Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Penaikan Iuran BPJS Kesehatan Jangan Sampai Bikin Lonjakan Tunggakan

Despian Nurhidayat
09/2/2025 14:54
Penaikan Iuran BPJS Kesehatan Jangan Sampai Bikin Lonjakan Tunggakan
Dokter melakukan pemeriksaan kesehatan di Puskesmas Tanah Abang, Jakarta, Minggu (9/2/2025).(MI/Susanto)

KOORDINATOR Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebetulnya merupakan suatu keniscayaan. Pasalnya hal itu sudah tertuang dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyatakan bahwa kenaikan iuran akan terjadi secara berkala dan juga Peraturan Presiden 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mencantumkan bahwa kenaikan iuran paling lambat dilakukan selama 2 tahun.

Timboel juga mengatakan bahwa kenaikan iuran sangat penting karena selama ini, pendapatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar 90% sampai 95% berasal dari iuran.

“Jadi kalau kita baca laporan keuangannya kan pendapatan JKN itu ada dari pendapatan iuran, pendapatan pajak rokok, pendapatan investasi, dan pendapatan lainnya. Nah pendapatan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan) dari yang tidak dipakai puskesmas itu ditarik lagi oleh BPJS. Tetapi yang paling mendominasi adalah pendapatan iuran,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (9/2).

Menurutnya juga saat ini pembiayaan JKN semakin meningkat, khususnya untuk penyakit katastropik dan lainnya, tetapi tidak diimbangi oleh pendapatan iuran.

Dia mencontohkan pada 2024, pembiayaan JKN mencapai Rp175 triliun, sementara pendapatan iuran mencapai Rp163 triliun sehingga terjadi selisih.

“Hal yang signifikan akhirnya menggerus aset bersih yang tadinya Rp56,6 triliun dia turun menjadi Rp49 triliun. Akibatnya memang defisit yang terjadi, defisit berjalan di 2024. Di 2025 defisitnya akan semakin besar sehingga aset bersih bisa tergerus,” tegas Timboel.

Jika kenaikan iuran tidak dilakukan, Timboel mengkhawatirkan aset bersih JKN akan semakin besar, bahkan di 2026 dapat terjadi kasus seperti di 2014-2019 di mana aset bersih JKN malah mencatatkan hasil yang negatif.

“Jadi memang sejak 2021, 2023, 2024 ini surplus, tapi 2024 aset bersih turun. Saya melihat ini ada kecenderungan setelah 3 tahun naik di 2025-2026 akan cenderung turun. Nah oleh sebab itu untuk mendukungnya itu harus dinaikkan iuran,” tuturnya.

Namun demikian, Timboel menyarankan kenaikan iuran dapat dilakukan dengan bijak dimulai dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), sampai ke peserta mandiri.

“Untuk peserta mandiri menurut saya harus hati-hati. Karena kenaikan hiuran peserta mandiri di 2020 itu menyebabkan sampai hari ini 50% lebih peserta menunggak iuran. Artinya apa? Kenaikan yang besar di 2020 dengan lahirnya Perpres 64/2020 itu kan kenaikannya hampir 100%. Ini kan menjadi persoalan bagi peserta mandiri. Nah kalau kenaikan iurannya untuk peserta mandiri seperti yang 2020, maka dia akan menciptakan penunggak iuran yang semakin banyak,” jelas Timboel.

Oleh sebab itu, dia menyarankan kenaikan iuran peserta mandiri tidak dilakukan pada tahun ini melainkan pada 2026.

Dia juga meminta pemerintah untuk memberikan amnesti tunggakan peserta mandiri. Hal itu dapat dilakukan dengan pemberian amnesti 100% untuk masyarakat miskin, 50% sampai 60% untuk masyarakat menengah dan lainnya.

“Sehingga mereka bisa membayar tunggakan dan selesai. Kalaupun nanti ada iuran yang naik, maka dia bisa memulai dengan iuran yang baru tanpa dibebani oleh tunggakan iuran. Jangan orang kaya saja dapat amnesti pajak, masa rakyat yang berhak atas hak konstitusionalnya di bidang kesehatan tidak dapat. Jadi kenaikan iuran untuk mandiri harus dimulai dengan adanya amnesti atau relaksasi pembayaran tunggakan,” tuturnya.

Pemerintah juga diharapkan dapat menyisir peserta PBI yang salah sasaran atau yang sebetulnya bekerja atau masyarakat dari kalangan yang mampu.

“Menurut survei kesehatan Indonesia 2023 itu kan ada 35% penerima bantuan iuran itu yang adalah karyawan swasta. Nah kalau 35% itu dikeluarkan maka dia akan membayar 5%. Nah ini akan cukup signifikan meningkatkan pendapatan iuran dari penerima upah swasta,” urai Timboel.

“Jadi, yang miskin yang dinonaktifkan oleh pemerintah karena keterbatasan kuota bisa masuk, menggantikan yang 35%. Selama ini kan pendapatan utama itu dari PBI, yang Rp46 triliun. Ini nggak sehat, karena dia terkait dengan fiskal. Hal yang sistemik itu harusnya dari PPU swasta. Sehingga harus pemerintah punya upaya untuk menggenjot kenaikan iuran dari pendapatan peserta penerima upah swasta,” sambungnya.

Secara terpisah, Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sri Wahyuni meminta pemerintah untuk menjelaskan lebih detail mengenai kenaikan iuran, khususnya bagi peserta mandiri kelas 1 dan VIP yang selama ini sudah membayar iuran yang cukup besar.

“Ini perlu dijelaskan ke peserta kelas 1 dan juga VIP yang sudah lama membayar iurannya besar dengan adanya KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) mereka akan mendapatkan layanan dan fasilitas yang sama dengan kelas 2 dan 3. Perlu dijelaskan bahwa BPJS prinsip gotong royong sehingga tidak ada perbedaan,” tegas Sri Wahyuni.

Menurutnya, pemberlakuan KRIS sebetulnya bertujuan agar semua peserta mendapat standar yang sama sehingga tidak ada diskriminasi. Namun demikian, perlu diperinci teknis di lapangan mengenai pemberlakuan kebijakan baru tersebut.

“Kemudian bagaimana dengan SOP yang mengharuskan peserta rawat inap harus keluar dari rumah sakit setelah batas 3 hari? Ini kebijakan rumah sakit atau BPJS? Bagaimana dengan peserta VIP yang tetap ingin mendapatkan kamar VIP dan bersedia membayar kekurangannya, apakah ada mekanismenya?,” kata dia.

“Maka dari itu BPJS bersama pihak rumah berkewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat agar kebijakan ini dapat dimengerti dan diterima khususnya bagi peserta kelas 1 dan VIP,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah menambahkan bahwa sesuai dengan Perpres 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan, pelaksanaan Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kriteria dan penerapan KRIS diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

“Dengan demikian penerapan menunggu aturan lebih lanjut. Skema iuran sampai dengan sekarang juga masih dibahas antar kementerian dan lembaga. Sesuai dengan Perpres 59/2024 dilaksanakan evaluasi bukan hanya terkait iuran, namun mencakup manfaat dan tarif. Paling lambat (kenaikan iuran dan pemberlakuan KRIS) 1 Juli 2025 sesuai bunyi Perpres 59/2024,” tandas Rizzky. (Des/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya