Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
PUTUSAN MK No.135/PUU-XXII/2024 memunculkan nomenklatur baru dalam pemilu yakni pemilu nasional (DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden) yang dilaksanakan pada 2029 dan pemilu lokal (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan dan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) yang dilaksanakan pada 2 tahun-2,5 tahun setelah pelantikan DPR dan Presiden.
Salah satu implikasi yang muncul dari putusan tersebut, yakni soal masa jabatan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang bakal berakhir pada tahun 2029. Namun, linimasa penyelenggaraan pemilu lokal yang baru digelar setelah 2 tahun-2,6 tahun setelah pelantikan DPR RI atau Presiden. Artinya, dalam rentang waktu tersebut ada kemungkinan terdapat penambahan masa jabatan DPRD selama 2 hingga 2,5 tahun.
Pada poin inilah letak perdebatan konstitusionalnya. Dalam Pasal 22 E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, secara terang disebutkan mengenai pelaksanaan pemilu yang dilakukan secara berkala lima tahun sekali. Pemilu dimaksudkan untuk memilih DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD. Jika pemilu legislatif di tingkat lokal (DPRD) dilaksanakan setelah 2 tahun-2 tahun enam bulan setelah pelantikan DPR dan Presiden, maka sifat keberkalaan pemilu lima tahun sekali menjadi hilang.
Titik kritis putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 ini terletak pada pemilihan lokal yang beririsan dengan masa jabatan DPRD yang sekaligus pengingkaran prinsip keberkalaan (fixed term) dalam pemilu yang digelar lima tahun sekali.
Masa transisi, yang menjadi bagian dari pertimbangan hakim MK, kerap dijadikan dasar untuk menormalisasi kerumitan konstitusional yang diakibatkan dari putusan MK ini. Pengabaian atas dampak yang muncul akibat putusan ini akan menjadi preseden tidak baik dalam bernegara.
Meski perlu digarisbawahi, putusan MK yang membagi model pemilihan dengan pemilihan tingkat nasional dan pemilihan tingkat lokal, secara teoritik merupakan putusan yang ideal. Dengan pelbagai pertimbangan yang mendasari, desain pemilihan ini menguatkan sistem pemerintahan presidensial di satu sisi, sekaligus mengukuhkan sistem otonomi daerah di sisi yang lainnya.
Pada poin tersebut rumusan UUD 1945 hasil amendemen konstitusi mengenai pemilu menunjukkan wajah konstitusi yang tak tuntas dan ambigu. Khususnya, saat menempatkan pemilihan anggota DPRD dalam bab pemilu (nasional). Padahal, di sisi yang lain, DPRD disebut sebagai bagian dari pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. Idealnya, norma pemilihan DPRD ditempatkan dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah di Bab VI, Pasal 18 UUD 1945.
Sayangnya, ketidaktepatan dalam penempatan DPRD dalam satu klaster dengan lembaga perwakilan di tingkat vertikal telah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum amendemen konstitusi dilakukan. Seperti melalui UU No 16 Tahun 1969 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang berlanjut hingga kini melalui UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Secara faktual, pengaturan mengenai DPRD dapat dijumpai di dua UU sekaligus yakni UU MD3 dan UU Pemda. Khusus mengenai UU Pemda, penempatan pengaturan DPRD dalam klaster pemda dapat dilihat sejak era reformasi melalui UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Idealnya, pengaturan DPRD cukup ditempatkan dalam UU Pemda dengan mencabut pengaturannya dari UU MD3. Karena secara doktrinal, DPRD tak memiliki korelasi sekaligus bagian dari dengan lembaga perwakilan di tingkat pusat. Skema ini akan linier dengan putusan MK yang menempatkan pilkada dan pemilihan DPRD dalam satu klaster yakni dalam pemilihan tingkat lokal.
Putusan MK No 135/2024 ini sejatinya menjadi bagian dari perubahan isi (bukan teks) konstitusi, seperti dalam pandangan Henc van Marseven dan Ger van der Tang dalam Written Constitutions A Computarized Comparative Study (1978; 286) yang menyebutkan, bahwa perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui proses ajudikasi di lembaga peradilan (constitutional change by adjudication).
Model amendemen nonformal terhadap UUD 1945 pasca amendemen konstitusi tersebut, dalam pandangan Fajrul Falaakh dalam Pertumbuhan dan Model Konstitusi serta Perubahan UUD 1945 oleh Presiden, DPR, dan MK (2014; 95) disebabkan belum mapannya rezim konstitusi pasca amendemen. Ia menyebutkan, perubahan nonformal konstitusi juga dilakukan oleh lembaga legislatif termasuk upaya saling memengaruhi (interplay) antarlembaga seperti legislatif dan yudikatif. Situasi yang lazim terjadi di negara-negara yang reformasi konstitusinya belum berjalan ajeg.
Perubahan nonformal yang kerap terjadi melalui pola yang tidak lazim itu, idealnya dikukuhkan dalam upaya penyempurnan konstitusi pasca amendemen keempat konstitusi dengan menempuh jalan amendemen formal terhadap teks konstitusi. Putusan MK No 135 Tahun 2024 dapat menjadi pemantik untuk menempuh pilihan amendemen formal konstitusi tersebut.
Meski, opsi ini tidak mudah, mengingat rigiditas sifat UUD 1945, dimana prosedur perubahan konstitusi tidak fleksibel. Terdapat syarat kuantitatif yang harus terpenuhi seperti pengusulan perubahan diajukan minimal 1/3 dari total anggota MPR, perubahan pasal harus dihadiri minimal 2/3 dari total anggota MPR, serta 50% plus 1 dari total anggota MPR yang menyetujui perubahan pasal yang dimaksud.
Hal ini terkonfirmasi di beberapa peristiwa penting. Seperti soal usulan penambahan kewenangan MPR dalam membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang salah satu pilihannya dengan manambah norma dalam konstitusi. Sebelumnya, DPD RI juga mengusulkan amendemen kelima UUD dengan tujuan memperkuat kewenangan DPD. Semua rencana amendemen tersebut kandas di tengah jalan. Amendemen formal konstitusi dalam kenyataannya tak mudah dilakukan.
Kebutuhan amendemen konstitusi secara formal untuk mengukuhkan bangunan konstitusi memiliki relevansi khususnya pasca putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 yang memunculkan nomenklatur pemilihan lokal. Persoalan konstitusionalitas jabatan DPRD dan pemilihan lokal untuk memilih anggota DPRD harus direspons sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan (stakeholders).
Belakangan, sejumlah partai politik di parlemen menggulirkan wacana amendemen konstitusi secara terbatas. Gagasan ini tentu menarik untuk dibincangkan lebih serius seraya memastikan amendemen konstitusi dimaksudkan untuk menyempurnakan sejumlah norma yang menimbulkan kerancuan. Termasuk, isi norma yang telah diubah secara non-formal melalui jalur legislatif maupun yudikatif, termasuk praktik interplay antarlembaga negara seperti eksekutif dan yudikatif.
Pemohon, aktivis hukum A. Fahrur Rozi, hadir langsung di ruang persidangan di Gedung MK, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menegaskan data pribadi sebagai hak bagi setiap warga negara wajib untuk dilindungi secara maksimal
Perumusan norma yang membatasi jabatan pimpinan organisasi advokat secara jelas dengan jabatan negara (pejabat negara) menjadi salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXI/2023 tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal seperti kotak pandora.
UNDANG-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai transparansi pembiayaan
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
Situasi geopolitik dalam beberapa bulan terakhir berdampak signifikan pada berbagai bidang kehidupan.
YLBHI menyebut usulan revisi Undang-Undang (UU) TNI bertentangan dengan agenda reformasi dan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI yang membawa rezim Neo Orde Baru.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari, menilai pembredelan pameran lukisan tunggal karya Yos Suprapto bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan bertentangan dengan konstitusi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved