Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
APA yang mesti dilakukan setelah tragedi Kanjuruhan? Pertanyaan itu terus mengemuka seiring dengan lantunan doa dukacita yang tidak ada putus-putusnya. Memang begitulah seharusnya.
Tragedi kemanusiaan menerbitkan pelajaran. Tujuannya agar tidak ada lagi petaka serupa. Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat. Menukil dari Ebiet G Ade, 'mumpung masih ada waktu, kita mesti berbenah'.
Salah satu hal mendasar yang mendesak untuk dirombak ialah tata kelola sepak bola kita. Seruan itu sebenarnya sudah disampaikan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Apalagi, korban kematian di sepak bola kita terjadi bukan cuma sekali.
Namun, gerakan perombakan tata kelola akhirnya sepi setelah dukacita terlewati. Istilah saat ini, 'semua kembali ke setelan pabrik'. Kita memang cepat lupa. Amnesia dalam kurun seketika. Benar kata Milan Kundera, perjuangan melawan 'kuasa' ialah perjuangan melawan lupa.
Saya sepenuhnya sepakat dengan desakan masyarakat sepak bola Indonesia bahwa ini saatnya merombak tata kelola. Kita berkejaran dengan waktu, berlari melawan momentum. Mulailah dari keberanian federasi untuk jujur mengakui banyak yang belum beres dengan tata kelola sepak bola.
Soal verifikasi stadion, misalnya. Tragedi Kanjuruhan menunjukkan bagaimana operator liga yang diamanati PSSI tidak melaksanakan tugasnya secara sungguh-sungguh. Stadion itu tidak diverifikasi lagi setelah terakhir dilakukan PSSI pada 2020. Padahal, mestinya tiap kompetisi hendak digelar, verifikasi stadion wajib dilakukan.
Hasil verifikasi stadion mestinya juga disampaikan secara terbuka. Mengapa stadion A layak, stadion Z tidak layak, jangan disembunyikan. Kesan seperti itu sempat muncul saat PSSI tidak merestui Persija menggunakan Jakarta International Stadium (JIS) sebagai kandang dengan alasan tidak jelas.
Begitu pula saat PSSI membatalkan penggunaan JIS untuk laga persahabatan timnas melawan Curacao tempo hari. Alasannya berubah-ubah. Awalnya JIS dianggap tidak berstandar FIFA, lalu diralat, terus diralat lagi, terus diralat lagi. Itu memantik kecurigaan publik ada yang disembunyikan dari pembatalan penggunaan JIS itu.
Belum lagi soal standar jaminan keamanan dan kenyamanan suporter yang amat jauh panggang dari api. Banyak yang mengkritik tidak adanya keseragaman standar baku antara tempat yang satu dan yang lainnya.
Aturan-aturan dasar pengamanan sebuah laga pun tidak dipahami secara merata. Ada sosialisasi yang tidak sampai. Bahkan, ada yang curiga tidak ada sosialisasi ihwal regulasi pengamanan pertandingan sepak bola sesuai dengan standar FIFA.
Apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan saat ada gelagat yang mengarah ke situasi panas (misalnya muncul nyanyian-nyanyian kebencian, umpatan-umpatan, hingga gerakan tubuh), jangan-jangan tidak dikoordinasikan secara saksama.
Belum lagi soal bagaimana mestinya tampilan tim pengaman di dalam stadion. Mereka tidak boleh menunjukkan gestur keras. Bahkan, seragam pun mestinya disamarkan.
Menengok sejarah, sebetulnya kita termasuk negara yang paling awal memasuki sepak bola sebagai industri. Pada awal 1980, kita sudah punya kompetisi Galatama, saat negara seperti Jepang dan Korea Selatan belum sepenuhnya menata kompetisi mereka. Namun, kita tidak beranjak lagi. Kita berhenti, bahkan sempat mundur.
Menjadikan sepak bola sebagai sebuah industri tersendiri memang tidak bisa secara simsalabim. Namun, tata kelola dengan manajemen yang profesional sudah harus segera dilakukan tanpa menunda-nunda terus.
Saya teringat pernyataan mantan pelatih timnas yang kini menjadi Direktur Teknik PSSI Indra Sjafri. "Kita terlalu sering menonton liga-liga Eropa yang gemerlap sehingga kita ingin buru-buru meniru mereka, padahal kita hanya mengetahui kulit-kulitnya. Namun, jalan menuju ke sana harus kita mulai," kata Indra, enam tahun lalu.
Kini, perombakan tata kelola itu menjadi keniscayaan. Antusiasme publik terhadap sepak bola kita kian meningkat, hingga akhirnya tragedi Kanjuruhan mengempaskan optimisme itu ke titik nadir.
Namun, perombakan besar-besaran tata kelola sepak bola kita jangan-jangan memang harus dimulai saat berada di titik nadir itu. Duka masih menganga. Pelan-pelan kita menata semuanya agar tidak ada yang sia-sia.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved