Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
PERCAYA sajalah bahwa para penghuni Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat, ialah negarawan. Mereka berjumlah sembilan orang dan disebut sebagai hakim konstitusi.
Negarawan salah satu syarat yang disebutkan untuk menjadi hakim konstitusi meski diembel-embeli menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat lainnya ialah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, serta adil.
Syarat negarawan itu tertulis dalam UUD 1945. Hanya untuk hakim konstitusi, bukan presiden dan hakim agung. Karena itulah, kurang tepat pernyataan ‘mencari negarawan seperti mencari jarum di tumpukan jerami’. Negarawan itu ada di Mahkamah Konstitusi.
Hakim konstitusi itu bukan seolah-olah sosok bijak bestari meski ada juga lancungnya. Bukan. Mereka itu negarawan yang tidak gila pujian, tidak gila hormat. Pangkat dan jabatan, bagi negarawan di Medan Merdeka Barat, bukanlah simbol kehormatan dan kenikmatan.
Ada dua tabu bagi hakim konstitusi. Kedua tabu itu ditulis apik oleh Jimly Asshiddiqie dalam buku Peradilan Etik dan Etika. Kedua tabu itu dikaitkan dengan sifat negarawan yang melekat dalam diri hakim konstitusi.
Pertama, seorang hakim konstitusi tidak seharusnya masih memiliki cita-cita untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi sehingga dikhawatirkan akan menggunakan kedudukannya sebagai hakim konstitusi untuk mendapatkan keuntungan pribadi guna menggapai jabatan yang dicita-citakannya.
Kedua, seorang hakim konstitusi tidak seharusnya masih memiliki cita-cita untuk mendapatkan kekayaan lebih banyak sehingga dikhawatirkan akan menggunakan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk mendapatkan keuntungan pribadi berupa kekayaan yang lebih banyak.
Seandainya ada hakim konstitusi yang menjadi penghuni jeruji besi, katakan saja itu oknum negarawan. Andai ada hakim konstitusi yang masih menyimpan cita-cita menjadi orang nomor satu atau dua di negeri ini, sebut saja itu sebagai hak warga negara. Andai mereka mengadili dirinya sendiri, anggap saja itu tafsir musyawarah atas asas nemo judex idoneus in propria causa.
Jangan pula mempersoalkan putusan hakim konstitusi yang negarawan itu melebihi apa yang dimintakan. Ultra petita. Tidak perlu dipersoalkan karena MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Bagaimana dengan masalah aktual yang menerpa MK, yaitu dugaan perubahan substansi putusan terkait dengan pencopotan hakim konstitusi Aswanto? Ada perbedaan antara putusan yang dibacakan dan putusan yang ditulis. Dugaan skandal itu pula berbuntut pelaporan sembilan hakim konstitusi serta panitera MK dalam perkara 103/PUU-XX/2022 Nurlidya Stephanny Hikmah ke Polda Metro Jaya.
Terhadap kasus aktual itu anggap saja tidak benar ada perubahaan substansi putusan sampai ada putusan lain dari Majelis Kehormatan yang dibentuk MK untuk menyelidiki kasus itu. Sementara itu, terhadap laporan ke Polda Metro Jaya, biarkan polisi menjalankan tugas mereka. Jika nantinya terbukti bersalah, anggap saja hakim konstitusi juga manusia biasa. Mereka bukan malaikat.
Boleh-boleh saja Edmund Burke membuat pembeda antara negarawan sejati dan penipu. Negarawan sejati itu seorang yang melihat masa depan dan bertindak pada prinsip-prinsip yang ditetapkan dan untuk keabadian. Negarawan penipu hanya melihat masa kini dan bertindak berdasarkan ketidakadilan dan imoralitas. Percaya sajalah, hakim konstitusi itu ialah negarawan sejati.
Ada pula yang menyebut negarawan sejati itu selesai dengan dirinya sendiri sehingga hanya memikirkan keutamaan. Manuel L Quezon, presiden Filipina (1935-1944), menyatakan, “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.”
Hakim konstitusi tentu saja hanya loyal kepada negara. Anggap saja mereka tidak pernah loyal kepada lembaga yang menjadi sumber rekrutmen mereka, yaitu presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Jika ditemukan keadaan sebaliknya, anggap saja itu sebagai skandal negarawan.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved