Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
DI tengah riuhnya pemberitaan soal politik, mulai pergerakan dan intrik koalisi-koalisi parpol menjelang Pemilu 2024, niat cawe-cawe Presiden Joko Widodo, hingga penantian pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sistem pemilu, beruntung masih terselip satu isu penting yang kini juga ramai dibincangkan, yaitu tentang kualitas udara yang semakin buruk di kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta.
Mengapa ini penting, karena dampak dari kian buruknya kualitas udara itu langsung dirasakan masyarakat. Bukan lagi sekadar prediksi atau asumsi, apalagi berandai-andai. Berbeda dengan isu tentang politik dan kepemiluan yang semuanya masih di atas kertas, baru sebatas potensi. Walaupun dengan berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, prediksi dan asumsi dalam politik itu bisa saja menjadi kenyataan.
Namun, yang sudah pasti menjadi fakta hari ini, polusi udara di Jakarta kian mengkhawatirkan. Kadarnya sudah keterlaluan, melebihi yang seharusnya. Akibatnya, ya tadi, kualitas udara Jakarta memburuk, bahkan saking buruknya 'ditahbiskan' sebagai salah satu kota yang memiliki kualitas udara terburuk di dunia. Tentu saja ini berefek langsung pada kesehatan, keamanan, dan keselamatan masyarakat.
Seberapa parahkah udara Jakata? Mari kita bedah. Tingkat kualitas udara dalam satu wilayah biasanya diukur berdasarkan indeks kualitas udara (AQI). Semakin tinggi angka AQI menandakan kualitas udara yang semakin buruk. Makin rendah AQI, semakin baik kualitas udaranya.
Mengutip laman iqair.com, per Rabu (14/6) sore kemarin, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta ada di level 154. Angka ini sejatinya fluktuatif, bisa naik bisa turun secara real time. Akan tetapi, dalam beberapa hari terakhir, AQI Jakarta memang bergerak di antara 120 hingga 160. Angka itu tergolong tinggi dan masuk kategori tidak sehat.
Dengan AQI di kisaran angka tersebut, Jakarta konsisten berada di lima besar di antara kota-kota besar di seluruh dunia untuk kategori kota dengan kualitas udara terburuk. Contohnya, kemarin, dengan AQI 154 Jakarta menempati peringkat dua di bawah ibu kota India, New Delhi.
Polutan utama dari polusi udara ialah particulate matter (PM 2.5). Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), PM 2.5 ialah polutan udara yang berukuran sangat halus, sekitar 2,5 mikrometer. Naiknya angka PM 2.5 dipengaruhi oleh faktor udara panas, kebakaran, dan polusi lingkungan. Untuk Jakarta, kemarin, level PM2.5 mencapai 61 ug/m3 atau 12 kali lebih tinggi di atas anjuran WHO.
Dengan angka-angka itu saja sudah bisa dibayangkan bagaimana 'rusaknya' udara Jakarta. Di sisi lain, fakta bahwa langit di ibu kota semakin keruh, bahkan di pagi hari sekalipun, juga tampak melalui pandangan mata langsung. "Saya kira kabut, ternyata udaranya kotor karena polusinya semakin berat," kata Nita, seorang 'pejuang' pagi saat diwawancarai Metro TV, beberapa waktu lalu.
Kalau secara pandangan mata dan data angka sudah kompak, apa lagi yang bisa dibantah soal buruknya udara Jakarta? Yang pasti penyakit yang berhubungan dengan pernapasan, ISPA atau yang lain, sudah tak lagi sekadar mengintai, tapi sudah betul-betul menyerang. Dampak terburuknya ialah kematian.
Laman iqair.com bahkan menyatakan polusi udara diperkirakan telah menyebabkan kematian sekitar 4.900 orang di Jakarta selama 2023. Selain itu, polusi udara juga telah menimbulkan kerugian sekitar US$1,3 miliar atau setara Rp18,85 triliun (kurs 14.500/US$) di Jakarta untuk tahun ini saja. Sadis, bukan?
Lalu, ada seorang kawan yang bertanya, mana yang lebih berbahaya, polusi udara atau 'polusi digital'? Yang dia maksud dengan polusi digital ialah konten-konten sampah yang diunggah ke ruang publik melalui medium digital, khususnya media sosial. Polutannya antara lain ujaran kebencian, hoaks, fitnah, perundungan, dan kejahatan siber.
Sangat masuk akal pertanyaan kawan itu karena sudah berkali-kali terbukti, terutama ketika suhu politik memanas menjelang pemilu, polusi digital juga mampu menimbulkan dampak yang tak kalah merusak ketimbang polusi udara. Dimensinya saja yang agak berbeda. Polusi udara mungkin lebih menyerang fisik: menyebabkan sakit, kematian atau kerugian ekonomi, sedangkan polusi digital lebih berimpak ke sisi sosial: menyulut pertikaian, perpecahan, dan polarisasi di masyarakat.
Terkepunglah kita oleh macam-macam polusi yang semuanya merusak. Lantas, di mana negara yang semestinya hadir dengan kebijakan solutif untuk memperbaiki kualitas udara dan ruang digital demi mencegah kerusakan lebih besar? Entahlah. Barangkali, saking bingungnya, kalau ditanya soal penanganan polusi, para pejabat negara akan menjawab seperti Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, "Saya tiup saja."
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved