GONJANG-GANJING dugaan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan pejabat Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan menunjukkan masih amat ringkihnya tata kelola pemerintahan kita. Banyak aturan tentang tata kelola dibuat, tapi aturan itu tidak berdaya menutup lubang, bahkan celah yang sempit sekalipun.
Mengapa bisa serapuh itu? Saya menduga karena runtuhnya moral obligation. Tidak tampak kewajiban moral untuk menjaga integritas pribadi dan muruah institusi. Yang penting keinginan pribadi tersalurkan, berhasil menumpuk privilese, status sosial merambat naik, habis perkara.
Maka jadilah rupa-rupa aturan itu ornamen 'penting', tapi bukan utama. Saya sebut 'penting' karena aturan itu harus ada. Namun, kalau bisa disiasati dan enggak ketahuan sedang disiasati, mengapa tidak dilakukan? Begitu kira-kira yang bersemayam dalam alam pikiran sejumlah pejabat yang sekarang sedang ditelusur harta kekayaan mereka itu.
Sikap seperti itu lebih menyerupai pemburu rente ketimbang pelayan publik. Padahal, dalam beberapa fase tingkatan, pejabat publik sudah masuk level pemimpin. Pemimpin, juga pejabat, punya kewajiban moral untuk menggenggam kemuliaan dan menjaga kehormatan. Dengan bersalin rupa menjadi 'pemburu rente', seorang pemimpin pada hakikatnya tengah melepas kemuliaan dan kehormatannya.
Kata kawan saya: kemuliaan itu ada, kehormatan juga tidak beranjak pergi. Akan tetapi, kedua kata itu tidak menyatu dengan para pemiliknya. Ia hanya menjadi harapan yang tidak lekas hadir kembali.
Ada pepatah kuno Prancis noblesse oblige, yang artinya di dalam jabatan melekat tanggung jawab. Frasa itu mengafirmasi bahwa tugas para pemimpin, termasuk di dalamnya pejabat, ialah sebuah keluhuran, sebuah tanggung jawab. Bahwa semakin puncak posisi seseorang, kian tinggi pula tanggung jawab dan kehormatannya. Tingginya posisi baru punya arti bila tanggung jawabnya yang besar nyata dan terasa.
Moral noblesse oblige itu yang kosong. Tata kelola disusun, tapi tidak kunjung muncul good governance, tata kelola yang baik, karena ruang kosong itu tidak kunjung diisi. Tolok ukurnya sekadar sesuai atau tidak dengan aturan, bukan lagi 'pantas atau tidak', 'luhur atau rendahan', 'terhormat atau tercela'.
Kalau sekadar sesuai dengan aturan atau tidak, akan banyak bias. Aturan bisa saja didesain untuk berada di wilayah abu-abu. Rangkap jabatan hingga bertumpuk-tumpuk tidak masalah asal tidak melanggar aturan. Padahal, selain tidak ada manusia super yang bisa memegang tanggung jawab puluhan jabatan, rangkap jabatan juga dikesankan sebagai bagian dari kerakusan dalam berburu rente.
Huru-hara dugaan penyalahgunaan jabatan di Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai hingga diduga menyelewengkan uang negara Rp300 triliun itu mestinya jadi pintu masuk mengisi 'ruang kosong' itu. Saatnya meneguhkan kembali bahwa tata kelola yang bersendi dari prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas di pemerintahan mesti benar-benar hidup, nyata, dan terasa.
Apalagi, di banyak negara moderen, good governance telah menjadi elemen mahapenting untuk menjamin kesejahteraan nasional (national prosperity). Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan menyebutkan prinsip transparansi, pertanggungjawaban (responsibility), akuntabilitas, partisipasi, dan ketanggapan (responsiveness) yang merupakan prinsip kunci good governance ialah bagian penting hak asasi manusia.
Sementara itu, The Canadian International Development Agency menyebutkan good governance tercapai bila kekuasaan organisasi (atau pemerintah) dijalankan dengan efektif, adil (equitable), jujur, transparan, dan akuntabel. Prinsip-prinsip itulah yang mestinya segera dihadirkan di ruang-ruang kosong birokrasi dan pemerintahan di Republik ini.
Bila ruang-ruang itu disesaki prinsip-prinsip besar tata kelola yang baik, tidak ada lagi celah menyimpangkan uang negara, mengeruknya, lalu mencucinya demi menumpuk pundi-pundi pribadi. Sekali lagi, noblesse oblige, di dalam jabatan melekat tanggung jawab. Di dalam jabatan, ada kemuliaan dan kehormatan yang hidup, nyata, dan terasa.