Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Antara Munir dan Angin

Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group
08/2/2022 05:00
Antara Munir dan Angin
Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

DALAM sebulan terakhir, setidaknya dua kali hati saya dibuat miris. Pertama, miris bercampur sedih. Kedua, miris berbaur geram.

Ada dua peristiwa hukum dengan saga berbeda yang membuat saya miris. Peristiwa pertama terjadi di Garut, Jawa Barat. Kasusnya pembakaran dua ruangan SMP Negeri 1 Cikelet. Kejadiannya pada Jumat, 14 Januari 2022. Pelakunya bernama Munir Alamsyah.

Kepada setiap pelaku kejahatan, kita biasanya kesal, marah. Namun, tidak demikian terhadap Munir. Tak sedikit masyarakat, termasuk saya, justru kasihan kepada pria berusia 53 tahun itu.

Munir pantas dikasihani. Dia melakukan kejahatan itu karena tingkat keterpaksaan yang sangat tinggi. Adalah kekesalan yang memuncak yang membuat dia berbuat nekat. Dia sakit hati tingkat akut lantaran honornya yang hanya Rp6 juta untuk dua tahun mengajar di sekolah itu pada 1996-1998 tak kunjung dibayarkan.

Selama 24 tahun Munir memperjuangkan haknya. Dia berulang kali meminta pihak sekolah melunasi, tetapi sampai lebih dari dua dekade tak juga terealisasi.

Dia putus asa. Apalagi hidupnya sedang sulit, terpuruk, karena tak punya pekerjaan tetap. Padahal, Munir sebenarnya guru hebat. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Garut Ade Mandin, sebagai pengajar fisika, dia guru yang cerdas.

Akal sehat Munir sesaat bablas. "Saya membakar sekolah karena kesal, saya memohon maaf atas perbuatan itu. Saya nganggur tidak punya pekerjaan, hidup dibantu keluarga aja," tukasnya.

Munir mengaku salah, dia menyesal. Beruntung, pihak sekolah sepakat tak meneruskan kasus itu ke ranah hukum. Dinas Pendidikan Garut akhirnya juga memberikan haknya. Apresiasi untuk mereka. Namun, perbuatan Munir tetap salah. Tindakannya tak patut ditiru.

Munir adalah bagian kecil dari potret buram tenaga hononer yang begitu lama dibingkai di negeri ini. Masih banyak, sangat banyak, orang-orang seperti dia. Dia hanya satu dari jutaan korban ketidakadilan di negara yang konon menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Peristiwa kedua yang membuat saya miris tersaji di Pengadilan Tipikor Jakarta, 4 Februari 2022, dalam sidang putusan kasus suap pajak oleh pegawai pajak. Bukan cuma karena vonis yang konsisten ringan, saya miris menyaksikan begitu mudahnya pejabat menggasak uang rakyat.

Majelis hakim menyatakan bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama. Vonis hukuman penjara 9 tahun diketuk palu. Ya, cuma 9 tahun sesuai tuntutan jaksa. Bukan hukuman maksimal 20 tahun meski dia terbukti melanggar Pasal 12 UU No 20 Tahun 2001.

Bekas Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Ditjen Pajak Dadan Ramdani divonis lebih ringan lagi, cuma 6 tahun penjara. Selain pidana penjara, Angin dan Dadan diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp14,573 miliar.

Keduanya bukan duet maut dalam menggarong uang negara. Masih ada bekas pemeriksa pajak, yakni Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, Yulmanizar, dan Febrian, yang diduga ikut membantu. Tentu, mereka juga kebagian 'jatah preman'.

Tak tanggung-tanggung, total suap yang masuk kantong Angin dan konco-konconya dari wajib pajak agar kewajiban pajaknya dikurangi mencapai Rp47,5 miliar. Catat, itu hanya dari tiga wajib pajak. Tidak tahu apakah ada dari wajib-wajib pajak yang lain tetapi tidak atau belum ketahuan.

Angin dkk adalah bagian kecil dari potret besar keserakahan manusia yang punya kuasa. Angin hanya satu dari sekian banyak pegawai pajak yang disebut Menkeu Sri Mulyani sebagai pengkhianat. Dia bukanlah yang pertama, dan saya yakin bukan pula yang terakhir. Bukan alfa omega.

Sulit untuk memastikan lebih banyak mana, yang berintegritas atau yang korup, di antara 45 ribu lebih pegawai pajak. Faktanya, perkara patgulipat pajak oleh pegawai pajak terus saja terjadi.

Sulit diterima akal kenapa aparat pajak masih saja korupsi padahal penghasilan legalnya sudah sangat tinggi. Sulit diterima nalar kenapa kerakusan terus saja dipertontonkan, meski negara telah memberikan imbalan kinerja begitu besar kepada mereka.

Ironis betul apa yang dialami Munir dan Angin cs. Munir butuh waktu lebih dari 20 tahun untuk mendapatkan honor Rp6 juta, sementara Angin dkk dalam sekejap dapat meraup bermiliar-miliar uang haram. Belum termasuk penghasilan resmi mereka saban bulan yang bisa ratusan kali lipat dari yang didapat Munir saat masih menjadi guru honorer.

Ada ungkapan hidup tidak adil. Ungkapan yang kiranya pas untuk mengomparasikan nasib Munir dan Angin cs. Celakanya, ketidakadilan seperti itu awet betul di negeri ini. Ia seperti diformalin. Tidak ada matinya.

Lebih celaka lagi, negara ikut andil dalam melanggengkan ketidakadilan. Hukuman ringan tuna-efek jera bagi pelaku korupsi seperti Angin dkk adalah wujud ketidakadilan itu.

Episteme Polemarchus menyebutkan, keadilan adalah memberi kepada setiap haknya, baik untuk sahabat, dan jahat untuk musuh. Semestinya, negara sigap menggelontorkan pemberian yang baik kepada orang-orang seperti Munir. Semestinya, negara tegas menimpakan hal-hal yang buruk kepada musuh rakyat semacam Angin dan komplotannya.



Berita Lainnya
  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik