Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
JUDUL di atas mengasumsikan bahwa politik amat determinan terhadap hukum. Politiklah yang mengatur hukum. Bukan sebaliknya, atau setidak-tidaknya politik tunduk pada aturan-aturan hukum. Politik bisa memborgol hukum dengan alasan apa pun. Pada saat itu, hukum harus tunduk pada kemauan politik.
Ketika hukum takluk dalam ketiak politik, pada saat itu pedang hukum akan amat tajam terhadap lawan politik. Sebaliknya, terhadap kawan yang seiring sejalan, yang seia sekata terhadap apa maunya penguasa politik, pedang hukum amat tumpul. Bahkan, sang pedang mudah bersalin rupa menjadi tameng pelindung bagi sekondan setia kekuasaan.
Praktik-praktik seperti itu pernah kita alami, dulu. Ya, dulu saat rezim Orde Baru berkuasa. Hukum dikeluhkan karena kerap menjadi alat kekuasaan. Hukum benar-benar dalam borgol politik kekuasaan. Hanya kroni yang berhak mendapatkan keadilan, sedangkan yang berani melawan siap-siap diperlakukan sewenang-wenang.
Di era itu, jangan sekali-kali berani berbeda dengan penguasa. Bila rezim bilang kuning itu warna paling indah, semua mesti sepakat. Kalau ada yang bicara bahwa warna terindah ialah hijau, pedang hukum langsung 'menebasnya'.
Bangsa ini telah mengalami situasi politik hukum tidak sehat. Ya, tidak sehat sebab kepentingan individu atau kelompok lebih diutamakan jika dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Amanat konstitusi tidak dihiraukan dengan cermat dan sehat, bahkan tidak sedikit melanggar atau mengelabui hukum agar kekuasaan dan kepentingan selamat.
Tidak sedikit pula hukum yang dibuat sangat sarat kepentingan politik sehingga merugikan rakyat. Ini menandakan bahwa politik kekuasaan Orde Baru memang memiliki power lebih kuat ketimbang hukum.
Karena itulah, rakyat sepakat mengoreksinya. Hari ini, seperempat abad yang lalu, kita mendeklarasikan era baru. Reformasi namanya. Salah satu yang hendak didudukkan pada posisi yang tepat ialah hukum harus menjadi payung dan alat keadilan.
Tekad mendudukkan Indonesia menjadi negara yang berdasarkan hukum (rechsstaath) digemakan di mana-mana. Banyak yang berseru bahwa segala tindakan dan kebijakan suatu negara haruslah berdasarkan hukum. Politik kekuasaan yang dijalankan negara dibatasi oleh hukum. Politik tidak boleh lagi memborgol hukum demi menegakkan keadilan.
Kini, setelah 25 tahun berlalu, sudahkan semua tekad itu mewujud? Atau, masih baru secuilkah yang terlaksana? Atau, jangan-jangan sekadar bersalin pemegang kuasa, tapi substansinya masih sama saja? Sudah tidak adakah yang menjadikan hukum sebagai alat penekan untuk bargaining politik?
Dengan masih banyaknya pertanyaan yang menggelayuti sebagian anak bangsa ini, kiranya bisa saya simpulkan masih ada yang belum sepenuhnya beres dari ikhtiar mendudukkan hukum sebagai payung dan alat keadilan. Lebih-lebih, dalam praktik politik saat ini. Ada perasaan dan nuansa yang dirasakan sebagian anak bangsa ini bahwa hukum masih kerap ditekuk (dibuat bertekuk lutut) di hadapan kekuasaan politik.
Potongan sajak yang ditulis mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana berikut ini kiranya mewakili suara mereka yang merasakan kekalahan hukum oleh politik. Dalam sajak berjudul Korupsilah dalam Pelukan Koalisi itu Denny menulis:
Inilah kisah sensasi
Kala korupsi punya kawan bernama koalisi
Ketika korupsi punya lawan bernama oposisi
Korupsilah, tapi dalam pelukan koalisi
Karena jika nekat di barisan oposisi, korupsi berarti bunuh diri.
Inilah kisah sensasi
Ketika Anda diborgol karena beda posisi
Sedang yang di Istana bebas ngobrol diskusi strategi kontestasi, sambil minum kopi.
Jadi, masalahnya bukan korupsi
Salahnya ketika membentuk barisan sendiri
Tiba-tiba meloncat ke oposisi
Mencelat keluar dari strategi
Jadilah konsekwensi
Tangan tak bergerak dikunci.
Itukah yang saat ini terjadi? Semoga tidak seperti itu. Bila begitu kenyataannya, reformasi sedang dikebiri. Kakinya terus diamputasi. Darah dan nyawa pahlawan reformasi dikhianati, lalu reformasi pun dihabisi dan mati.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved