Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan. Perilaku koruptif juga muncul akibat kosongnya integritas diri dan moral. Apalagi jika ditambah dengan kekuasaan yang besar yang membuka peluang untuk melakukan hal tersebut, perilaku koruptif semakin menjadi-jadi.
Perilaku koruptif lebih berkaitan erat dengan mental dan perilaku individu, bukan akibat kurangnya kesejahteraan atau gaji yang tidak mencukupi. Tingginya gaji tidak menjamin seseorang tidak melakukan korupsi.
Tengok saja sejumlah pegawai negara di sebuah institusi gemuk remunerasi, toh, masih tertangkap tangan melakukan korupsi. Begitu juga dengan mantan Kepala SKK Migas yang digaji Rp250 juta per bulan plus tunjangan lainnya, toh, tidak mampu mengerem hasratnya untuk tergoda rasuah.
Lainnya bisa disebut mantan hakim dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Selama lima tahun menjabat (2008-2003), sang hakim memperoleh penghasilan resmi sebesar Rp12,4 miliar atau jika dirata-rata senilai Rp207 juta per bulan. Namun, gaji besar itu tidak mampu mencegahnya untuk korupsi.
Lalu, ada juga mantan gubernur yang kekayaannya mencapai Rp40,8 miliar, tak juga menghentikan lajunya menuju jeruji besi karena korupsi. Masih banyak lagi jika dirunut. Karena itu, sulit diterima logika ketika Sekretaris Jenderal KPK Cahya H Harefa mendorong pemerintah pusat agar menaikkan gaji para kepala daerah dengan maksud mencegah mereka dari perbuatan korup.
Nyata-nyata terlihat bahwa gaji besar tidak menjamin perilaku koruptif para pejabat. Sistem penggajian yang diterapkan saat ini tentu sudah memperhitungkan dapat memenuhi kebutuhan kepala daerah dan kemampuan keuangan negara.
Karena itu, usul menaikkan gaji kepala daerah demi mencegah korupsi merupakan gagasan yang keliru dan tidak menyelesaikan masalah utama dalam praktik korupsi. Gagasan itu seperti berjalan dengan kaki di kepala, meletakkan kepala di kaki, alias terbalik-balik.
Ada semacam kegagalan dalam menangkap apa sebenarnya problem mendasar dari perkara korupsi yang kerap kali melibatkan kepala daerah. Korupsi seharusnya dimulai dari menyelesaikan akar masalah di hulu, bukan malah dengan menaikkan gaji yang menjadi urusan di hilir.
Dalam konteks kepala daerah, akar masalah korupsi itu ialah biaya kontestasi politik yang mahal. Biaya politik yang kelewat mahal itu pada akhirnya memaksa kepala daerah mencari pembiayaan ketika sudah terpilih untuk melunasi utang-utang yang menumpuk saat kontestasi. Perburuan pembiayaan juga dilakukan demi meneruskan karier politik jika mereka masih punya kesempatan maju kembali pada pilkada berikutnya.
Berdasarkan sejumlah kajian, biaya untuk pemenangan pilkada memang besar. Untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota, dibutuhkan sekitar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar bagi seorang kandidat untuk berlaga. Untuk posisi gubernur, dana yang harus disiapkan sekitar Rp30 miliar hingga Rp100 miliar. Padahal, gaji rata-rata kepala daerah dalam satu periode hanya sekitar Rp5 miliar.
Karena itu, tidak mengherankan jika data KPK menunjukkan dalam kurun dua dekade (2004 hingga 2024), ada 167 kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi. Banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi menunjukkan kegagalan sistem pencegahan dan pemberian efek jera (deterent effect) dalam pembrantasan korupsi di negeri ini.
Kegagalan mewujudkan efek jera terjadi karena para terdakwa korupsi divonis amat ringan oleh pengadilan. Sudah begitu, saat mereka dipenjara, beragam diskon hukuman untuk para koruptor juga terus berdatangan. Akibatnya, itu tidak memberikan terapi kejut (shock therapy) bagi calon-calon koruptor lainnya.
Oleh karena itu, selama belum ada pembenahan terkait dengan proses rekrutmen kepala daerah, tata kelola pemerintahan di daerah, serta aturan yang tegas soal perampasan aset, korupsi akan selalu terjadi. Pemerintah harus segera merevisi aturan sistem pemilihan kepala daerah yang mencegah politik biaya tinggi. Menaikkan gaji para kepala daerah bukan solusi mencegah korupsi selama sistem tidak diperbaiki.
MEMBICARAKAN kekejian Israel adalah membicarakan kekejian tanpa ujung dan tanpa batas.
SINDIRAN bahwa negeri ini penyayang koruptor kian menemukan pembenaran. Pekik perang terhadap korupsi yang cuma basa-basi amat sulit diingkari.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved