Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
LISTYO Sigit Prabowo, Jenderal Nasrani Kedua yang ditunjuk jadi Kapolri. Begitu judul berita fajar.co.id yang saya baca. Terus terang judul tulisan ini terinspirasi dari judul berita tersebut.
Ramai diberitakan Presiden Jokowi mengajukan nama Listyo Sigit sebagai calon Kapolri kepada DPR. Terdapat lima calon Kapolri. Mereka ialah Gatot Eddy Pramono, Boy Rafli Amar, Listyo Sigit Prabowo, Agus Andrianto, dan Arief Sulistyanto. Tak perlu disebut pangkat dan jabatan mereka, meski itu menunjukkan prestasi dan kemampuan mereka karena yang lebih penting jangan-jangan agama daripada prestasi dan kemampuan.
Judul berita yang saya kutip, juga judul tulisan ini, yang harus repot-repot menyebut agama sang kandidat Kapolri seakan menunjukkan identitas lebih penting daripada kualitas. Sebelumnya, beredar di berbagai grup aplikasi pertukaran pesan nama-nama jenderal polisi beragama nasrani.
Aksi unjuk rasa bertubi-tubi menolak Ahok yang Tionghoa dan nasrani menjadi Gubernur DKI Jakarta juga menunjukkan identitas lebih utama daripada kualitas. Kapolda Jawa Timur Nico Afinta sempat ditolak pemuda Madura karena identitas nasraninya bukan karena rendah kualitasnya. Listyo Sigit Prabowo sempat ditolak ulama Banten ketika menjadi Kapolda Banten karena identitas nasraninya bukan karena jeblok prestasinya.
Bila saja yang jadi Kapolri muslim, agamanya tidak disebutkan dalam judul berita. Taruhlah Boy Rafli Amar jadi Kapolri, judul berita kiranya tidak akan seperti ini: Boy Rafli Jenderal Muslim Kesekian yang Ditunjuk Jadi Kapolri.
Di masa Orde Baru tidak ada yang berani membicarakan agama pejabat secara terbuka. Orang membicarakan agama pejabat diam-diam. Orang bisa dituduh subversif bila membicarakan agama pejabat secara terbuka.
Banyak menteri di kabinet Pak Harto nasrani. Presiden Soeharto mengangkat LB Moerdani yang Katolik sebagai Panglima ABRI. Pak Harto mengangkat Widodo Budidarmo yang nasrani sebagai Kapolri. Serupa berita yang saya kutip, bila Presiden Jokowi mengajukan Listyo Sigit sebagai Kapolri, dia menjadi Kapolri nasrani kedua setelah Widodo Budidarmo.
Di penghujung pemerintahan Orde Baru, umat menuntut apa yang disebut Robert W Hefner dan Martin van Bruinessen sebagai proporsionalitas. Umat menuntut proporsionalitas tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga dalam jabatan publik di politik, militer, dan birokrasi. Umat merasa orang Kristen dan muslim nominal alias Islam KTP menduduki, bahkan menguasai posisi kunci di politik, birokrasi, dan militer.
Presiden Soeharto kiranya mengakomodasi tuntutan akan proporsionalitas itu. Pak Harto mengangkat banyak menteri dari kalangan pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. Pak Harto mengangkat Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI. Feisal kemudian diidentifikasi sebagai ABRI hijau atau ABRI Islam sebagai antitesis ABRI merah putih atau ABRI nasionalis. Pak Harto mengakomodasi tuntutan proporsionalitas itu untuk mendapat sokongan umat Islam demi mempertahankan kekuasaannya yang sudah berurat berakar.
Para presiden di masa Reformasi yang lebih demokratis jika dibandingkan dengan masa Orde Baru mengangkat sejumlah menteri dari kalangan minoritas, baik minoritas agama, etnik, maupun gender. Presiden-presiden kita di masa Reformasi itu melakoni proporsionalitas sesungguhnya. Itulah demokrasi. Bukankah kalangan minoritas yang menempati posisi kunci di pemerintahan, birokrasi, militer, dan kepolisian, bisa dihitung dengan jari?
Boleh dikatakan tidak ada protes ketika para presiden era Reformasi mengangkat pejabat dari kalangan minoritas. Tidak ada kiranya yang mempersoalkan apalagi menolak pejabat dari kalangan minoritas.
Mempersoalkan identitas mulai terjadi pada Pemilu Presiden 2014. Dibikin hoaks bahwa calon presiden Joko Widodo beragama nasrani keturunan Tionghoa Singapura. Di baliknya terkandung pesan untuk tidak memilih atau menolak Jokowi sebagai presiden karena dia nasrani dan Tionghoa.
Berawal dari situ kita doyan mempersoalkan identitas pejabat atau calon pejabat. Penolakan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, Nico Afinta sebagai Kapolda Jatim, dan Listyo Sigit sebagai Kapolda Banten terjadi pasca-Pilpres 2014.
Akhirul kalam, siapapun yang kelak jadi kapolri, apakah dia muslim atau nasrani, Presiden Jokowi pastilah menunjuknya bukan karena identitas agamanya, melainkan karena kualitas kinerjanya. Pun, Presiden sudah memikirkan aspek proporsionalitasnya. Kita harus menghormati pilihan presiden karena mengangkat kapolri hak prerogatif presiden dengan persetujuan DPR. Itulah demokrasi.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved