia untuk Gaza

Di Gaza, bahkan tempat ibadah tak lagi punya hak untuk tenang. GKK dihantam oleh tank Israel. Sedikitnya 22 orang tewas, termasuk delapan orang yang bertugas melindungi truk bantuan. Dari video dan foto yang beredar di berbagai medsos, terlihat di antara puing-puing, ada salib yang berdiri miring. Salib itu seakan sedang mengaduh: di manakah Tuhan ketika manusia ciptaan-Nya kehilangan rasa kemanusiaan?

Ada banyak narasi yang dibangun pascaserangan. Militer Israel menyatakan bahwa amunisi meleset dari sasaran, dan mereka sedang melakukan penyelidikan. Mereka mengklaim berusaha meminimalkan kerusakan terhadap warga sipil dan tempat ibadah, namun tetap menyesalkan insiden itu.

Iman yang terluka, solidaritas yang bangkit. Sesaat setelah GKK Gaza diserang, dunia internasional angkat bicara.  Paus Leo XIV langsung  menghubungi PM Israel, Benjamin Netanyahu, menekankan pentingnya melindungi tempat ibadah dan menyerukan gencatan senjata. PM Italia, Giorgia Meloni mengecam keras serangan terhadap warga sipil dan menyebutnya “tidak dapat diterima”. Uskup Agung Katolik dan Ortodoks Yunani mengunjungi tempat kejadian perkara (TKP) di Gaza, sehari setelah serangan. Dia membawa bantuan makanan dan medis, serta berjanji mengevakuasi korban luka ke luar Gaza. 

Moderasi beragama di tengah konflik

Bagi warga Gaza, GKK bukan hanya tempat ibadah. Ia adalah tempat perlindungan untuk siapa pun, termasuk kaum Muslim dan umat Nasrani, anak-anak penyandang disabilitas, dan lansia. Itu artinya, ketika bom menghantam tempat itu, bukan hanya batu yang hancur, tetapi juga harapan, iman, dan rasa aman.

Sesungguhnya, serangan terhadap GKK di Gaza telah melukai keluhuran dari agama. Benar bahwa agama-agama jangan pernah disamakan secara simplistis. Namun demikian, harus juga diamini bahwa meski setiap agama memiliki doktrin, ritual, dan sejarah yang berbeda, toh tetap ada nilai-nilai universal yang menjadi benang merah dari semuanya.   

Setiap agama mengajarkan, pertama cinta kasih dan welas asih. Kedua, keadilan dan kebenaran. Ketiga, persaudaraan dan toleransi. Keempat,  pengendalian diri dan kesucian hati. Dan kelima, hubungan dengan Tuhan dan makna hidup, serta keenam, tanggung jawab sosial dan lingkungan. 

Di atas semuanya, moderasi dalam beragama adalah semua keniscayaan. Mengapa?. Pertama, moderasi beragama mengajarkan tempat ibadah sebagai zona damai (dar al-salam). Tempat ibadah seperti gereja, masjid, sinagoge, dan apapun namanya adalah ruang suci yang harus dilindungi dari kekerasan. Serangan terhadap GKK di Gaza menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip ini, dan menjadi contoh ekstrem dari radikalisasi kekuasaan yang mengabaikan nilai spiritual.

Kedua, moderasi menolak kekerasan atas nama agama atau politik. Serangan di GKK Gaza bukan hanya menyasar bangunan, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. Moderasi beragama menolak segala bentuk kekerasan, apalagi yang dilakukan terhadap kelompok minoritas. GKK di Gaza merupakan simbol solidaritas lintas iman.

Ketiga, serangan yang menyasar GKK di Gaza mesti menjadi alarm global untuk menghidupkan kembali 'bara api' moderasi. Insiden di Gaza bisa menjadi momentum bagi komunitas internasional untuk: (1) Mengafirmasi pentingnya perlindungan terhadap minoritas dengan dalil aqli: “mayoritas mesti melindungi minoritas, dan minoritas jangan memprovokasi mayoritas”. (2) Mendorong dialog antaragama sebagai jalan damai, dan (3) mengedukasi publik bahwa agama bukan alat kekuasaan, melainkan jalan kasih dan keadilan.

At last but not least, (4), moderasi beragama adalah penjaga nurani. Ketika tempat ibadah diserang, itu bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga soal hilangnya nurani kolektif. Moderasi beragama mengajak kita untuk menjaga nurani itu dengan empati, refleksi, dan keberanian untuk bersuara.

Ada banyak penjelasan tentang moderasi beragama. Secara singkat bisa dijelaskan bahwa moderasi beragama adalah sebuah konsep, sikap, dan cara beragama yang menekankan keseimbangan dan keadilan, memahami dan menjalankan ajaran agama secara moderat, agar terhindar dari sikap ekstrem kiri maupun kanan. 

Pribadi yang moderat selalu menghargai ajaran agama sendiri, sekaligus menghormati agama lain dengan prinsip cinta tanah air, akhlak inklusif, dan keterbukaan terhadap keragaman. Konsep ini menjadi landasan yang kuat untuk memelihara harmoni di tengah masyarakat yang multikultural.

Moderasi beragama menjunjung tinggi kemanusiaan dengan dalil, semua manusia berhak dihormati dalam keyakinannya. Dalam studi perbandingan agama, diperoleh titik temu. Misalnya dalam Islam, konsep wasathiyah (jalan tengah) menekankan keseimbangan antara keyakinan dan kemanusiaan, sementara dalam Kristen, kasih kepada sesama adalah hukum yang melampaui sekat-sekat identitas.

Literasi moderasi beragama mengajarkan bahwa berbeda bukan berarti bermusuhan, keyakinan tidak perlu dibuktikan dengan kekerasan, dan bahwa ibadah orang lain bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa kita tidak sendirian. Sebab, sesungguhnya manusia tidak berada di ruang hampa, dan bahwa dia hidup di suatu zona yang dihuni pelbagai makhluk Tuhan.

Serangan terhadap tempat ibadah (kapanpun dan dimanapun), adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai universal. Bukan hanya hukum internasional, tapi juga etika lintas agama. Dalam hal ini, kita tak lagi berbicara soal konflik politik. Kita berbicara tentang kehilangan nurani. Kemenlu RI menegaskan bahwa situs keagamaan, fasilitas medis, dan fasilitas sipil lainnya harus dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran, dan dilindungi hukum internasional(Media Indonesia, 18/7/2025).

Mengasah nurani dalam doa yang tak sampai ke langit

Ketika iman dibungkam oleh peluru, warga Gaza bergumul, mengasah nurani dalam doa yang tak sampai ke langit. Nurani mesti tetap terasah untuk membungkam siapapun yang telah kehilangan nuraninya. Orang yang kehilangan nuraninya adalah mereka yang: (1) tidak peka terhadap penderitaan orang lain; (2) menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi, kekuasaan, atau ideologi; (3) gemar beretorika tanpa empati, cenderung membenarkan kekerasan dengan dalih politik, agama, atau keamanan. Lalu, (4) menolak dialog dan refleksi; (5) kehilangan rasa bersalah; dan (6) tidak menghargai nilai-nilai universal seperti: kontra keadilan, kasih sayang, HAM, dan martabat hidup.

Mari berjihad

Ketika darah mengalir di Rumah Tuhan, di Gaza, dunia harus melakukan apa? Alih-alih mengecam dan mengutuk, dunia internasional terpanggil untuk semakin inklusif dan humanis dalam bersolider, semakin moderat dalam beragama. Mari berjihad (berjuang) untuk: (1) melindungi tempat ibadah sebagai zona damai (dar al-salam), (2) mendorong dialog lintas iman dan budaya, dan (3) mengedukasi publik bahwa perang bukan solusi, dan bahwa agama bukan alasan untuk membunuh.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya