Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
DINYATAKAN bersalah, tetapi tidak divonis pidana penjara terasa aneh, setidaknya buat saya. Namun, keanehan itu ada, nyata, bahkan baru saja tersaji di depan mata.
Adalah majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membuat putusan aneh, tapi nyata itu, Selasa (18/1). Majelis diketuai Ignatius Eko Purwono dengan anggota Saifuddin Zuhri, Rosmina, Ali Muhtarom, dan Mulyono Dwi Purwanto.
Majelis menyatakan bos PT Trada Alam Minera Heru Hidayat bersalah melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam kasus PT ASABRI. Tapi, ya itu tadi, mereka tak memvonis pidana penjara.
"Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor dan TPPU sebagaimana dalam dakwaan primer. Menjatuhkan pidana dengan pidana nihil," begitu Purwono membacakan putusan majelis.
Putusan itu mengejutkan karena sebelumnya jaksa menuntut hukuman mati Heru. Selain putusan nihil tanpa hukuman badan apa pun, Heru diharuskan membayar uang pengganti Rp12,643 triliun. Untuk hukuman yang satu ini selaras dengan tuntutan jaksa.
Vonis nihil, itulah bahasa hukumnya. Artinya, tidak ada penambahan hukuman pidana penjara, lantaran hukuman yang diterima terdakwa dalam kasus sebelumnya jika diakumulasi sudah mencapai batas maksimal yang diperbolehkan undang-undang.
Heru sebelumnya memang sudah dihukum seumur hidup. Kesalahannya pun sama, sama-sama melakukan korupsi. Dia terbukti bersalah dalam perkara rasuah PT Jiwasraya yang merugikan negara Rp16 triliun. Adapun dalam kasus PT ASABRI, kerugian negara lebih gila lagi, Rp22,7 triliun.
Vonis nihil memang dimungkinkan. Namun, ia jarang diketuk palukan. Jarang sekali. Sebelumnya, vonis seperti itu dijatuhkan kepada Dimas Kanjeng pada Desember 2018.
Serupa dengan putusan, pertimbangan lahirnya vonis nihil untuk Heru pun aneh. Jika mencermati pertimbangan hakim, tanda tanya patut pula diarahkan ke jaksa.
Menurut majelis, Heru tak divonis mati salah satunya karena jaksa tidak memasukkan pasal hukuman mati dalam dakwaan. Surat dakwaan, kata majelis, merupakan rujukan dan landasan dalam pembuktian tuntutuan sehingga putusan tidak boleh keluar dari surat dakwaan.
Di sisi yang berbeda, jaksa penuntut umum merasa ada hal-hal yang kurang dalam vonis tersebut. Ada keadilan masyarakat yang terusik, kata Jaksa Agung ST Burhanuddin. Dia sengaja menggelar konferensi pers sehari setelah vonis untuk Heru diketuk palu. Dia juga memerintahkan anak buahnya untuk banding.
Tidak tahu pasti siapa yang benar dan siapa yang salah dalam pertarungan hukum antara pak hakim dan pak jaksa. Yang pasti, Heru ialah pemenangnya. Dia menang karena lolos dari vonis hukuman mati. Kemenangan-kemenangan berikutnya berpeluang kembali dia petik pula.
Kalau akhirnya Heru cuma menjalani hukuman seumur hidup dalam kasus sebelumnya, itu berkah buat dia. Berkah, karena dia masih bisa berupaya meringankan hukuman dengan mengajukan peninjauan kembali. Kasasinya memang ditolak, tapi PK bukan tak mungkin dikabulkan. Bukankah Mahkamah Agung lagi gemar obral diskon hukuman untuk koruptor?
Kemenangan buat Heru berarti kemenangan buat koruptor. Sebaliknya, rakyat lagi-lagi dikalahkan. Betul kata jaksa agung, keadilan masyarakat terusik. Sama terusiknya ketika jaksa Pinangki Sirna Malasari oleh koleganya hanya dituntut 4 tahun dalam kasus suap Joko Tjandra. Sama terusiknya ketika Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun di tingkat pertama menjadi 4 tahun, tetapi jaksa santai saja tidak kasasi.
Hukuman mati memang masih menjadi perdebatan. Tidak sedikit yang kontra karena hukuman semacam itu melanggar hak hidup sebagai hak dasar manusia. Bagi mereka, hanya Tuhan yang punya kuasa atas nyawa seseorang. Bukan orang lain, siapa pun dia, apa pun alasannya.
Namun, banyak juga yang pro. Hukuman jenis itu kiranya ampuh sebagai shock therapy dalam memberantas kejahatan tingkat tinggi termasuk korupsi. Siapa sih yang tidak takut mati, apalagi tahu kapan akan mati karena dihukum mati? Se-ndablek-ndablek-nya koruptor, dia pasti takut mati. Agar tak mati karena dihukum mati, dia tidak akan korupsi.
Rumusnya mungkin tidak sesimpel itu. Namun, ketika segala daya dan upaya majal untuk memberangus korupsi, hukuman mati bisa menjadi bagian dari solusi. Lagi pula, bukankah hukum positif kita masih mengatur hukuman mati? Bukankah koruptor bisa juga dihukum mati kendati dengan beberapa persyaratan lain semisal dilakukan berulang seperti yang diperbuat Heru?
Banyak yang berkehendak, hakim satu frekuensi dengan jaksa dalam memvonis Heru Hidayat. Namun, vonis mati yang diharap, vonis nihil yang didapat. Rakyat mesti menunggu lebih lama lagi untuk menyaksikan koruptor dihukum mati. Entah sampai kapan.
Harapan itu mungkin bisa lebih cepat terwujud jika Artidjo Alkostar masih hidup. Artidjo ialah hakim agung yang paling ditakuti koruptor, momok bagi para predator uang rakyat. Banyak dari mereka yang hukumannya dia buat berlipat-lipat.
"Saya ingin sekali menghukum mati koruptor," ucapnya suatu saat. Sayang, Artidjo keburu wafat.
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved