KOMISI III DPR berubah cepat, sangat cepat. Pada mulanya komisi yang membidangi hukum di DPR itu mengapresiasi kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Akan tetapi, selang 35 hari kemudian Komisi III DPR justru mencecar lembaga yang dipimpin Ivan Yustiavandana tersebut.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada 14 Februari 2023. Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Shaleh, PPATK menuai apresiasi atas kinerjanya. “Kami mengapresiasi capaian kinerja yang telah dilakukan oleh PPATK,” ungkap Pangeran.
Apresiasi diberikan karena sepanjang 2022, PPATK telah menyampaikan 1.290 laporan hasil analisis (LHA) yang terkait dengan 1.722 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dengan nilai nominal transaksi yang diduga terkait tindak pidana mencapai Rp183,88 triliun.
“Pada 2022, PPATK turut membantu penerimaan negara dari 3 hasil pemeriksaan atas perkara yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu penerimaan negara dari denda sebesar Rp1,65 miliar, uang pengganti Rp13,9 miliar dan S$1,09 juta. PPATK juga berkontribusi pada penerimaan negara sektor pajak melalui hasil analisis dan pemeriksaan yang disampaikan ke Ditjen Pajak senilai Rp7,04 triliun lebih,” kata Ivan.
Apresiasi terhadap PPATK berubah total dalam rapat dengar pendapat yang digelar pada 21 Maret 2023. Ivan justru dicecar terkait dengan indikasi tindak pidana pencucian uang senilai Rp349 triliun (semula disebut Rp300 triliun) yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan.
Nilai transaksi mencurigakan Rp349 triliun, menurut Ivan, ialah akumulasi LHA yang sudah diteruskan ke Kemenkeu sejak 2009 hingga 2023. Kalau dicermati secara serius, kasus terkait Kemenkeu itu masuk ke laporan PPATK yang disampaikan kepada Komisi III DPR saban rapat dengar pendapat.
PPATK secara rutin melaporkan capaian dan kinerjanya kepada Komisi III DPR. Dalam setiap laporannya, PPATK menyertakan juga informasi terkait transaksi keuangan mencurigakan. Jujur dikatakan bahwa Komisi III baru terkaget-kaget setelah ada informasi Rp349 triliun yang merupakan akumulasi selama 14 tahun.
Lebih ironi lagi, Komisi III sama sekali tidak tertarik dengan informasi yang disampaikan PPATK pada rapat kerja 14 Februari 2023. Ketika itu Ivan mengungkap adanya dugaan praktik tindak pidana pencucian uang dalam proses Pemilu 2024. Informasi yang disampaikan Ivan itu menguap begitu saja.
Jauh lebih elok lagi jika Komisi III DPR mendorong aparat penegak hukum menindaklanjuti informasi PPATK. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 29 September 2021, PPATK melaporkan selama 2016 hingga September 2021, pihaknya membuat 2.606 laporan hasil analisis dan 240 laporan hasil pemeriksaan, tetapi hanya 30% yang ditindaklanjuti.
Rendahnya persentase tindak lanjut oleh penegak hukum, harus jujur diakui, salah satu penyebabnya ialah laporan hasil analisis PPATK tidak bisa dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup untuk penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Hasil analisis PPATK masih banyak ditemui kelemahan.
Sejumlah anggota Komisi III DPR mengusulkan pembentukan panitia khusus (pansus) untuk mengusut transaksi yang mencurigakan Rp349 triliun. Pansus diatur dalam Pasal 103 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Disebutkan bahwa pansus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.
Proses pembentukan pansus cukup panjang. Diusulkan terlebih dahulu kepada pimpinan DPR, dibawa ke Badan Musyawarah, lalu diputuskan dalam rapat paripurna. Hasil akhir dari pansus biasanya akan diikuti dengan pelaksanaan hak anggota dewan lainnya, seperti hak angket, interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.
Pembentukan pansus tentu saja pilihan ideal karena ada kesimpangsiuran informasi. Disebutkan transaksi jumbo itu bukan korupsi bukan pula tindak pidana pencucian uang. Meski demikian, tanpa pansus pun Komisi III DPR bisa mengusut misteri dana siluman itu. Caranya ialah undang rapat Menko Polhukam Mahfud MD, beri dia ruang seluas-luasnya untuk membuka misteri dana Rp349 triliun.
Patut pula diingatkan kebiasaan buruk di Senayan yaitu menjadikan pansus sebagai panggung politik bahkan arena transaksi pengaruh. Semuanya diselesaikan secara adat, ribut-ribut di awal senyap di ujung seperti Pansus Angket Bank Century. Jika kelak itu yang terjadi, namanya pansus cincai karena semua tahu sama tahu dan bisa diatur.