Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Mengurai Gridlock

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
06/8/2022 05:00
Mengurai Gridlock
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

MENYAKSIKAN partai politik berbondong-bondong mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum sejak awal pekan ini, tersembul optimisme jalan kemajuan bangsa kian dekat. Namun, saat saya membagikan sikap bungah itu ke beberapa kolega, sebagian besar mereka skeptis. Kegembiraan saya bertepuk sebelah tangan.

Skeptisisme mereka didasari fakta masih banyaknya sejumlah paradoks dalam kehidupan politik. Salah satunya peran politisi dan intelektual. Idealnya, politisi dan intelektual itu punya tugas serupa, yakni menjaga kewarasan publik. Jika kewarasan publik terjaga, kehidupan demokratis, adil, dan maju bukanlah perkara yang sulit untuk digapai.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya: politisi kerap bertindak pragmatis sehingga jauh dari nalar waras publik, pun intelektual. Banyak intelektual justru 'menyeberang' jalan menjadi politisi yang tak kalah pragmatis dan jauh dari tugas penting merawat kewarasan publik.

Saya menahan diri untuk mendebat postulat itu. Pada titik ini, penting untuk ditengok kembali peringatan penting ilmuwan sosial Pierre Felix Bourdieu. Filsuf Prancis itu secara lugas menyerukan agar politisi berperilaku bak ilmuwan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah berbasiskan fakta dan bukti. Ini penting, tandas Bourdieu, agar kebijakan yang diambil tidak semata karena pertimbangan politis dan subjektivitas kepentingan yang bisa membahayakan kehidupan publik.

Intinya, kebijakan publik mesti selaras dengan nalar publik. Bukan sebaliknya, tidak nyambung dengan nalar, kehendak, serta kebutuhan publik. Jangan sampai kebijakan yang dihasilkan, misalnya, ke arah selatan padahal publik ingin ke utara. Itu seperti menggaruk kepala untuk gatal di kaki. Sangat tidak nyambung. Itulah mengapa Tuan Bourdieu menekankan pentingnya politisi 'bermetamorfosis' menjadi ilmuwan.

Namun, ironisnya ada paradoks dalam kehidupan kekinian. Peraih Nobel bidang ekonomi Joseph Stiglitz menandai kerapnya muncul situasi paradoks bahwa para ilmuwan atau intelektual justru berperilaku bak politisi. Stiglitz mendasarkan tengaranya itu pada saat para ilmuwan dan intelektual itu terlibat dalam proses pembuatan rekomendasi kebijakan. Argumen-argumen mereka lebih didominasi politisasi, alih-alih menyodorkan fakta dan bukti. Tujuannya, demi menyenangkan para politikus yang dilayani.

Saat politisi tidak terlalu memiliki kedalaman jangkauan terhadap urusan jangka panjang kepentingan publik, sebagian kita bisa maklum. Para 'maklumin' ini umumnya berpendapat wajar politisi berpikir pragmatis karena tujuan meraih kekuasaan terkait erat dengan momentum. Durasi momentum itu amat pendek.

Namun, bila pragmatisme dan politisasi itu menjangkiti para intelektual, ini sudah bencana. Bila politisasi telah menjangkiti para cerdik pandai, kedalaman ilmu dan nalar ilmiah tinggal menghitung hari untuk ditanggalkan. Jika nalar sudah tanggal, peta jalan kewarasan kian kabur. Bila peta jalan kabur, kesesatan akan muncul di mana-mana.

Sesat pikir dan sesat jalan kian berkelindan karena kombinasi sikap pragmatisme kaum intelektual dan kemajalan politisi. Politik yang digadang-gadang sebagai jalan mulia meraih kemajuan peradaban justru malah menyediakan jalan buntu.

Saya teringat kritik cendekiawan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang pernah menyentil bahwa kita masih berada di situasi gridlock, saling mengunci. Kita berada di ambang kemacetan lalu lintas politik. Sebagian besar politisi menjadikan sentra-sentra kuasa ibarat negara dalam negara, yang berkhidmat pada kepentingan partai masing-masing.

Para pemburu kekuasaan berlomba mengundi peruntungan dengan saling curi kesempatan, tak segan menabrak lampu merah dan membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan kepentingan di persimpangan jalan. Para cerdik pandai bersikap amat pragmatis. Maka, situasinya maju kena, mundur kena. Semua pengemudi kendararaan saling mengunci. Seperti itulah gridlock.

Demi mengatasi situasi seperti itu, kata Cak Nur, dibutuhkan kehadiran otoritas yang berdiri tegas, yang dapat mengupayakan jalur putaran atau pengalihan, yang secara perlahan bisa mengurai kemacetan. Di dalam perilaku berlalu lintas kekuasaan yang saling serobot itu, sangat dituntut kehadiran sumber-sumber otoritas politik, termasuk partai politik beserta infrastrukturnya, yang berani berkata 'tidak' untuk apa pun yang merusak kewarasan nalar publik.

Politisi, partai politik, dan para cerdik pandai mestinya siap tempur melawan populisme yang sesat. Kebijakan jangka pendek yang kelihatannya menyenangkan publik, tetapi bakal membunuh publik untuk jangka panjang, misalnya, salah satu kemacetan yang harus diurai dengan keberanian berkata tidak, tadi.

Pekan-pekan ini, yang ditandai dengan dimulainya pendaftaran partai politik ke KPU, akan menjadi pembuktian apakah para penentu kebijakan politik kita sanggup berhijrah dari situasi gridlock menuju jalan terang penuh nalar, atau malah sebaliknya: terus-menerus mempertebal tembok jalan buntu politik. Saya sih milih yes untuk gerakan hijrah menuju perubahan.



Berita Lainnya
  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.