Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
DALAM sebulan terakhir, setidaknya dua kali hati saya dibuat miris. Pertama, miris bercampur sedih. Kedua, miris berbaur geram.
Ada dua peristiwa hukum dengan saga berbeda yang membuat saya miris. Peristiwa pertama terjadi di Garut, Jawa Barat. Kasusnya pembakaran dua ruangan SMP Negeri 1 Cikelet. Kejadiannya pada Jumat, 14 Januari 2022. Pelakunya bernama Munir Alamsyah.
Kepada setiap pelaku kejahatan, kita biasanya kesal, marah. Namun, tidak demikian terhadap Munir. Tak sedikit masyarakat, termasuk saya, justru kasihan kepada pria berusia 53 tahun itu.
Munir pantas dikasihani. Dia melakukan kejahatan itu karena tingkat keterpaksaan yang sangat tinggi. Adalah kekesalan yang memuncak yang membuat dia berbuat nekat. Dia sakit hati tingkat akut lantaran honornya yang hanya Rp6 juta untuk dua tahun mengajar di sekolah itu pada 1996-1998 tak kunjung dibayarkan.
Selama 24 tahun Munir memperjuangkan haknya. Dia berulang kali meminta pihak sekolah melunasi, tetapi sampai lebih dari dua dekade tak juga terealisasi.
Dia putus asa. Apalagi hidupnya sedang sulit, terpuruk, karena tak punya pekerjaan tetap. Padahal, Munir sebenarnya guru hebat. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Garut Ade Mandin, sebagai pengajar fisika, dia guru yang cerdas.
Akal sehat Munir sesaat bablas. "Saya membakar sekolah karena kesal, saya memohon maaf atas perbuatan itu. Saya nganggur tidak punya pekerjaan, hidup dibantu keluarga aja," tukasnya.
Munir mengaku salah, dia menyesal. Beruntung, pihak sekolah sepakat tak meneruskan kasus itu ke ranah hukum. Dinas Pendidikan Garut akhirnya juga memberikan haknya. Apresiasi untuk mereka. Namun, perbuatan Munir tetap salah. Tindakannya tak patut ditiru.
Munir adalah bagian kecil dari potret buram tenaga hononer yang begitu lama dibingkai di negeri ini. Masih banyak, sangat banyak, orang-orang seperti dia. Dia hanya satu dari jutaan korban ketidakadilan di negara yang konon menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Peristiwa kedua yang membuat saya miris tersaji di Pengadilan Tipikor Jakarta, 4 Februari 2022, dalam sidang putusan kasus suap pajak oleh pegawai pajak. Bukan cuma karena vonis yang konsisten ringan, saya miris menyaksikan begitu mudahnya pejabat menggasak uang rakyat.
Majelis hakim menyatakan bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama. Vonis hukuman penjara 9 tahun diketuk palu. Ya, cuma 9 tahun sesuai tuntutan jaksa. Bukan hukuman maksimal 20 tahun meski dia terbukti melanggar Pasal 12 UU No 20 Tahun 2001.
Bekas Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Ditjen Pajak Dadan Ramdani divonis lebih ringan lagi, cuma 6 tahun penjara. Selain pidana penjara, Angin dan Dadan diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp14,573 miliar.
Keduanya bukan duet maut dalam menggarong uang negara. Masih ada bekas pemeriksa pajak, yakni Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, Yulmanizar, dan Febrian, yang diduga ikut membantu. Tentu, mereka juga kebagian 'jatah preman'.
Tak tanggung-tanggung, total suap yang masuk kantong Angin dan konco-konconya dari wajib pajak agar kewajiban pajaknya dikurangi mencapai Rp47,5 miliar. Catat, itu hanya dari tiga wajib pajak. Tidak tahu apakah ada dari wajib-wajib pajak yang lain tetapi tidak atau belum ketahuan.
Angin dkk adalah bagian kecil dari potret besar keserakahan manusia yang punya kuasa. Angin hanya satu dari sekian banyak pegawai pajak yang disebut Menkeu Sri Mulyani sebagai pengkhianat. Dia bukanlah yang pertama, dan saya yakin bukan pula yang terakhir. Bukan alfa omega.
Sulit untuk memastikan lebih banyak mana, yang berintegritas atau yang korup, di antara 45 ribu lebih pegawai pajak. Faktanya, perkara patgulipat pajak oleh pegawai pajak terus saja terjadi.
Sulit diterima akal kenapa aparat pajak masih saja korupsi padahal penghasilan legalnya sudah sangat tinggi. Sulit diterima nalar kenapa kerakusan terus saja dipertontonkan, meski negara telah memberikan imbalan kinerja begitu besar kepada mereka.
Ironis betul apa yang dialami Munir dan Angin cs. Munir butuh waktu lebih dari 20 tahun untuk mendapatkan honor Rp6 juta, sementara Angin dkk dalam sekejap dapat meraup bermiliar-miliar uang haram. Belum termasuk penghasilan resmi mereka saban bulan yang bisa ratusan kali lipat dari yang didapat Munir saat masih menjadi guru honorer.
Ada ungkapan hidup tidak adil. Ungkapan yang kiranya pas untuk mengomparasikan nasib Munir dan Angin cs. Celakanya, ketidakadilan seperti itu awet betul di negeri ini. Ia seperti diformalin. Tidak ada matinya.
Lebih celaka lagi, negara ikut andil dalam melanggengkan ketidakadilan. Hukuman ringan tuna-efek jera bagi pelaku korupsi seperti Angin dkk adalah wujud ketidakadilan itu.
Episteme Polemarchus menyebutkan, keadilan adalah memberi kepada setiap haknya, baik untuk sahabat, dan jahat untuk musuh. Semestinya, negara sigap menggelontorkan pemberian yang baik kepada orang-orang seperti Munir. Semestinya, negara tegas menimpakan hal-hal yang buruk kepada musuh rakyat semacam Angin dan komplotannya.
KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.
ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.
BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.
Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved