Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
HARI ini Kota Jakarta berulang tahun yang ke-496. Barangkali ini tahun-tahun terakhir Jakarta merayakan ulang tahun dalam statusnya sebagai ibu kota negara. Tahun depan, sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo, secara bertahap pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur harus mulai dilakukan.
Dalam bayangan ideal saya, dengan hilangnya status ibu kota, ketika merayakan ulang tahun yang kelima abad alias 500 tahun pada 2027 nanti, Jakarta boleh jadi sudah punya wajah yang berbeda. Wajah yang semestinya lebih segar, lebih cerah, sekaligus lebih humanis dan bersahabat. Tidak seperti Jakarta sekarang yang kusam, kotor, dan tak jarang terlihat kejam dan bengis.
Membayangkan masa depan Jakarta yang indah kiranya lebih menarik buat saya ketimbang ikut memperdebatkan mengapa ibu kota negara harus dipindah dari Jakarta. Debat soal itu hanya akan menjadi debat kusir, tidak akan pernah ada titik temu antara kubu propemindahan dan kubu antipemindahan. Seperti halnya debat antara kusir delman dan kudanya, mana bisa nyambung?
Di satu sisi, pemerintah sebagai pengusul pemindahan ngotot ingin ibu kota pindah pada 2024, apa pun yang terjadi. Mereka tak peduli meski, di sisi lain, banyak suara mengkritik urgensi kebijakan itu sejak awal. Memang ada adu argumentasi, adu pendapat, bahkan adu mulut, tetapi pada akhirnya keinginan pemerintah soal ibu kota negara baru sepertinya tak bisa dibendung.
Undang-undang tentang IKN Nusantara dengan cepat dibahas dan diketok sah sebagai modal legitimasi rencana pemindahan ibu kota tersebut. Belakangan, Presiden bahkan mau ikut cawe-cawe dalam urusan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, salah satu alasannya, sepertinya, karena takut kebijakan pembangunan ibu kota baru pengganti Jakarta tidak diteruskan presiden selanjutnya.
Ya, maklum saja Presiden ngotot, karena kalau rencana ini sukses, itu akan menjadi legacy atau warisan kebijakan yang mungkin bakal dikenang sepanjang masa. Akan tertulis di buku-buku sejarah bahwa Presiden RI ke-7 Joko Widodo ialah pemimpin yang berhasil memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN Nusantara. Maka, sekencang apa pun kritikan tentang proyek ibu kota baru itu, pemerintah sepertinya tak peduli.
Karena itu, daripada mumet, mendingan kita membayangkan saja situasi Jakarta setelah lepas dari statusnya sebagai ibu kota negara. Situasi Jakarta yang tak lagi menjadi pusat pemerintahan meski masih akan menjadi pusat ekonomi dan bisnis. Sekecil apa pun perubahannya, Jakarta bakal berubah wajah karena satu beban beratnya sudah hilang.
Lalu, apakah otomatis wajah Jakarta akan lebih segar dan cerah seperti uraian saya di atas tadi? Apakah kekejaman Jakarta juga akan sirna seiring ia tidak lagi menjadi ibu kota? Apakah status baru itu akan membuat udara Jakarta bersih dari polusi? Belum tentu juga. Namun, kini hal itu menjadi harapan yang masuk akal.
Setidaknya dari sisi kepadatan, Jakarta sangat mungkin bakal tak semenakutkan sekarang. Kekuatan magnet Jakarta yang selama ini mampu menarik segala macam kepentingan, harapan, bahkan mimpi, akan berkurang. Jakarta mestinya juga akan lebih gesit mengatur dirinya sendiri karena tidak dibebani lagi oleh urusan keibukotaan negara.
Memang, tak mungkin kita berharap Jakarta akan bertransformasi menjadi lebih baik dalam seketika. Tentu butuh proses panjang. Belum lagi masih ada persoalan-persoalan klasik kota ini yang tentu tidak akan hilang begitu saja tanpa skema penanganan yang lebih fokus dan serius. Kemacetan, banjir, kriminalitas, dan ancaman polusi udara kiranya masih menjadi momok buat Jakarta meskipun sudah tak menjadi ibu kota.
Akan tetapi, dengan dicabutnya status ibu kota, paling tidak itu bisa dijadikan titik pijak untuk pengelolaan kota yang lebih terencana dan integratif. Bila perlu dan bila memungkinkan, kenapa tidak membuat masterplan pembangunan yang baru, yang lebih modern dan aplikatif untuk memandu agar pola pembangunan kotanya tak serampangan?
Tujuan akhirnya tentu saja Jakarta harus menjadi kota yang inklusif, humanis, dan berkelanjutan. Kota yang tak hanya ramah publik, tapi juga ramah lingkungan.
Agak mengawang-awang, ya? Ya, namanya juga mimpi, bolehlah kita berharap yang tinggi-tinggi selama itu masih mungkin digapai. Kita berdoa saja Pilkada 2024 nanti bisa menghasilkan pemimpin Jakarta yang mampu menerjemahkan mimpi-mimpi itu dalam kerja nyata.
Selamat ulang tahun Jakarta. Semoga panjang umur.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved