Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
TADINYA saya mengira transparansi sudah 100% terpenuhi. Awalnya saya ragu bahwa kelompok penekan masih perlu. Namun, saya keliru. Ternyata, masih ada ruang gelap. Faktanya, kian banyak yang menari di wilayah abu-abu.
Hampir seperempat abad reformasi bergulir, nyatanya keterbukaan masih butuh pelototan. Perlu tekanan. Apa jadinya jika kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo tidak mendapatkan tekanan publik, khususnya perkumpulan marga Hutabarat? Mungkin semua kita akan menyanyi dalam irama 'resmi' mengiyakan keterangan 'institusi resmi' yang skenarionya sudah disusun rapi Ferdy Sambo.
Namun, hadirnya kelompok penekan membuka semua tabir itu. Tabir kejanggalan, tabir kepalsuan, hingga tabir skenario penembakan yang semula dibungkus sebagai 'tembak-menembak' itu. Kasus Sambo memberi sinyal kuat bahwa transparansi yang utuh masih harus terus diperjuangkan. Keadilan mesti terus diikhtiarkan.
Kita memang sudah masuk di alam sistem negara yang demokratis dan terbuka. Namun, masih ada sisa-sisa orang atau kelompok orang yang ingin menyelinap di kala kelengahan tiba. Saat mata kurang melotot dan tekanan mengendur, ada saja yang bermain di ruang gelap. Demokrasi dan transparansi memang telah tumbuh kembang, tapi ada kalanya celah muncul. Demokrasi dan transparansi kita belum sepenuhnya solid, bulat, dan rapat.
Dulu, di era totaliter, tembok negara teramat tebal. Dalam dua setengah dekade, kelompok penekan tak mampu menggetarkan tembok tebal itu. Dalam negara totaliter itu, politik digerakkan secara monolitik. Segala sesuatu dikontrol negara. Suara berbeda tidak boleh ada. Pokoknya, semua mesti seragam.
Kita punya pengalaman seperti itu saat Orde Baru berkuasa. Sampai-sampai ada seloroh tidak ada jawaban yang pasti, bahkan ilmu pasti sekalipun, kecuali penguasa merestui. Satu ditambah satu belum tentu sama dengan dua, tapi tergantung apa kata pak camat, Danramil, dan seterusnya.
Di era itu, demokrasi sekadar perangkat mati. Ada wakil rakyat, tapi hanya berfungsi sebagai tukang stempel. Hanya memberi legitimasi. Cuma boleh koor 'ya', tanpa restu berkata 'tidak', walaupun rakyat yang diwakili menekan wakilnya agar berkata 'tidak'.
Kini, wakil rakyat memang sudah berani berkata 'tidak'. Sering malah. Bahkan, kerap inflasi berkata 'tidak'. Cuma, masih ada yang mengkritik sebagian wakil rakyat 'telat panas'. Kasus Sambo baru dibahas di Senayan setelah duduk perkaranya kian benderang.
Selain itu, komisi hukum DPR baru maraton menggeber memanggil pihak-pihak terkait setelah publik menyindir dengan pertanyaan: di mana DPR? Lalu, muncullah syak wasangka. Ada yang berimajinasi bahwa beberapa anggota dewan 'masuk angin' karena ada 'sesuatu'.
Untungnya, tekanan dan sindiran publik direspons DPR. Sindiran 'masuk angin' dan ada 'sesuatu' pun sementara ini bisa ditepis dan tidak berbasiskan fakta. Setidaknya, itulah yang tergambar saat rapat dengar pendapat antara Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan Indonesia Police Watch (IPW). Ada atensi tertentu, ada kecenderungan untuk memengaruhi agar IPW memercayai pernyataan 'resmi' dalam kasus Sambo. Namun, tidak ada bukti aliran dana. Tidak ada sesorang memaksa yang lain untuk memercayai skenario Sambo.
Tentu, wakil rakyat harus lebih bekerja keras meyakinkan publik. Ini risiko karena suara Senayan dianggap telat berbunyi. Ibarat orkestra, ia baru masuk saat refrain telah dimulai. Publik tentu tidak mau tahu alasan bahwa para wakil mereka memang sedang masa reses saat kasus Sambo menghangat.
Saya kagum dengan perkumpulan marga Hutabarat yang mampu memainkan peran secara efektif sebagai kelompok penekan. Ia menutup celah saat penyakit membahayakan, yakni business as usual, mulai menjangkiti negeri ini.
Ketika demokrasi diyakini sudah berjalan otomatis, saat transparansi dianggap telah tersistematisasi, dan saat sebagian mata agak meredup dalam mengawasi, kelompok penekan berlabel Hutabarat ini membangunkan semuanya. Horas!
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved