Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
DALAM sebulan terakhir, setidaknya dua kali hati saya dibuat miris. Pertama, miris bercampur sedih. Kedua, miris berbaur geram.
Ada dua peristiwa hukum dengan saga berbeda yang membuat saya miris. Peristiwa pertama terjadi di Garut, Jawa Barat. Kasusnya pembakaran dua ruangan SMP Negeri 1 Cikelet. Kejadiannya pada Jumat, 14 Januari 2022. Pelakunya bernama Munir Alamsyah.
Kepada setiap pelaku kejahatan, kita biasanya kesal, marah. Namun, tidak demikian terhadap Munir. Tak sedikit masyarakat, termasuk saya, justru kasihan kepada pria berusia 53 tahun itu.
Munir pantas dikasihani. Dia melakukan kejahatan itu karena tingkat keterpaksaan yang sangat tinggi. Adalah kekesalan yang memuncak yang membuat dia berbuat nekat. Dia sakit hati tingkat akut lantaran honornya yang hanya Rp6 juta untuk dua tahun mengajar di sekolah itu pada 1996-1998 tak kunjung dibayarkan.
Selama 24 tahun Munir memperjuangkan haknya. Dia berulang kali meminta pihak sekolah melunasi, tetapi sampai lebih dari dua dekade tak juga terealisasi.
Dia putus asa. Apalagi hidupnya sedang sulit, terpuruk, karena tak punya pekerjaan tetap. Padahal, Munir sebenarnya guru hebat. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Garut Ade Mandin, sebagai pengajar fisika, dia guru yang cerdas.
Akal sehat Munir sesaat bablas. "Saya membakar sekolah karena kesal, saya memohon maaf atas perbuatan itu. Saya nganggur tidak punya pekerjaan, hidup dibantu keluarga aja," tukasnya.
Munir mengaku salah, dia menyesal. Beruntung, pihak sekolah sepakat tak meneruskan kasus itu ke ranah hukum. Dinas Pendidikan Garut akhirnya juga memberikan haknya. Apresiasi untuk mereka. Namun, perbuatan Munir tetap salah. Tindakannya tak patut ditiru.
Munir adalah bagian kecil dari potret buram tenaga hononer yang begitu lama dibingkai di negeri ini. Masih banyak, sangat banyak, orang-orang seperti dia. Dia hanya satu dari jutaan korban ketidakadilan di negara yang konon menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Peristiwa kedua yang membuat saya miris tersaji di Pengadilan Tipikor Jakarta, 4 Februari 2022, dalam sidang putusan kasus suap pajak oleh pegawai pajak. Bukan cuma karena vonis yang konsisten ringan, saya miris menyaksikan begitu mudahnya pejabat menggasak uang rakyat.
Majelis hakim menyatakan bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama. Vonis hukuman penjara 9 tahun diketuk palu. Ya, cuma 9 tahun sesuai tuntutan jaksa. Bukan hukuman maksimal 20 tahun meski dia terbukti melanggar Pasal 12 UU No 20 Tahun 2001.
Bekas Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Ditjen Pajak Dadan Ramdani divonis lebih ringan lagi, cuma 6 tahun penjara. Selain pidana penjara, Angin dan Dadan diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp14,573 miliar.
Keduanya bukan duet maut dalam menggarong uang negara. Masih ada bekas pemeriksa pajak, yakni Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, Yulmanizar, dan Febrian, yang diduga ikut membantu. Tentu, mereka juga kebagian 'jatah preman'.
Tak tanggung-tanggung, total suap yang masuk kantong Angin dan konco-konconya dari wajib pajak agar kewajiban pajaknya dikurangi mencapai Rp47,5 miliar. Catat, itu hanya dari tiga wajib pajak. Tidak tahu apakah ada dari wajib-wajib pajak yang lain tetapi tidak atau belum ketahuan.
Angin dkk adalah bagian kecil dari potret besar keserakahan manusia yang punya kuasa. Angin hanya satu dari sekian banyak pegawai pajak yang disebut Menkeu Sri Mulyani sebagai pengkhianat. Dia bukanlah yang pertama, dan saya yakin bukan pula yang terakhir. Bukan alfa omega.
Sulit untuk memastikan lebih banyak mana, yang berintegritas atau yang korup, di antara 45 ribu lebih pegawai pajak. Faktanya, perkara patgulipat pajak oleh pegawai pajak terus saja terjadi.
Sulit diterima akal kenapa aparat pajak masih saja korupsi padahal penghasilan legalnya sudah sangat tinggi. Sulit diterima nalar kenapa kerakusan terus saja dipertontonkan, meski negara telah memberikan imbalan kinerja begitu besar kepada mereka.
Ironis betul apa yang dialami Munir dan Angin cs. Munir butuh waktu lebih dari 20 tahun untuk mendapatkan honor Rp6 juta, sementara Angin dkk dalam sekejap dapat meraup bermiliar-miliar uang haram. Belum termasuk penghasilan resmi mereka saban bulan yang bisa ratusan kali lipat dari yang didapat Munir saat masih menjadi guru honorer.
Ada ungkapan hidup tidak adil. Ungkapan yang kiranya pas untuk mengomparasikan nasib Munir dan Angin cs. Celakanya, ketidakadilan seperti itu awet betul di negeri ini. Ia seperti diformalin. Tidak ada matinya.
Lebih celaka lagi, negara ikut andil dalam melanggengkan ketidakadilan. Hukuman ringan tuna-efek jera bagi pelaku korupsi seperti Angin dkk adalah wujud ketidakadilan itu.
Episteme Polemarchus menyebutkan, keadilan adalah memberi kepada setiap haknya, baik untuk sahabat, dan jahat untuk musuh. Semestinya, negara sigap menggelontorkan pemberian yang baik kepada orang-orang seperti Munir. Semestinya, negara tegas menimpakan hal-hal yang buruk kepada musuh rakyat semacam Angin dan komplotannya.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved