PARIWISATA Bali sedang menjadi sorotan. Disorot karena ulah segelintir turis asing yang mengusik nilai-nilai adiluhung masyarakat setempat.
Sepanjang Maret 2023 muncul isu tidak sedap terkait dengan kepariwisataan Bali. Pada mulanya muncul isu turis asing menyalahgunakan visa turis untuk bekerja. Pekerjaan yang digeluti di antaranya bisnis sewa motor, fotografer, guru selancar, hingga bisnis sewa vila.
Kasus lainnya ialah mengganti pelat nomor motor atau mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm. Ketika ditilang polisi karena tidak memakai helm, turis asing itu malah meneriaki polisi.
Tidak kalah hebohnya ialah kasus sejumlah bule membuat petisi lantaran merasa terganggu kokok ayam. Para turis asing itu menolak keras adanya ayam yang berkokok setiap hari di dekat penginapan mereka.
Masih banyak perilaku tidak terpuji turis asing. Namun, harus tegas dikatakan bahwa jumlah turis asing yang berulah itu tidak banyak. Hanya segelintir. Akan tetapi, ulah mereka seperti nila setitik yang merusak susu sebelanga kepariwisataan Bali.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali pada Maret 2023, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali pada Januari 2023 sebanyak 331.912 kunjungan atau turun 12,02% jika dibandingkan dengan periode bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 377.276 kunjungan.
Wisman yang tercatat paling banyak datang ke Bali pada Januari 2023 berasal dari Australia (91.254 kunjungan) disusul Rusia (22.104 kunjungan), India (21.700 kunjungan), Korea Selatan (17.598 kunjungan), dan Singapura (16.586 kunjungan).
Dilema dihadapi otoritas Bali. Pada satu sisi mengejar devisa sebanyak-banyaknya untuk membangun perekonomian. Caranya ialah membuka pintu selebar-lebarnya untuk kedatangan turis asing. Pada sisi lain, pemerintah setempat tetap menjaga keluhuran nilai-nilai budaya dari ulah seronok bule.
Pemerintah Provinsi Bali kiranya tidak seperti kebakaran jenggot mengambil kebijakan terkait bule nakal. Salah satu kebijakan yang dikritisi ialah Gubernur Bali I Wayan Koster telah melarang wisatawan mancanegara menyewa maupun mengendarai sepeda motor di jalan raya. Dampak kebijakan tersebut ialah omzet jasa penyewaan motor di Denpasar turun 40%.
Kebijakan tersebut merujuk pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 28 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Pariwisata Bali. Pasal 7 ayat (4) menyebutkan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Bali merupakan wisatawan yang berkualitas.
Kriteria wisatawan yang berkualitas dalam aturan tersebut ialah menghormati nilai-nilai budaya, tradisi, dan kearifan lokal, ramah lingkungan, waktu tinggal lebih lama, berbelanja lebih banyak, memberdayakan sumber daya lokal, melakukan kunjungan ulang, dan berperilaku tertib dengan selalu menggunakan sarana transportasi usaha jasa perjalanan wisata.
Ketentuan ‘selalu menggunakan sarana transportasi usaha jasa perjalanan wisata’ itulah yang dijadikan dasar pelarangan bule menggunakan sepeda motor di Bali. Persoalannya ialah pelarangan itu bersifat diskriminatif terhadap bule, padahal Pergub Bali 28/2020 mengikat untuk seluruh kegiatan kepariwisataan, baik menyangkut kepentingan wisatawan lokal maupun mancanegara.
Elok nian jika kegiatan kepariwisataan Bali mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015-2029.
Perda 10/2015 menyebutkan visi pembangunan kepariwisataan daerah ialah terwujudnya pariwisata budaya yang berkualitas dan berkelanjutan serta memiliki daya saing yang berlandaskan Tri Hita Karana yang mampu mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat.
Visi itu diwujudkan dalam salah satu misinya, yakni mewujudkan destinasi pariwisata yang aman, nyaman, menarik, dengan mengedepankan kekayaan dan keragaman potensi daya tarik wisata berwawasan lingkungan berdasarkan budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu berlandaskan Tri Hita Karana.
Pengertian Tri Hita Karana ditemui dalam Perda Bali 5/2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali. Disebutkan, Tri Hita Karana adalah tiga penyebab timbulnya kebahagiaan, yaitu sikap hidup yang seimbang atau harmonis antara berbakti kepada Tuhan, mengabdi kepada sesama umat manusia, dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan pengorbanan suci (yadnya).
Hubungan manusia dengan alam lingkungannya dan manusia dengan sesamanya itulah yang mulai tergerus dalam berbagai kasus yang muncul belakangan ini di Bali. Kasus petisi ayam berkokok atau kasus bule mengendarai motor tanpa helm hanyalah contoh yang menggerus filosofi Tri Hita Karana.
Pelanggaran yang dilakukan para bule maupun wisatawan domestik di Bali terkait dengan penegakan hukum yang lemah. Karena itu, setiap upaya penindakan terhadap wisatawan yang melanggar aturan patut didukung. Akan tetapi, aturan yang bersifat diskriminatif kiranya perlu ditinjau kembali. Filosofi Tri Hita Karana hendaknya selalu menjiwai kepariwisataan Bali.