Headline
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
DALAM beberapa tahun terakhir, publik semakin akrab dengan istilah transisi energi. Salah satu simbol yang diangkat adalah kendaraan listrik disebut sebagai solusi hijau untuk krisis iklim. Namun di balik narasi tersebut, kita menyaksikan ironi yang nyata: perusakan ekosistem seperti di Raja Ampat akibat tambang nikel, demi bahan baku baterai kendaraan listrik. Ini membuka tabir kebohongan besar bahwa transisi energi kita sedang berjalan di atas luka ekologis dan ketidakadilan sosial.
Ekstraktivisme bukan sekadar praktik tambang semata. Ia mencakup seluruh model ekonomi yang berorientasi pada pengambilan sumber daya alam secara massif: dari pertambangan, perkebunan monokultur, hingga proyek food estate dan kehutanan industri. Rezim ekstraktif adalah sistem yang membangun ekonomi di atas perampasan dan eksploitasi, serta terus bertahan karena disokong oleh kekuatan politik—baik dalam bentuk undang-undang, konsesi, maupun aparatus militer.
Di Indonesia, warisan ekstraktivisme begitu dalam. Sejak Orde Baru, negara secara sistematis membuka pintu investasi melalui regulasi seperti UU Kehutanan, UU Penanaman Modal, dan UU Pertambangan. Dalam praktiknya, hutan-hutan Indonesia dikeruk, wilayah adat diserobot, dan wilayah rakyat dijadikan objek investasi. Ironisnya, 25 tahun reformasi tak membawa perubahan berarti. Justru, undang-undang seperti Omnibus Law, UU Minerba, hingga proyek strategis nasional memperluas wajah baru ekstraktivisme.
Laporan Walhi (2022) menyebutkan, lebih dari 147 juta hektar atau 76% wilayah Indonesia telah dibebani izin ekstraktif. Dari rezim ke rezim, izin terus dikeluarkan. Kini, indikasi penguatan ekstraktivisme kembali terlihat. Menteri Kehutanan mengumumkan 20 juta hektar hutan untuk proyek pangan dan energi, dan lebih dari 4,8 juta hektar hutan sedang diincar untuk konsesi kebun kayu dan karbon.
Dampak ekstraktivisme terhadap krisis iklim tak terbantahkan. Kerangka Planetary Boundaries menunjukkan bahwa kita telah melewati 6 dari 9 batas aman bagi kehidupan manusia di bumi.
Indonesia sangat rentan. Sebagai negara kepulauan, ancaman perubahan iklim seperti banjir, kenaikan air laut, dan kekeringan mengintai lebih dari 12.000 desa pesisir dan puluhan pulau kecil. Di Maluku Utara, lebih dari 16.000 hektar hutan hilang dalam 15 tahun akibat tambang nikel. Jumlah nelayan terus menurun; ribuan kehilangan mata pencaharian karena pencemaran laut. Dalam skenario terburuk, banyak wilayah bisa tenggelam, dan rakyat akan menjadi pengungsi iklim di negeri sendiri.
Namun solusi yang diambil pemerintah justru menambah masalah. Alih-alih beralih dari akar persoalan, investasi iklim tetap dibangun di atas kerangka ekonomi ekstraktif. Proyek-proyek seperti kendaraan listrik, bioenergi, hingga perdagangan karbon masih bertumpu pada logika yang sama: mengambil, menjual, dan mengatur alam demi akumulasi modal. Solusi palsu seperti carbon offset, co-firing biomassa, hingga teknologi carbon capture hanyalah pembenaran untuk tetap melanggengkan
investasi sembari menyamarkan kerusakan.
Situasi ini hanya bisa dibalik jika negara melakukan koreksi fundamental. Negara harus mengakui bahwa akar krisis bukan pada kurangnya teknologi, tapi pada sistem yang timpang dan tidak adil. Salah satu langkah pertama adalah membatalkan UU Cipta Kerja dan semua regulasi yang memfasilitasi perampasan sumber daya rakyat. Sebagai gantinya, pemerintah harus segera mengesahkan Undang-Undang Keadilan Iklim dan Undang-Undang Masyarakat Adat.
UU Keadilan Iklim penting bukan hanya sebagai dokumen hukum. Tetapi, sebagai bentuk pengakuan terhadap model ekonomi dan pengetahuan rakyat yang selama ini menjaga keseimbangan alam. Masyarakat adat, misalnya, telah menjaga 80% keanekaragaman hayati dunia dan 70% hutan di wilayah adat masih berada dalam kondisi baik. Bukankah ini bukti paling konkret bahwa ekonomi rakyat berbasis relasi dengan alam lebih efektif daripada model ekstraktif?
UU Keadilan Iklim dan UU Masyarakat Adat merupakan kritik terhadap model pertumbuhan ekonomi yang selama ini gagal. Model yang memisahkan manusia, alam, dan ekonomi, harus diganti dengan pendekatan baru: ekonomi yang menyatu antara manusia dan alam, seperti yang telah dipraktikkan oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal selama berabad-abad. Inilah yang oleh Walhi disebut sebagai ekonomi nusantara, sebuah sistem yang tidak mengejar pertumbuhan tak terbatas, melainkan keseimbangan.
Dalam dunia yang dilanda krisis iklim, Indonesia tidak boleh terus berjalan dengan logika bisnis seperti biasa. Negara tak bisa terus bersembunyi di balik jargon 'hijau' sambil melanggengkan perampasan atas nama pembangunan. Sudah saatnya negara bertanggungjawab, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan kebijakan yang adil, partisipatif, dan berpihak pada rakyat serta kelestarian bumi.
Peningkatan emisi karbon akibat eksploitasi sumber daya secara masif telah mengancam ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah menargetkan sebanyak 60 blok migas baru ditawarkan kepada investor dengan skema insentif yang lebih kompetitif, dalam dua tahun ke depan.
Porsi energi fosil dalam bauran energi nasional masih dominan yakni di atas 80%.
Target energi terbarukan nasional saat ini mencapai 42,6 GW dengan PLTS sebagai penyumbang terbesar yakni 17,1 GW.
Insentif tersebut bisa menjadi katalis transformasi sistemik, mulai dari peningkatan daya beli masyarakat, pembangunan industri hijau, hingga fondasi ekonomi rendah karbon di masa depan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved