Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
SEBUAH studi laboratorium baru yang dilakukan pada tikus menunjukkan primata, termasuk manusia, mungkin mengembangkan otak besar dengan bantuan mikroba yang hidup di usus.
Komunitas mikroba yang hidup di usus, dikenal sebagai "gut microbiome", diduga berperan penting dalam mendukung evolusi otak besar manusia, menurut hasil penelitian tersebut.
Dilansir dari Live Scienc, Katherine Amato, salah satu penulis studi sekaligus profesor antropologi biologi di Northwestern University, Chicago, mengatakan, "Penelitian tentang mikrobioma mulai menunjukkan bagaimana usus dan otak saling berkomunikasi untuk memengaruhi perilaku dan kesejahteraan secara keseluruhan."
"Namun, penelitian ini melangkah lebih jauh dengan menunjukkan bagaimana apa yang terjadi di usus mungkin menjadi dasar yang memungkinkan perkembangan otak kita selama proses evolusi," tambahnya.
Penelitian ini menemukan mikroba usus manusia mampu mengubah makanan menjadi energi untuk otak dengan lebih efisien. Meski begitu, penelitian ini dilakukan pada tikus dan membutuhkan banyak langkah untuk mengekstrapolasi apa yang mungkin terjadi jutaan tahun lalu saat otak kita berkembang, diakui Amato.
Selama bertahun-tahun, berbagai studi menunjukkan bagaimana "gut microbiome" memengaruhi kesehatan dan penyakit manusia, termasuk metabolisme. Mikroba usus memainkan peran penting dalam memecah makanan yang kita konsumsi dan melepaskan energi darinya. Perubahan komposisi mikrobioma usus juga dikaitkan dengan perkembangan obesitas dan kondisi terkait lainnya.
Dalam eksperimen laboratorium, para ilmuwan menginokulasi tikus dengan mikroba usus yang diambil dari sampel tinja primata berotak besar yakni manusia (Homo sapiens) dan monyet tupai (Saimiri boliviensis) atau dari makaka (Macaca mulatta), primata dengan otak yang lebih kecil. Mereka kemudian mengamati bagaimana fisiologi tikus berubah seiring waktu akibat mikroba usus baru tersebut.
Hasilnya menunjukkan tikus dengan mikroba usus dari manusia dan monyet tupai makan lebih banyak, tetapi tumbuh lebih lambat dan memiliki lemak tubuh lebih sedikit dibandingkan tikus dengan mikroba dari makaka. Tikus dalam kelompok pertama juga menghasilkan lebih banyak glukosa.
Karena otak yang lebih besar membutuhkan lebih banyak glukosa, temuan ini mengindikasikan mikroba usus mungkin mendorong inangnya untuk makan lebih banyak dan mengarahkan kelebihan energi tersebut ke otak, tulis para peneliti dalam jurnal "Microbial Genomics" pada 2 Desember.
Dalam eksperimen terpisah pada studi yang sama, sampel tinja dari tikus menunjukkan mikroba usus dari primata berotak besar menghasilkan lebih banyak molekul tertentu, seperti asam lemak rantai pendek, dibandingkan mikroba dari makaka. Molekul seperti ini kemungkinan terlibat dalam komunikasi antara usus dan otak. Penelitian sebelumnya menunjukkan asam lemak rantai pendek dapat memengaruhi fungsi otak.
Meski begitu, para peneliti menekankan temuan ini hanyalah "sepotong kecil dari teka-teki besar." Banyak pertanyaan yang masih perlu dijawab.
Katherine Amato menambahkan mikroba bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi biologi inang. Aktivitas gen tertentu pada inang, serta pola makan, juga dapat memengaruhi metabolisme dan otak. Semua faktor ini saling terkait dengan mikrobioma. Misalnya, mikroba dapat memengaruhi aktivitas gen tertentu pada inang, sementara makanan yang dikonsumsi inang dapat mengubah komposisi mikrobioma.
Amato juga mencatat sulit untuk mengetahui bagaimana mikrobioma usus nenek moyang kita berbeda dari manusia modern dan monyet dalam studi ini. Perubahan fisiologi dan pola makan selama ribuan tahun mungkin terkait dengan penyesuaian mikrobioma, yang akhirnya menjadi seperti yang kita lihat sekarang.
"Hubungan antara usus dan otak adalah salah satu temuan paling menarik dalam penelitian mikrobioma," kata Taichi Suzuki, profesor di Arizona State University, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
"Studi ini mendukung hipotesis baru bahwa variasi mikrobioma mungkin memengaruhi ukuran otak melalui perbedaan metabolisme dan alokasi energi, yang berpotensi berperan dalam evolusi otak yang lebih besar," ujarnya.
Namun, masih ada tantangan yang perlu dijawab. "Seperti yang diakui penulis, keterbatasan studi ini adalah hanya melibatkan tiga spesies primata dengan ukuran otak berbeda," kata Suzuki. "Akan sangat menarik melihat apakah pola ini tetap konsisten dengan melibatkan lebih banyak spesies untuk mengeksplorasi hipotesis menarik ini." (livescience/Z-3)
Kandungan DHA dapat mendukung perkembangan kemampuan otak dan kemampuan belajar anak.
Selama ini diyakini neuron hanya tumbuh saat kecil, namun penelitian baru menunjukkan otak orang dewasa mungkin masih bisa menumbuhkan sel otak baru.
Peneliti menemukan otak perempuan mengalami perubahan signifikan selama pubertas, kehamilan, dan perimenopause akibat fluktuasi hormon.
Saat teh celup dengan kantong teh yang terbuat dari kertas dimasukan ke air panas, sifat kertas ialah menyerap air dan akan robek saat teh diseduh atau dicelupkan di air panas.
Durasi tidur yang dibutuhkan oleh anak per harinya berbeda-beda tergantung dari usia masing-masing.
Penelitian dari MLU menemukan stimulasi listrik ringan melalui metode tDCS dapat memengaruhi kecepatan dan fleksibilitas seseorang dalam mengambil keputusan.
Primata, khususnya kera besar Afrika, merupakan kelompok hewan yang memiliki hubungan evolusi yang sangat dekat dengan manusia.
Sebuah penelitian terbaru mengungkap marmoset, primata kecil yang dikenal imut, ternyata memiliki kemampuan komunikasi yang canggih.
PETUGAS Bea Cukai Soekarno Hatta menggagalkan upaya penyelundupan tiga ekor primata melalui barang bawaan penumpang tujuan Dubai, Uni Emirat Arab.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved