Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
KEBINGUNGAN melanda ratusan mahasiswa dari 23 perguruan tinggi yang kampusnya ditutup Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Ke-23 kampus tersebut sebagian besar tersebar di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sisanya terbagi di sejumlah wilayah di Tanah Air.
Mereka kebingungan bagaimana menyelesaikan studi. Uang sudah banyak masuk ke kampus, sementara izin operasional kampus dicabut oleh pemerintah. Namun, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah akan membantu pindah ke PTS lain asalkan ada bukti hasil belajar yang bisa diakui oleh PTS baru.
Kemendikbud-Ristek tidak mengumumkan nama-nama PTS yang ditutup karena khawatir akan merusak citra mahasiswa dan lulusan PTS tersebut. PTS-PTS yang ditutup itu terbukti melakukan berbagai pelanggaran serius, seperti menjual ijazah tanpa proses belajar mengajar yang memadai, hingga menyalahgunakan program kartu Indonesia pintar (KIP) kuliah.
Alasan lainnya penutupan ialah perguruan tinggi tersebut tidak memenuhi standar nasional pelaksanaan pendidikan tinggi, antara lain dalam hal penerapan kurikulum, proses belajar mengajar, dan penilaian.
Selain itu, penutupan terjadi karena konflik internal di perguruan tinggi. Konflik mencuat antara pengelola PTS dengan keluarga atau pendiri kampus tersebut sehingga mengganggu penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan.
Secara moralitas yang paling parah ialah kampus yang melakukan bisnis jual-beli ijazah, penyimpangan KIP kuliah, dan tidak melaksanakan praktik belajar mengajar sesuai ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Mereka memilih PTS tersebut hanya berburu ijazah secara mudah dan bisa mendapatkan gelar meskipun gelarnya pun abal-abal. Fenomena jalan pintas untuk mendapatkan ijazah/gelar merupakan cerminan masyarakat. Sebagian masyarakat kita masih menganggap bahwa gelar yang berjejer di belakang nama dianggap keren. Sebaliknya, jika tidak ada gelarnya, dianggap tidak keren. Lihat saja, baliho-baliho bakal calon anggota legislatif yang marak di Tanah Air menjelang Pemilu 2024 sebagian besar diembel-embeli gelar meskipun tetangga atau rekannya si bacaleg tidak mengetahui juga di mana orang yang mereka kenal itu berkuliah. Tiba-tiba simsalabim menggunakan ‘gelar’.
Kasus ijazah palsu setiap pemilu selalu mencuat. Tak sedikit di antaranya sang caleg terpilih menjadi wakil rakyat. Hal ini tentu saja membuat miris karena untuk mendapatkan singgasana terhormat, caleg harus membeli ijazah atau mengikuti proses pendidikan yang tidak semestinya di sebuah PTS. Dari mereka tak bisa diharapkan lagi bisa memegang amanah dari yang memilihnya karena mereka sudah melakukan perbuatan tercela. Persyaratan utama integritas sudah gugur, belum lagi kapasitas sebagai anggota dewan.
Bayangkan saja fungsi anggota Dewan yang mentereng berada di tangan orang-orang yang melakukan praktik lancung untuk mendapatkan ijazah/gelar. Fungsi dewan (DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota), yakni legislasi (membuat undang-undang), budgeting (menyusun anggaran), dan pengawasan kepada pemerintah sebagai pelaksana undang-undang.
Untuk mengatasi fenomena penyakit masyarakat di atas, ijazah palsu/gelar abal-abal, diperlukan dua hal, yakni secara kultural dan legal. Secara kultural, tokoh-tokoh masyarakat, baik formal ataupun informal perlu mengajarkan kepada masyarakat bahwa penghargaan terhadap seseorang bukan karena ijazah/gelarnya, tetapi karena karyanya atau bermanfaat untuk masyarakat. Selanjutnya, secara legal perlu efek jera kepada pelakunya, baik yang mengeluarkan ijazah bodong atau penerima ijazah/gelar tersebut.
Dalam konteks pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mendorong penegakan hukum yang tegas dan konsisten untuk para pelaku ijazah palsu.
Sejumlah kasus ijazah palsu dalam pemilu dijatuhkan sanksi ringan. Padahal, aturan hukum cukup keras mengganjarnya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur larangan penggunaan ijazah dan gelar akademik palsu.
"Setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," bunyi Pasal 272 ayat (1) KUHP.
Terkait PTS abal-abal, Kemendikbud-Ristek jangan ragu untuk memberikan sanksi yang lebih keras kepada penyelenggara pendidikannya. Tidak cukup dengan penutupan PTS karena para pelaku sudah merusak dunia pendidikan nasional. Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sanksinya 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Merebaknya PTS abal-abal karena pengawasan dari pemerintah lemah. Bagaimana bisa PTS dengan status ‘terdengar’ bisa berdiri kukuh bertahun-tahun sehingga banyak mahasiswa yang terjebak di dalamnya. Selain banyak calon mahasiswa yang tak cermat memilih PTS, banyak juga di antara mereka memilih PTS yang ‘gampangan’ alias bisa diatur untuk mendapatkan ijazah dan gelar akademik jadi-jadian.
Pendidikan formal bukan segalanya. Apalagi, sekadar berburu gelar akademik. Pendidikan, kata John Dewey, bukan persiapan untuk hidup. "Pendidikan ialah hidup itu sendiri," ujarnya. Tabik!
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved