Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Menghidupkan Dialog

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
12/2/2022 05:00
Menghidupkan Dialog
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

MENGELOLA perbedaan bukanlah perkara mudah. Apalagi bila level perbedaan itu sangat kompleks seperti Indonesia. Butuh kesabaran ekstra, ikhtiar keras, dan sikap kelapangan dada yang mahaluas untuk menerima kompleksitas perbedaan itu.

Dalam sebuah kesempatan di Universitas Indonesia, Guru Besar dari Technise Universitat Dortmund Thomas Meyer mengakui beratnya mengelola keragaman yang multi seperti Indonesia. Meyer mengatakan bahwa identitas sosial di negara multikultur dan demokrasi seperti Indonesia sangat rumit.

Berbagai latar belakang, kepentingan, dan cara pandang masuk dalam satu tataran serta keranjang politik. Jika tidak dikelola dengan baik, tandas Profesor Meyer, situasi itu bisa memicu tumbuhnya fundamentalisme. Karena itu, ruang publik mestinya diisi dengan dialog terbuka dan setara.

Dialog itu jembatan bagi terkuaknya ruang gagasan untuk membangun kebudayaan. Permasalahan kita yang tidak kunjung tuntas selama ini ialah bagaimana membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua sisi ‘sungai’ yang terpisah.

Ruang dialog publik merupakan sebuah jembatan antara negara dan warga negara. Ruang dialog itu ciri dari sebuah peradaban serta konfigurasi kebudayaan.

Sayangnya, justru ruang dialog itu yang ditanggalkan sehingga berakibat amarah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pekan ini. Ada yang tidak sabar mengelola perbedaan. Bahasa dialog diganti dengan bahasa represi. Pokoknya, tangkap dulu, musyawarah kemudian.

Perbedaan antara warga yang pro dan kontra pembebasan lahan untuk galian material andesit sebagai bahan baku pembangunan Bendungan Bener mestinya bisa dicapai titik temunya lewat dialog. Prinsip ‘tidak boleh ada yang ditinggal’ (no left behind), walau secara jumlah yang kontra itu bukan mayoritas, seyogianya tetap diterapkan.

Saya jadi ingat bagaimana dulu Orde Baru menutup ruang dialog dalam ‘bernegosiasi’ dengan warganya. Akibatnya, kata ‘pembangunan’ yang ditiupkan bak mantra oleh negara, bagi masyarakat kerap diidentikkan dengan perampasan, penggusuran, dan pengambilalihan hak secara paksa. Dalam berbagai kasus, atas nama pembangunan, jatuhlah korban jiwa di kalangan warga, seperti di Kedungombo, di Nipah, di Cimacan, dan beberapa tempat lainnya.

Kita sudah bermufakat mengakhiri episode sejarah kelam seperti itu. Saat era berganti, kita juga sudah disodori kisah sukses bagaimana kesabaran mengelola dialog itu bisa berbuah manis. Itulah, misalnya, yang dilakukan Jokowi saat menjadi Wali Kota Surakarta.

Jokowi bermaksud merevitalisasi kawasan Banjarsari menjadi zona hijau. Caranya dengan merelokasi ratusan pedagang barang bekas di wilayah tersebut. Tiga wali kota sebelum Jokowi ‘angkat tangan’ saat harus memindahkan ratusan pedagang itu.

Jokowi mengembangkan dialog dengan cara mengundang para pedagang makan bersama. Tidak cukup sekali atau 10 kali, tapi hingga jamuan makan ke-54, barulah titik temu itu terjadi.

Saat eksekusi tiba, tidak ada satu pun pedagang yang menolak relokasi. Padahal, awalnya semua pedagang menolak dipindahkan, bahkan dengan ancaman akan membakar kantor wali kota bila relokasi itu tetap dilakukan. Alih-alih kerusuhan, relokasi bahkan dirayakan dengan karnaval seni bak acara perayaan kebudayaan. Tidak ada bedil, parang, pentungan, dan gas air mata. Yang bersemi justru taburan cinta.

Di Surakarta, Jokowi dan warga menciptakan sejarah dengan memutar haluan stigma buruk pembangunan warisan Orba. Bahasa pemaksaan digeser dengan bahasa dialog. Perintah diganti dengan mendengar, mendengar, dan mendengar. Tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Semuanya setara, punya hak mendengar dan bicara.

Ruang dialog publik berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesetaraan itu pun terbukti ampuh mengelola perbedaan. Dalam ruang seperti itu, tidak ada lagi yang kuat menindas yang lemah atau mayoritas menyingkirkan minoritas. Pun, tidak ada yang tertinggal atau ditinggalkan.

Kasus di Wadas kiranya menjadi cermin siapa pun untuk kembali memperluas ruang dialog. Pula, memperkuat energi kesabaran untuk mencapai titik temu. Negara mesti memandang warga, baik yang pro maupun kontra pembebasan lahan, sebagai subjek, bukan objek.

Jika subjek ketemu dengan subjek, yang terjadi ialah dialog intersubjektif. Ujung-ujungnya terjadi titik temu. Muncul bahasa kalbu. Tercipta bahasa cinta.



Berita Lainnya
  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.