Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Separuh Hati untuk Kaum Perempuan

21/4/2025 05:00

PERJUANGAN kaum perempuan di negeri ini adalah perjuangan yang panjang, bahkan teramat panjang. Ketidaksetaraan masih menjadi isu utama dalam relasi antara perempuan dan laki-laki. Suka atau tidak suka, dunia masih dikuasai laki-laki. Terima atau tidak, budaya patriarki masih kuat membelit bangsa ini.

Padahal Raden Ajeng (RA) Kartini telah memperjuangkan emansipasi sejak lebih dari satu abad silam. Namun, perjuangan kesetaraan masih sekadar pemanis pidato setiap memperingati Hari Kartini. Emansipasi kerap menjadi basa-basi retorika politik. Setelah pidato selesai, dunia kembali berputar dengan berpusat pada hegemoni maskulinitas. Perempuan, lagi-lagi, terabaikan.

Di berbagai sektor, perempuan masih banyak termarginalkan atau dimarginalkan. Di bidang politik, misalnya, meskipun kebijakan afirmasi untuk menciptakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam politik sudah diundangkan, faktanya teramat sulit untuk mewujudkan itu.

Contohnya, pada Pemilu 2024 lalu, sebanyak 17 dari 18 partai politik peserta pemilu tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% di setiap daerah pemilihan. Itu artinya hanya satu partai politik yang memenuhi kuota minimal pencalonan anggota legislatif perempuan 30%. Lantas bagaimana kita berharap keterwakilan perempuan di bidang politik yang signifikan untuk mendorong sebuah agenda perubahan?

Di sektor lain, diskriminasi terhadap kaum perempuan juga masih banyak terjadi. Ancaman, pelecehan, dan kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi tembok persoalan yang seolah tak bisa dibongkar. Bahkan itu masih masif terjadi hingga kini ketika Republik ini sudah punya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Tidak di rumah, tidak di ruang-ruang pendidikan, kesehatan, perempuan kerap menjadi korban kekerasan dan kejahatan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Seakan tidak ada ruang aman bagi perempuan. Jangankan untuk memperjuangkan kesetaraan, sekadar berjuang demi keamanan dan kenyamanan hidup mereka saja perlu pengorbanan besar.

Karena itu, perjuangan kaum perempuan jelas masih panjang. Butuh effort yang luar biasa untuk bisa menempatkan kaum perempuan seperti cita-cita Kartini, yakni berdiri setara dan sejajar dengan kaum laki-laki. Negara harus serius menangani ini, apalagi persoalan yang mendera kaum perempuan seperti tak kunjung menemukan jalan keluar.

Akan tetapi, semata berharap kepada negara untuk serius memberdayakan perempuan ibarat kita berharap seekor rusa memenangi pertarungan melawan singa. Bukan mustahil memang, tapi harapannya sangat kecil. Mengapa begitu? Lihat saja dari satu contoh, yakni perjalanan panjang RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Itu adalah regulasi untuk melindungi profesi yang hampir semuanya dilakukan kaum perempuan.

Meski sudah diajukan ke DPR sejak Februari 2004, atau lebih dari 20 tahun lalu, RUU itu masih belum bisa memantik selera wakil rakyat untuk segera mengesahkannya. Sudah 21 tahun lamanya RUU itu digantung tanpa kejelasan. Sampai hari ini pun kita belum melihat ada iktikad baik, terutama dari pimpinan DPR yang notabene dikomandani seorang perempuan, untuk segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut.

Apabila tidak ada kesadaran kolektif bangsa untuk serius memberdayakan perempuan, yang terutama mesti diorkestrasi oleh negara, kaum perempuan di Indonesia akan tetap berada di tempat dan posisi yang sama, teronggok di sudut-sudut ruang publik yang terus dikuasai budaya patriarki. Tanpa negara hadir memberikan perlindungan kepada mereka, perempuan bakal terus terpinggirkan.

Tak dimungkiri Indonesia punya perempuan-perempuan hebat yang bisa menjadi kekuatan untuk mengubah nasib mayoritas kaum hawa. Namun, itu bukan alasan bagi negara untuk absen menghadirkan perlindungan dan kesetaraan bagi kaum perempuan. Sungguh memalukan, sudah lebih dari satu abad Kartini memperjuangkan perempuan yang berdaya, tapi sampai hari ini negara masih setengah hati mewujudkannya.

 



Berita Lainnya