Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
SELEPAS zuhur (habis asar WIB) kemarin, sekitar 2,1 juta jemaah haji melakukan wukuf di Arafah, Arab Saudi. Wukuf di Arafah ialah penahbisan haji. Di tengah cuaca terik, di bawah suhu lebih dari 40 derajat celsius, para jemaah itu sedang mengkhidmati makna pengorbanan.
Mereka telah berkoban harta demi bisa berangkat ke Tanah Suci. Mereka menabung dari waktu ke waktu demi bisa mewujudkan niat mulia untuk berhaji. Mereka berkorban kesabaran untuk menunggu bertahun-tahun, bahkan banyak yang puluhan dan belasan tahun, untuk dapat menunaikan panggilan Tuhan itu.
Beberapa di antara jemaah itu para pejabat, calon pejabat, bahkan bakal calon presiden. Mereka para pemimpin publik. Kita bersyukur, banyak pemimpin kita menunaikan haji. Jika rumus bahwa berhaji sama dengan kesiapan melakukan pengorbanan, mestinya sepulang haji banyak pemimpin yang siap berkorban. Seperti garis lurus.
Saya jadi teringat artikel di jurnal Prisma nomor 8 edisi 1977. Di jurnal itu, Mohammad Roem menulis sebuah artikel berjudul 'Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita'. Roem mengutip pepatah Belanda kuno leiden is lijden, itu untuk disematkan kepada negarawan yang sangat sederhana: Haji Agus Salim.
Agus Salim diplomat ulung dan disegani, tetapi sangat sederhana dan sangat terbatas dari sisi materi. Kendati tiga kali menjadi menteri luar negeri, ia tidak punya rumah hingga akhir hayat. Ia pun kerap mengutip pepatah Belanda 'memimpin ialah menderita' untuk 'membela diri' atas pilihan hidupnya.
Agus Salim sudah lima kali naik haji. Kesempatan itu ia dapat saat ia merantau di Arab Saudi. Sembari memperdalam ilmu agama, Agus Salim ikut terlibat menjadi pelayan para jemaah haji. Dari lima kali berhaji itu pulalah, Agus Salim amat mendalami pentingnya pengorbanan pemimpin.
Kehidupan Agus Salim jauh dari keadaan nyaman: kurang uang belanja untuk hidup, pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Hal itu biasa bagi dia dan keluarganya. Ia pernah tinggal di rumah kontrakan di Tanah Tinggi yang jalannya berlumpur di musim hujan, atau menumpang di rumah seorang kawannya. Padahal, Sarekat Islam yang dia pimpin termasuk partai besar di zaman kolonial.
Namun, Salim tahu bagaimana menikmati hidup. Itu termasuk bagaimana tinggal di hunian yang jelek dan bocor ketika hujan. Saat hujan, Salim bersama anak-anaknya menampung air hujan dalam baskom yang kemudian digunakan untuk main kapal-kapalan. Begitulah caranya menghibur sekaligus mendidik anak-anaknya dalam kesederhanaan.
Mohamad Roem dan Kasman Singodimedjo muda (keduanya pentolan Partai Masjumi) pernah mengunjungi bedeng kontrakan Salim pada 1920-1930-an. Pengalaman itulah yang ditulis Roem di Prisma. Bagi mereka, Agus Salim ialah contoh pemimpin yang berani susah. Kasman, seperti diingat Roem, mengambil kesimpulan: “Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita."
Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin ialah amanah, bukan hadiah. Memimpin ialah sacrificing, berkorban, bukan demanding, menuntut. Memimpin ialah berkorban, bukan menuntut.
Diperlukan pengorbanan utama, yakni kerelaan meninggalkan zona nyaman. Bahkan, zona nyaman pemimpin ialah kerelaan berkorban. Bung Hatta tidak akan jadi tokoh besar jika hanya sibuk menghitung-hitung besar uang saku yang diterima dari Yayasan Van Deventer yang memberinya beasiswa.
Bung Hatta besar karena tidak menuntut. Ia menolak rupa-rupa fasilitas negara untuk keperluan pribadi dan keluarganya kendati ia seorang wakil presiden. Bung Hatta menolak 'hadiah' naik haji bersama keluarga dengan fasilitas negara. Bung Hatta pun berhaji dengan menggunakan uang dari kantong pribadi yang ditabungnya dari waktu ke waktu.
Dua sosok negarawan yang sudah berhaji dan memaknai haji hingga ke tulang sumsum itu kiranya layak menjadi teladan bangsa. Apalagi pada situasi saat ini, ketika kita mendapati banyak pemimpin di berbagai level lebih kerap menuntut ketimbang berkorban. Pemimpin minta dilayani, alih-alih melayani.
Haji Agus Salim dan Bung Hatta, juga sejumlah tokoh pemimpin pendiri Republik ini, menabalkan semangat bahwa memimpin ialah jalan yang menderita. Seperti bunyi pepatah kuno Belanda: leiden is lijden--memimpin adalah menderita.
Memimpin itu tidak memperturutkan keinginan karena, sebagaimana nukilan lirik lagu berjudul Seperti Matahari karya Iwan Fals, 'Keinginan adalah sumber penderitaan. Tempatnya di dalam pikiran'.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved