Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Menghidupkan Dialog

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
12/2/2022 05:00
Menghidupkan Dialog
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

MENGELOLA perbedaan bukanlah perkara mudah. Apalagi bila level perbedaan itu sangat kompleks seperti Indonesia. Butuh kesabaran ekstra, ikhtiar keras, dan sikap kelapangan dada yang mahaluas untuk menerima kompleksitas perbedaan itu.

Dalam sebuah kesempatan di Universitas Indonesia, Guru Besar dari Technise Universitat Dortmund Thomas Meyer mengakui beratnya mengelola keragaman yang multi seperti Indonesia. Meyer mengatakan bahwa identitas sosial di negara multikultur dan demokrasi seperti Indonesia sangat rumit.

Berbagai latar belakang, kepentingan, dan cara pandang masuk dalam satu tataran serta keranjang politik. Jika tidak dikelola dengan baik, tandas Profesor Meyer, situasi itu bisa memicu tumbuhnya fundamentalisme. Karena itu, ruang publik mestinya diisi dengan dialog terbuka dan setara.

Dialog itu jembatan bagi terkuaknya ruang gagasan untuk membangun kebudayaan. Permasalahan kita yang tidak kunjung tuntas selama ini ialah bagaimana membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua sisi ‘sungai’ yang terpisah.

Ruang dialog publik merupakan sebuah jembatan antara negara dan warga negara. Ruang dialog itu ciri dari sebuah peradaban serta konfigurasi kebudayaan.

Sayangnya, justru ruang dialog itu yang ditanggalkan sehingga berakibat amarah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pekan ini. Ada yang tidak sabar mengelola perbedaan. Bahasa dialog diganti dengan bahasa represi. Pokoknya, tangkap dulu, musyawarah kemudian.

Perbedaan antara warga yang pro dan kontra pembebasan lahan untuk galian material andesit sebagai bahan baku pembangunan Bendungan Bener mestinya bisa dicapai titik temunya lewat dialog. Prinsip ‘tidak boleh ada yang ditinggal’ (no left behind), walau secara jumlah yang kontra itu bukan mayoritas, seyogianya tetap diterapkan.

Saya jadi ingat bagaimana dulu Orde Baru menutup ruang dialog dalam ‘bernegosiasi’ dengan warganya. Akibatnya, kata ‘pembangunan’ yang ditiupkan bak mantra oleh negara, bagi masyarakat kerap diidentikkan dengan perampasan, penggusuran, dan pengambilalihan hak secara paksa. Dalam berbagai kasus, atas nama pembangunan, jatuhlah korban jiwa di kalangan warga, seperti di Kedungombo, di Nipah, di Cimacan, dan beberapa tempat lainnya.

Kita sudah bermufakat mengakhiri episode sejarah kelam seperti itu. Saat era berganti, kita juga sudah disodori kisah sukses bagaimana kesabaran mengelola dialog itu bisa berbuah manis. Itulah, misalnya, yang dilakukan Jokowi saat menjadi Wali Kota Surakarta.

Jokowi bermaksud merevitalisasi kawasan Banjarsari menjadi zona hijau. Caranya dengan merelokasi ratusan pedagang barang bekas di wilayah tersebut. Tiga wali kota sebelum Jokowi ‘angkat tangan’ saat harus memindahkan ratusan pedagang itu.

Jokowi mengembangkan dialog dengan cara mengundang para pedagang makan bersama. Tidak cukup sekali atau 10 kali, tapi hingga jamuan makan ke-54, barulah titik temu itu terjadi.

Saat eksekusi tiba, tidak ada satu pun pedagang yang menolak relokasi. Padahal, awalnya semua pedagang menolak dipindahkan, bahkan dengan ancaman akan membakar kantor wali kota bila relokasi itu tetap dilakukan. Alih-alih kerusuhan, relokasi bahkan dirayakan dengan karnaval seni bak acara perayaan kebudayaan. Tidak ada bedil, parang, pentungan, dan gas air mata. Yang bersemi justru taburan cinta.

Di Surakarta, Jokowi dan warga menciptakan sejarah dengan memutar haluan stigma buruk pembangunan warisan Orba. Bahasa pemaksaan digeser dengan bahasa dialog. Perintah diganti dengan mendengar, mendengar, dan mendengar. Tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Semuanya setara, punya hak mendengar dan bicara.

Ruang dialog publik berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesetaraan itu pun terbukti ampuh mengelola perbedaan. Dalam ruang seperti itu, tidak ada lagi yang kuat menindas yang lemah atau mayoritas menyingkirkan minoritas. Pun, tidak ada yang tertinggal atau ditinggalkan.

Kasus di Wadas kiranya menjadi cermin siapa pun untuk kembali memperluas ruang dialog. Pula, memperkuat energi kesabaran untuk mencapai titik temu. Negara mesti memandang warga, baik yang pro maupun kontra pembebasan lahan, sebagai subjek, bukan objek.

Jika subjek ketemu dengan subjek, yang terjadi ialah dialog intersubjektif. Ujung-ujungnya terjadi titik temu. Muncul bahasa kalbu. Tercipta bahasa cinta.



Berita Lainnya
  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.

  • Gibran Tuju Papua Damai

    14/7/2025 05:00

    KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.  

  • Negosiasi Vietnam

    12/7/2025 05:00

    DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.

  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik