Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
ADA tiga perkara dalam birokrasi di negeri ini yang sepertinya simpel, tapi tidak kunjung tuntas dijalankan. Tiga hal itu ialah komunikasi, koordinasi, dan konsistensi. Ketidakberesan ketiga hal itu membuat sejumlah keputusan menjadi kontroversial di mata publik. Alhasil, muncul penolakan.
Seperti yang terjadi pada keputusan dikembalikannya aturan soal pengambilan manfaat dana Jaminan Hari Tua, atau JHT, bagi pekerja. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur JHT baru bisa dicairkan saat memasuki usia pensiun atau 56 tahun. Syarat lainnya untuk pencairan, yakni peserta JHT meninggal dunia atau cacat total tetap.
Padahal, dalam aturan sebelumnya tidak begitu. Dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 dinyatakan bahwa JHT dapat dicairkan kepada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara tunai setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan.
Keputusan itu dirasakan amat tiba-tiba. Seperti guntur di siang bolong. Sekonyong-konyong nyelonong. Tanpa permisi, tidak ada komunikasi dengan para pihak. Padahal, yang terkena keputusan itu banyak.
Hasilnya bisa diprediksi, peraturan baru itu menuai protes dari publik dan kalangan serikat buruh. Petisi penolakan terhadap aturan itu malah sudah ditandatangani lebih dari 300 ribu orang. Itu jumlah yang banyak untuk sebuah petisi penolakan yang biasanya diteken paling banyak 100 ribuan orang. Bahkan sudah muncul beragam spekulasi.
Para penolak aturan bertanya-tanya, ada apa dengan perubahan aturan itu? Bukankah JHT uang pekerja dan hak pekerja? Mengapa negara sampai mengatur manajemen keuangan rakyatnya? Bagaimana dengan kebutuhan para korban PHK? Bagaimana yang terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaan dan bermaksud memakai dana JHT untuk membuka usaha?
Berderet pertanyaan yang muncul itu sudah cukup sebagai pertanda ada komunikasi yang macet. Model komunikasi pun cuma searah. Pekerja seperti ditempatkan sekadar objek dalam komunikasi satu arah tersebut, bukan sebagai subjek. Tidak mengherankan kalau muncul kecurigaan.
Ada yang menduga jangan-jangan dana JHT sudah tidak ada. Tak ayal, pemerintah mengatur dana untuk menjamin kesejahteraan pegawai atau buruh di hari tua itu hanya bisa dicairkan secara penuh di usia 56 tahun. Kalau selalu ada, kenapa harus ditunda pembayarannya sampai 56 tahun? Begitu kira-kira dugaan tersebut mulai berkembang.
Ada juga yang mulai membuka kalkulator untuk membuat hitung-hitungan. Tentu juga dengan narasi curiga. Hasil hitungan itu memperkirakan perubahan aturan pencairan JHT dapat menahan uang sekitar Rp387,45 triliun iuran pekerja di BPJS Ketenagakerjaan. Jika hitungan itu benar, ini sebuah jumlah yang amat besar.
Ketidakberesan komunikasi akhirnya membawa hasil hitungan itu dalam kesimpulan penuh kecurigaan. Ada yang menghubungkan bahwa perubahan kebijakan itu dilakukan jangan-jangan untuk mengatasi keterbatasan likuiditas pemerintah.
Atau, jangan-jangan akan diinvestasikan ke hal lain untuk proyek-proyek infrastruktur. Lebih-lebih, defisit APBN kita sudah mencapai lebih dari Rp700 triliun. Lebih-lebih lagi, Bank Indonesia sudah tidak diizinkan lagi untuk membeli SUN (surat utang negara) demi menambal defisit tersebut.
Semua analisis dan hitungan di atas belum jelas benar. Kementerian Ketenagakerjaan pun sudah membantah keras, sangat keras, atas narasi miring tersebut. Kemenaker memastikan dana kelolaan dari para peserta BPJS Ketenagakerjaan akan tetap aman. Hal itu karena dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan selalu diaudit dan pemerintah menjadi penjaminnya.
Bagi korban PHK, pemerintah juga sudah menyiapkan bantalan. Namanya dana Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP. Namun, program ini baru akan diluncurkan 22 Februari mendatang. Untuk yang mengundurkan diri dan hendak putar haluan membuka usaha, kata Kemenaker, ada bantuan dari Kemenaker, Kemensos, dan Kementerian Koperasi dan UKM. Intinya, karena namanya Jaminan Hari Tua, ya mestinya digunakan untuk menjamin agar hari tua tidak merana.
Akan tetapi, tangkisan itu belum sepenuhnya membuat badai penolakan mereda. Kebijakan itu boleh jadi benar dan bermanfaat untuk lebih banyak orang. Namun, karena model komunikasi yang usang, yakni 'tembak dahulu, tangkis kemudian', manfaat itu menjadi kian redup, makin tertutup.
Kiranya, kita semua mesti belajar lagi cara berkomunikasi. Apa boleh buat. Kalau terus begini, siapa yang merugi?
KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.
ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.
BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.
Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved