Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Petani Butuh Aksi

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
09/6/2023 23:05
Petani Butuh Aksi
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

'MARI kita tunggu datangnya hujan

Duduk bersanding di pelataran

sambil menjaga mendung di langit

agar tak ingkar, agar tak pergi lagi

Kau dengar ada jeritan

ilalang yang terbakar dan musnah

Usah menangis

simpan di langit

Jadikan mendung

segera luruh jatuh ke bumi

Basahi ladang kita yang butuh minum

basahi sawah kita yang kekeringan

basahi jiwa kita yang putus asa

Kemarau ini begitu mencekam'

 

Petikan lirik lagu Doa Sepasang Petani Muda karya Ebiet G Ade itu pas untuk menggambarkan kondisi hari-hari ini hingga beberapa waktu ke depan. Umur lagu itu sudah 42 tahun, tapi lagu itu masih relevan hingga kini, saat negeri ini memasuki musim kemarau. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan sudah mewanti-wanti bakal panjangnya musim kering tahun ini.

Namun, peringatan itu jauh kalah riuh bila dibandingkan dengan cawe-cawe Presiden Joko Widodo menuju Pemilu 2024. Padahal, peringatan dini itu amat serius. Tahun ini, kata BMKG, kondisi musim kemarau di Indonesia akan lebih kering. Kondisi itu serupa dengan 2019 lalu. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan hal itu disebabkan semakin menguatnya intensitas El Nino dan Indian Ocean dipole (IOD).

"Untuk kali ini, dua fenomena itu terjadi bersamaan sebagaimana 2019, El Nino dan IOD positif. El Nino dikontrol suhu muka air laut di Samudra Pasifik dan IOD positif dikontrol suhu muka air laut di Samudra Hindia yang keduanya mengakibatkan wilayah Indonesia jadi lebih kering," kata Dwikorita awal pekan ini.

Jelas, peringatan itu kiranya tidak boleh ditanggapi dengan sambil lalu. Apalagi, akibat dua gejala itu, BMKG memprediksi curah hujan akan sangat rendah dalam satu bulan ke depan. Bila normalnya 85%-115%, curah hujan di pertengahan tahun ini amat rendah, kurang dari 30%.

Itulah yang membutuhkan cawe-cawe para pemangku kepentingan, dari level daerah hingga presiden. Itu cawe-cawe yang hukumnya wajib 'ain, keharusan mutlak para pemimpin. Mereka mesti memastikan waduk-waduk yang dibangun dengan dana puluhan triliun rupiah bisa berfungsi optimal.

Para pejabat juga harus menggaransi bahwa pompa-pompa bisa terdistribusi merata kepada petani. Data BPS menyebutkan ada 10,5 juta hektare lahan pertanian di seluruh Indonesia. Bila tiap 10 ribu hektare lahan butuh sekitar 300 pompa air, para pemangku kebijakan mesti menyebar setidaknya 300 ribu pompa ke seluruh Indonesia.

Anggaran yang dibutuhkan pun tidak terlampau besar untuk ukuran sebuah penyelamatan besar petani dan potensi paceklik pangan. Dengan asumsi harga pompa air beserta peralatannya sekitar Rp3 juta per buah, hanya dibutuhkan Rp900 miliar untuk menyubsidi pompa itu.

Soal waduk dan pompa barulah elemen dasar untuk memastikan agar tidak terjadi kerawanan pangan. Selain itu, negara harus memastikan dampak kekeringan terhadap pangan tidak terlalu masif. Apalagi, para pejabat di Republik ini kerap menebar janji mewujudkan ketahanan pangan.

Beberapa waktu lalu bahkan Presiden Joko Widodo mengajak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terjun ke sawah sembari berfoto bertiga. Ketiganya pun bicara tentang kedaulatan pangan kendati media sosial lebih meramaikan tafsir bahwa ketiganya sedang unjuk politik ketimbang tengah bersungguh-sungguh mengantisipasi kerawanan pangan.

Ketahanan pangan itu jalan inklusif. Kata FAO, ketahanan pangan ialah memastikan semua orang memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap makanan dasar yang mereka butuhkan. Hal itu dilatarbelakangi penelitian Amartya Sen di India dan Afrika. Peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1998 itu menemukan ketidaktahanan pangan dan kelaparan terjadi karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah.

Apalagi kita di sini, akses ke pangan masih belum sepenuhnya beres. Belum lagi petani kita yang dari waktu ke waktu terus bergelut dengan ketidakberdayaan, baik kesulitan mengakses pupuk hingga tipu daya tengkulak, lalu ditambah dengan bencana hama dan kekeringan.

Petani butuh aksi. Lahan kering perlu cawe-cawe. Bila tidak ada itu, haruskah petani tidak usah menangis agar air mata bisa ditabung jadi mendung di langit? Bukankah mendung tidak berarti hujan?



Berita Lainnya
  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik