Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
MARAH hal yang lumrah. Siapa pun boleh marah ketika dihadapkan pada sesuatu yang tidak disukai atau mengecewakan hati. Termasuk presiden.
Karena itu, tidak ada yang luar biasa sebenarnya ketika Presiden Joko Widodo marah dalam acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali, Jumat (25/3). Yang hadir dalam acara itu komplet. Ada menteri, ada kepala daerah, ada pejabat BUMN. Di hadapan mereka, Jokowi berterus terang bahwa dirinya geregetan, kesal, jengkel, marah.
Kemarahan Jokowi dipicu masih adanya kementerian, pemerintah daerah, dan BUMN yang gemar membeli barang impor. Dia sampai memerinci barang-barang itu. Buku tulis, ballpoint, CCTV, sepatu dan seragam TNI-Polri, traktor pertanian, hingga tempat tidur rumah sakit dia sebutkan. Beberapa menteri kena semprot. Belakangan Polri memastikan 98% seragam yang mereka kenakan buatan dalam negeri. Tinggal 2% yang impor karena tidak diproduksi di dalam negeri.
Dari gestur, dari raut wajah, dari pilihan kata-kata, Jokowi marah betul kali ini. Hadirin yang mencoba bertepuk tangan dilarang. Ancaman untuk mengganti menteri yang tetap doyan produk luar negeri dilontarkan.
Jokowi marah sejatinya bukan hal yang baru. Pada Mei 2020, dia meluapkan kejengkelannya saat membuka rapat terbatas. Pemantiknya, penyaluran bansos tunai berbelit-belit dan lambat sampai ke penerima.
Sebulan kemudian, Jokowi kembali marah. Dia kesal bukan kepalang karena masih ada anak buahnya yang tak punya sense of crisis dalam krisis akibat pandemi covid-19. Saat membuka Sidang Kabinet Paripurna, dia langsung membuka pidatonya dengan nada tinggi.
"Saya lihat, masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan? Suasana ini krisis!" ketus Jokowi ketika itu. Dia juga mengancam akan melakukan perombakan kabinet jika diperlukan.
Di bulan yang sama, Jokowi lagi-lagi marah. Penyebabnya, proses pemberian intensif bagi tenaga kesehatan yang menangani covid-19 terlalu berbelit.
Tak cuma Jokowi yang bisa marah. Presiden sebelumnya, SBY, beberapa kali juga marah. Pada 2008, SBY marah-marah karena dalam rapat kabinet para menteri malah ngerumpi.
Pada 2013, SBY marah lagi. Pangkal masalahnya, harga bawang naik. Dia menginstruksikan jajarannya untuk bekerja secara serius dan tak hanya pencitraan di depan media.
Masalah kebakaran hutan dan lahan juga pernah memicu amarah SBY. Dua kali malah. Pertama pada 2006, dia marah karena para menteri menjadikan bencana asap sebagai bahan candaan sebelum rapat di istana. Kemudian, 2014, SBY marah karena ada menteri koordinator dan gubernur terkait justru absen dalam rapat penanggulangan bencana asap.
Gus Dur yang dikenal humoris, menurut orang terdekatnya, Wimar Witoelar, pun pernah memarahi kabinetnya dalam rapat. Hanya saja, kemarahan Gus Dur tak terekam karena saat itu Youtube belum seramai sekarang. Begitu pula dengan Presiden Soekarno, Pak Harto, BJ Habibie, dan Megawati Soekarnoputri.
Marah kerap dianggap sebagai emosi negatif yang perlu dihindari. Namun, sebagai sifat alami manusia, marah mustahil dihilangkan. Yang terpenting ialah bagaimana mengelola amarah sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Apalagi bagi seorang presiden.
Presiden juga manusia. Wajar jika dia marah. Yang penting bukan pemarah. Tidak suka marah-marah. Bahaya kalau presiden darting, darah tinggi. Seluruh rakyat berisiko jadi korban jika pemimpinnya gagal mengontrol emosi. Bung Hatta pernah bilang, jika ada pemimpin pemarah, sebaiknya ditanyakan saja kepada ahli jiwa.
Eloknya, marah seorang pemimpin juga tidak kebablasan. Tidak dengan kata-kata kotor, kata-kata kasar. Tidak baik mulut pemimpin tidak tertib.
Marah punya sisi positif. Marah bahkan dianggap sebagai ekspresi perlawanan atas kemandekan. Malcolm X pernah berkata, ''Ketika mereka marah, mereka tengah membuat perubahan.''
Akan tetapi, sekali lagi, marah yang baik ialah marah yang tahu waktu dan tempat. Kalau mengutip tulisan Herry Tjahjono berjudul Pemimpin Pemarah, pemimpin yang hebat juga memerlukan kompetensi kemarahan yang memadai. Ada tiga aspek yang perlu dipahami. Pertama, spirit kemarahan harus jelas, yakni untuk mendobrak status quo.
Kedua, sifat kemarahan mesti genuine dan objektif. Pemimpin marah karena memang harus marah. Tidak dibuat-buat. Bukan untuk pencitraan. Bukan untuk menunjukkan seolah membela rakyat. Pemimpin marah bukan pula berlandaskan subjektivitas, bukan karena sentimen.
Ketiga, tujuan kemarahan. Aspek itu sangat penting karena kemarahan harus dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan. Anger is a decisive tool, kemarahan yang menghasilkan keputusan efektif, keputusan yang bisa memecahkan persoalan, memberikan jalan keluar.
Jika beli produk asing masih menjadi hobi kementerian/lembaga, pemda, atau BUMN, kiranya Presiden Jokowi pantas menumpahkan kejengkelannya. Melampiaskan kemarahannya. Instruksi untuk mencintai dan menggunakan produk bangsa sendiri sudah lama diberikan. Kalau sampai sekarang masih ada orang dalam yang mengabaikan, keterlaluan betul mereka.
Namun, marah saja tidaklah cukup. Presiden harus memastikan agar kemarahannya tak sia-sia. Harus ada perubahan. Jangan mau lagi enggak direken anak buah sendiri.
Jokowi lumrah marah karena masalah produk impor. Kemarahan itu pula yang juga kita tunggu terkait dengan kekarut-marutan minyak goreng. Semoga Pak Jokowi marah lagi. Siapa tahu benang kusut yang sudah berbulan-bulan akhirnya terurai dan jeritan emak-emak bisa disudahi.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved