Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
PEKAN lalu, media foreignpolicy.com menurunkan sebuah artikel menggugah berjudul Will India Surpass China to Become the Next Superpower?. Graham Allison, guru besar bidang pemerintahan di Harvard Kennedy School, memotret bagaimana India punya potensi menyalip Tiongkok menjadi pemimpin ekonomi dunia.
Potensi itu ia apungkan ketika India mengambil alih posisi Tiongkok untuk menjadi negara terpadat di dunia, April lalu. Populasi India mencapai 1,428 miliar orang, atau 3 juta orang lebih banyak ketimbang penduduk Tiongkok yang mencapai 1,425 miliar orang.
Para pengamat pun bertanya-tanya, akankah New Delhi melampaui Beijing untuk menjadi negara adidaya global berikutnya? Tingkat kelahiran India hampir dua kali lipat dari Tiongkok. Selain itu, India telah melampaui Tiongkok dalam pertumbuhan ekonomi selama dua tahun terakhir (PDB India tumbuh 6,1% pada kuartal terakhir, sedangkan Tiongkok 4,5%).
Sekilas, statistik itu terlihat menjanjikan. Pertanyaan Allison kian relevan ketika Perdana Menteri India Narendra Modi bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington, pekan ini. Dari sudut pandang AS, jika India benar-benar dapat mengalahkan Tiongkok, itu akan menjadi 'sesuatu yang patut diteriakkan dengan gegap gempita'.
India adalah musuh alami Tiongkok. Semakin besar dan kuat pesaing Tiongkok di Asia, semakin besar prospek keseimbangan kekuatan yang menguntungkan Amerika Serikat. Namun, sebelum menghirup terlalu dalam narasi tentang India yang bangkit dengan cepat, tulis Allison, kita harus berhenti sejenak untuk merenungkan sejumlah fakta yang tidak menyenangkan.
Fakta itu di antaranya analisis yang salah tentang kebangkitan India di masa lalu. Pada 1990-an, para analis meneriakkan pertumbuhan populasi muda India yang akan mendorong liberalisasi ekonomi untuk menciptakan 'keajaiban ekonomi'.
Salah satu analis yang juga jurnalis Fareed Zakaria mencatat dalam kolomnya di Washington Post bahwa dia terjebak dalam gelombang kedua euforia ini pada 2006, ketika Forum Ekonomi Dunia di Davos menyatakan India sebagai 'demokrasi pasar bebas dengan pertumbuhan tercepat di dunia' dan Menteri Perdagangan India saat itu mengatakan ekonomi India akan segera melampaui Tiongkok. Faktanya, kendati ekonomi India tumbuh, Zakaria menunjukkan prediksi tersebut tidak menjadi kenyataan.
Salah satu persoalan krusial ialah perbedaan kualitas tenaga kerjanya. Tenaga kerja Tiongkok lebih produktif ketimbang India. Tiongkok secara 'ajaib' telah menghilangkan kemiskinan. Sebaliknya, India terus memiliki tingkat kemiskinan dan kekurangan gizi yang tinggi. Pada 1980, 90% dari 1 miliar warga Tiongkok memiliki pendapatan di bawah ambang batas kemiskinan versi Bank Dunia. Hari ini, angka kemiskinan itu mendekati nol.
Sebaliknya, lebih dari 10% dari 1,4 miliar penduduk India terus hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia. Sebanyak 16,3% populasi India juga kekurangan gizi pada 2019-2021, sedangkan Tiongkok kurang dari 2,5% populasi, menurut laporan United Nations State of Food Security and Nutrition in the World baru-baru ini. India juga memiliki salah satu tingkat kekurangan gizi anak terburuk di dunia.
Bapak pendiri dan pemimpin Singapura Lee Kuan Yew, yang sangat menghormati orang India, punya cerita. Lee yang bekerja dengan Perdana Menteri India berturut-turut, termasuk Jawaharlal Nehru dan Indira Gandhi, berharap dapat membantu mereka membuat India cukup kuat untuk menjadi pengawas serius di Tiongkok.
Tetapi, seperti yang dijelaskan Lee dalam serangkaian wawancara yang diterbitkan pada 2014, setahun sebelum kematiannya, ia menganalisis bahwa kombinasi dari sistem kasta yang mengakar di India yang merupakan musuh meritokrasi, juga birokrasi yang masif dan keengganan para elitenya untuk mengatasi klaim persaingan dari berbagai kelompok etnik dan agama, membuat India sulit menyerupai Tiongkok.
India pun terjebak menjadi negara berpendapatan menengah secara 'permanen'. Situasi seperti itu amat ditakuti negara-negara yang diprediksi menjadi negara maju dalam beberapa dekade mendatang, termasuk Indonesia.
Secara jumlah penduduk, India boleh saja melampaui Tiongkok, tapi secara ekonomi dan produksi masih terlampau berat. Banyak yang terus dan terus berharap India menjadi negara maju, tapi semakin ke sini semakin seperti fatamorgana.
Akankah kita, Indonesia, bernasib sama seperti India? Apalagi, berkali-kali Presiden dan sejumlah menteri kerap mengutip narasi bahwa dalam dua dekade ke depan Indonesia bakal menjadi negara maju. Di sisi lain, problem struktural kita yang mirip dengan India tidak pernah dibereskan secara tuntas.
Kita sering diberi harapan tinggi, tapi diam-diam dicekam ketakutan terkena jebakan sebagai negara berpendapatan menengah tanpa sanggup mengetahui dari mana titik jebakan itu bisa diurai. Atau, kita berada di dalam labirin yang terus berputar-putar tidak menemukan jalan keluar.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved