Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
TAHUN ini dan tahun depan, Indonesia akan menghadapi ancaman dua suhu panas. Yang namanya suhu atau cuaca panas pasti membuat gerah, kadang bikin sesak napas, bahkan bisa memunculkan amarah yang tak jelas kalau kita tidak bisa mengatasinya. Salah-salah kesehatan mental kita yang bakal kena.
Dalam konteks negara, ancaman dua suhu panas itu juga tak bisa disepelekan. Keduanya, kalau tidak bisa dimitigasi dan diantisipasi, mungkin pula akan membahayakan kesehatan negara. Tidak saja kesehatan secara ekonomi, tapi juga kesehatan lingkungan dan demokrasi.
Ancaman pertama datang dari suhu panas dalam arti sebenarnya, yaitu suhu udara yang dalam skup global bakal meningkat akibat fenomena alam dan ulah manusia penghuni Bumi. Pekan lalu, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan bahwa lima tahun ke depan akan menjadi periode terpanas di bumi.
Pemicu utamanya ialah kembali datangnya El Nino setelah absen selama hampir empat tahun terakhir. Menurut organisasi di bawah PBB itu, dengan 'dukungan' El Nino yang bakal datang sekitar Juli-Agustus tahun ini, suhu global akan terungkit lebih tinggi hingga sangat mungkin mencatatkan rekor panas baru.
El Nino ialah sebuah fenomena alam global berupa pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normal. Fenomena ini menyebabkan perubahan pola cuaca secara ekstrem dan secara langsung akan berdampak signifikan pada iklim di berbagai wilayah dunia.
El Nino ialah 'saudara' sekaligus antitesis dari La Nina yang dalam tiga-empat tahun terakhir rajin menyambangi bumi dan baru berakhir pada awal tahun ini. Meski berlawanan, kedua fenomena itu sebetulnya sama-sama merusak tatanan normal. Dalam konteks dampaknya terhadap perubahan suhu, El Nino memanaskan, La Nina mendinginkan.
La Nina ibarat rem, ia menahan suhu Bumi yang secara tren peningkatannya terus melaju. Namun, karena begitu berlebihannya efek gas rumah kaca (akibat ulah manusia) yang menyebabkan pemanasan global secara masif, rem La Nina pun menjadi tak terlalu pakem. Itu bisa dilihat dari laporan WMO yang menyebutkan bahwa delapan tahun terakhir ialah tahun terhangat yang pernah tercatat di bumi.
Itu artinya, meskipun ada efek pendinginan dari fenomena La Nina yang terjadi selama hampir setengah dari periode itu, suhu global nyatanya tak beranjak turun. Tetap naik walaupun tipis-tipis.
Maka, bisa dibayangkan bila yang datang kali ini Ialah El Nino. Lonjakan suhu, seperti yang diprediksikan WMO, akan lebih tinggi dan lebih cepat, perubahan iklim dan kekeringan pun akan lebih ekstrem. Indonesia tentu saja termasuk yang terdampak. Musim kemarau di Tanah Air sangat mungkin bakal lebih panjang dan lebih kering.
Ancaman suhu panas yang kedua ialah suhu politik. Ini sama, tapi tidak serupa dengan suhu cuaca panas. Kalau panasnya cuaca disebabkan 'kenakalan' bocah laki-laki (El Nino), panasnya suhu politik biasanya dipicu oleh tingkah polah bocah tua nakal.
Seperti cuaca panas, meningkatnya suhu politik di tahun-tahun menjelang dan selama berlangsungnya pemilu juga merupakan fenomena yang selalu berulang di negeri ini. Tidak terkecuali yang terjadi pada hari-hari ini, sembilan bulan sebelum Pemilu 2024. Meski baru sebatas riak-riak kontestasi, suhu sudah mulai menghangat, bahkan memanas.
Sampai di situ sebetulnya lumrah. Aneh juga kalau kita membayangkan sebuah proses kompetisi demokrasi direspons dengan adem-adem saja. Pasti akan hambar. Enggak seru. Kurang greget. Namanya juga kompetisi, wajar kalau ada sedikit panasnya. Seperti saat ini, 'pertarungan' sesungguhnya belum dimulai, ‘kandidasi’ pun baru sebatas deklarasi, tetapi para pendukung sudah heboh dan panas.
Namun, memang, yang disayangkan ialah kehebohan mereka terkadang terjebak pada pola-pola yang keliru. Menjelek-jelekkan lawan, provokasi, menyebar fitnah dan perilaku-perilaku kotor lainnya. Ujaran-ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks) pun semakin sering kita lihat berseliweran di lini-lini masa media sosial. Hal-hal itulah yang membuat suasana panas yang sejatinya wajar menjadi tampak menakutkan.
Patut kita ingat, saat ini mungkin baru para pendukung, relawan, dan simpatisan saja yang menjadi pemicu panas. Sebentar lagi, partai-partai politik akan mulai menyalakan mesinnya demi berlomba merebut dukungan dan aspirasi publik. Ketika semua mesin sudah menyala, bukankah sudah pasti suhu bakal kian memanas?
Pada satu titik nanti nanti, suhu politik nasional makin panas, suhu panas global pun kian memuncak. Apakah kita mesti ikut-ikutan panas? Saran saya sih tidak. Tak perlu berlebihan kita menyikapi dua fenomena itu. Kita pilih yang hangat-hangat saja, yang sedang-sedang saja, daripada pusing, gerah, sesak napas, dan gampang marah-marah sendiri.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved