Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu. Menurutnya, sikap menentang dari partai politik tersebut menunjukkan sikap yang tidak lazim.
"Luar biasa juga partai-partai menyatakan terbuka melawan putusan pengadilan itu bagi saya aneh dan menunjukkan tidak paham hukum," ujar Feri melalui keterangannya, Kamis (3/7).
Feri mengatakan masyarakat sipil juga sering menolak putusan MK, bahkan melakukan demonstrasi. Akan tetapi, setelah jatuh putusan MK, sebagian besar masyarakat sipil dalam bentuk kritikannya melakukan pengujian lain terkait topik dan tema yang sama. Hal ini, kata ia, berbeda dengan sikap partai politik yang menunjukkan penolakan dan perlawanan di ruang publik.
"Jadi tidak ada upaya meminta orang tidak memahami atau menunjukkan sikap kami akan melakukan perlawanan ini," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Adies Kadir mengungkapkan, banyak pihak menyampaikan keluhan atas putusan MK tersebut. Hal itu diketahui Adies setelah DPR menggelar rapat terbatas bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu membahas putusan tersebut.
"Hampir semua (mengeluhkan),” jelas Adies di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7/2025)
Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.
“Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.
Cucun memperingatkan dampak dari masa transisi panjang akibat pemisahan jadwal pemilu, terhadap jalannya pemerintahan. “Apalagi yang kayak kemarin, perpanjangan kepala daerah sampai Pj itu kan banyak membuat sistem pemerintahan agak terganggu juga,” ujar dia.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat (Rerie) menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu lokal mulai tahun 2029 merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
Ia mengatakan pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota melanggar UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. Ia mengatakan putusan MK tentang pemisahan Pemilu bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.
"Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional," kata Rerie.
"Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda," tambahnya.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan MK telah bertindak di luar tugasnya sebagai penjaga konstitusi dengan mengeluarkan ketentuan atau legislasi baru.
"Memang kan semestinya MK itu tidak membuat ketentuan atau legislasi baru. Yang bisa dilakukan oleh MK itu adalah negatif legislature, yaitu menyatakan bahwa sebuah pasal atau sebuah ketentuan dalam UU itu apakah sah berdasarkan konstitusi atau tidak. Hanya itu saja," kata Eddy, ketika dihubungi, Selasa (1/7).
Ia mengatakan pelaksanaan legislasi itu sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Namun, yang terjadi ialah MK membuat ketentuan hukum baru dengan mendetailkan bahwa pelaksanaan Pemilu lokal harus dilaksanakan antara dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional. (M-3)
Puan mengatakan pimpinan partai politik juga akan membahas putusan MK terkait pemisahan pemilu. Setelah itu, kata ia, pimpinan partai politik akan memberikan pandangan dan sikap bersama.
Tiga lembaga yang menduduki tingkat kepercayaan terendah dari 15 daftar lembaga ditempati oleh partai politik (parpol), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan DPR RI.
Walaupun popularitasnya belum menjadi yang pertama, Partai Gerindra justru meraih hasil tertinggi dari segi elektabilitas.
Peluang Jokowi jadi caketum tentu tidak besar. Karena memang tidak sesuai dengan ideologi PPP. Namun peluang itu akan terbuka bila PPP berubah ideologi.
Penyebab utama dari korupsi adalah mahalnya sistem politik untuk menjadi pejabat baik dari tingkat desa hingga presiden.
Titi Anggraini mengatakan partai politik seharusnya patuh pada konstitusi. Hal itu ia sampaikan terkait putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
Juru bicara PKS Muhammad Kholid mengatkan bahwa proses pemilihan berlangsung khidmat. Proses itu juga dilaksanakan secara musyawarah mufakat.
PPP yang melirik figur di luar partai untuk jadi ketum juga imbas tidak berjalannya kaderisasi. Figur di luar partai yang berduit juga diperlukan untuk kebutuhan partai.
Selama parpol belum menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang kuat, penambahan dana dari kas negara dinilai Jeirry belum penting dilakukan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved