Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Jangan Paksakan PPN 12%

23/12/2024 05:00

PENOLAKAN atas penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025 makin kuat pascapengumuman keputusan pemerintah tetap memberlakukan rencana kebijakan tersebut. Alasan pemerintah bahwa penaikan PPN bakal disertai berbagai stimulus dan kompensasi bagi masyarakat rentan nyatanya tidak mampu meredakan keberatan publik.

Pemerintah memang telah memberikan pengecualian pengenaan PPN 12% terhadap barang dan jasa yang dinilai sebagai kebutuhan pokok. Artinya, barang lain yang merupakan mayoritas barang yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari bakal kena penaikan PPN dari 11% saat ini menjadi 12% bulan depan.

Barang-barang tersebut mulai dari sabun mandi, minyak goreng kemasan selain Minyakita, garam kemasan, sabun cuci, pasta gigi, paket data ponsel, air minum kemasan, pembersih lantai, deodoran, dan seterusnya. Daftarnya masih panjang, bahkan sampai pada pakaian atau sandang yang sejak dulu disebut sebagai kebutuhan primer alias pokok.

Dalam pembedaan kategori barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN pun pemerintah masih gamang. Pemerintah belum menetapkan perincian barang dan jasa premium yang tetap dikenai PPN. Misalnya, apakah beras premium yang dikonsumsi masyarakat luas termasuk yang dikecualikan dari PPN atau tidak?

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan beras premium tidak kena PPN, tetapi Kepala Bapanas Arief Prasetyo hanya menyebut beras medium ke bawah sebagai golongan beras yang dikecualikan.

Pemerintah begitu kukuh menerapkan kebijakan yang menambah beban masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja. Gelombang PHK masih terjadi. Masyarakat juga sulit mencari pekerjaan. Hingga kini, belum ada tanda-tanda pemulihan jumlah kelas menengah yang tergerus hebat sejak pandemi covid-19.

Sikap keras pemerintah sungguh layak dikritik. Alih-alih menempuh langkah simpel dengan menunda penerapan PPN 12%, pemerintah malah memilih jalan yang ribet dan lebih banyak menyedot uang negara.

Dalam suatu kesempatan, Kementerian Keuangan menyebut tambahan penerimaan uang negara dari penaikan PPN menjadi 12% tahun depan sebesar Rp75 triliun. Akan tetapi, biaya kebijakan pengecualian dari PPN, berbagai stimulus, dan kompensasi yang digelontorkan pemerintah terkait dengan penaikan PPN mencapai Rp445,5 triliun.

Belum lagi efek domino terhadap industri. Sebagai contoh pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang jelas-jelas sudah amat terpuruk. Berbagai stimulus tidak akan banyak membantu bila produk mereka tidak terbeli karena konsumen semakin selektif berbelanja akibat harga barang naik.

Dalih pemerintah bolak-balik bahwa penaikan PPN dari 11% saat ini menjadi 12% mulai awal tahun depan merupakan amanat undang-undang. Padahal, berkali-kali pula pemerintah diingatkan bahwa penerapan tarif PPN sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) masih dapat diubah tanpa merevisi beleidnya.

Pasal 7 UU HPP ayat (1) memang mengatur jadwal penaikan PPN, yakni menjadi 11% per 1 April 2022 dan naik ke 12% paling lambat 1 Januari 2025. Akan tetapi, pada pasal yang sama ayat (3) dan ayat (4), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15%.

Pemerintah tinggal menyampaikan perubahan tarif itu kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan rancangan anggaran dan pendapatan negara (RAPBN). APBN 2025 memang sudah ditetapkan, tetapi masih ada peluang revisi lewat RAPBN perubahan.

Ini hanya persoalan kemauan politik pemerintah dan DPR untuk benar-benar memperhatikan beban ekonomi masyarakat. Tidak usah dikhawatirkan bahwa dalam UU HPP hanya disebut RAPBN, bukan RAPBN perubahan. Toh, pemerintah juga bisa mengecualikan sejumlah barang dan jasa dari pengenaan PPN 12%, kendati tidak masuk dalam daftar pengecualian yang diatur dalam UU HPP.

Masih banyak jalan meningkatkan penerimaan negara lewat perpajakan tanpa menggencet masyarakat kebanyakan. Kalau tidak mampu merumuskan, pemerintah bisa meminta kajian kepada otak-otak gemilang yang bertebaran di kalangan praktisi hingga akademisi. Satu yang publik pinta, berempatilah, wahai penguasa.

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik