Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Pecunia Non Olet

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group
13/3/2023 05:00
Pecunia Non Olet
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

UANG hasil kejahatan ataupun hasil kerja keras peras keringat sama saja rupanya, sama saja baunya. Tidak bisa dibedakan. Karena itu, di dalam penambahan harta kekayaan pejabat negara yang tidak wajar patut diduga ada uang hasil kejahatannya.

Mudah saja untuk menduda-duga harta kekayaan berlimpah berasal dari uang hasil kejahatan. Kata pepatah besar pasak dari tiang, belanja lebih besar daripada pendapatan. Rumusan umumnya ialah gaji, tunjangan, dan pendapatan yang sah bernilai minus jika disubsitusikan ke semua harta yang dimiliki seorang pejabat.

Besar pasak dari tiang menggoga pejabat melakukan korupsi. Karena itu, untuk mencegah korupsi, harta kekayaan pejabat wajib dilaporkan secara berkala kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi, faktanya, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) sekadar formalitas pemenuhan perintah undang-undang. Akurasi pelaporan itu hanya 5%, pelaporan tipu-tipu.

Meski diketahui LHKPN tipu-tipu, KPK tidak bisa bertindak. Pangkal masalahnya ialah Indonesia belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah. Negeri ini masih menganut adagium ex turpi causa non oritur, suatu sebab yang tidak halal tidak menyebabkan suatu tuntutan.

Harus jujur dikatakan bahwa pemeriksaan harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo oleh KPK karena mantan pejabat Ditjen Pajak itu apes saja. Masih banyak pejabat lain yang menimbun harta, tapi tidak diutak-atik. Rafael yang memiliki harta kekayaan hingga Rp56,1 miliar itu diperiksa KPK karena mendapat sorotan masyarakat. Bukan atas inisiatif KPK setelah yang bersangkutan menyampaikan LHKPN pada 31 Desember 2021 dan di dalamnya ada harta kekayaan yang diduga tidak wajar.

KPK pun hanya bisa mencatat penambahan harta 70,3% penyelenggara negara berdasarkan analisis pelaporan LHKPN 2019-2020. KPK tidak bisa serta-merta menyeret ke ranah pidana pejabat yang penambahan kekayaannya di luar akal waras. Sungguh ironi, harta pejabat naik di tengah bertambahnya penduduk miskin.

Elok nian bila negeri ini mengatur kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment) menjadi suatu tindak pidana yang diatur ke dalam suatu produk hukum setingkat undang-undang.

Pembentukan undang-undang itu sebagai kewajiban Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi PBB melawan korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC.

Alenia ke-7 Pembukaan Konvensi menyatakan, “Meyakini bahwa perolehan kekayaan perseorangan secara tidak sah dapat merusak khususnya lembaga-lembaga demokrasi, perekonomian nasional dan negara hukum.”

Ketentuan lebih lanjut dari Pembukaan Konvensi PBB pada 2003 itu diatur di Pasal 20 tentang Illicit Enrichment. Disebutkan bahwa perihal illicit enrichtment dalam UNCAC merupakan ketetapan yang bersifar perintah guna mempertimbangkan upaya legislasi.

Perintah Konvensi PBB itulah yang diabaikan selama ini. Meski demikian, pemerintah menyiapkan naskah akademik RUU Perampasan Aset pada 2012. Akan tetapi, satu dekade berlalu, presiden silih berganti, RUU yang dimaksud masih sebatas gagasan.

Disebut sebatas gagasan karena ada kekhawatiran RUU Perampasan Aset berpotensi menjadi senjata makan tuan dalam implementasinya. Bukankah sebagian yang memiliki aset bejibun ialah mereka yang memegang kuasa membuat undang-undang?

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana resmi masuk ke daftar legslasi pada 17 Desember 2019. RUU itu gagal masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Namun, pada Agustus 2022, RUU Perampasan Aset berhasil masuk Prolegnas Prioritas 2023. Akan tetapi, hingga kini draf RUU tersebut tidak kunjung masuk ke DPR.

Setiap kali muncul kasus penambahan kekayaan yang tidak wajar dalam LHKPN, saban itu pula diteriakkan sampai urat leher mau putus perihal pentingnya RUU Perampasan Aset berikut beban pembuktian terbalik. Sebatas teriak tanpa tindakan nyata.

Kiranya keberadaan UU Perampasan Aset dapat meredam sikap penyelenggara negara yang serakah dan tidak pernah puas untuk menimbun harta. Keserakahan dan tidak pernah puas itulah ibu kandung korupsi.

Saudara kandung keserakahan ialah gaya hidup yang konsumtif, membeli barang-barang mewah dan mahal untuk dipamerkan di media sosial. Tepatlah kiranya peringatan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2023 agar jangan pamer kekayaan. “Sekali lagi, saya ingin tekankan, supaya ditekankan kepada kita, kepada bawahan kita, jangan pamer kekuasaan, jangan pamer kekayaan, apalagi sampai dipajang-pajang di IG, di media sosial,” kata Presiden.

Pejabat dan anaknya janganlah memamerkan kemewahan di media sosial sebab kemewahan itu bisa saja berasal dari uang yang sah ataupun yang tidak sah. Uang hasil korupsi tidak menebarkan bau kejahatan sehingga aman-aman saja tertera dalam LHKPN. Kaisar Romawi Vespansianus mengatakan pecunia non olet, uang itu tidak ada baunya.



Berita Lainnya
  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.