Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
AMNESTI kepada narapidana dan kapasitas penjara memang dua hal yang terkait, meskipun telah terang benderang bahwa pemberian amnesti bukanlah jawaban untuk masalah over capacity penjara atau lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Pemberian amnesti yang hanya demi angka dapat menjadi bumerang. Bukan saja bisa jatuh kepada narapidana yang salah, pemberian amnesti semacam itu akan meleset dari prinsip utama pengampunan atau penghapusan hukuman tersebut. Sebab, amnesti sebenarnya bukan hanya tentang pengampunan terhadap terpidana yang bersangkutan. Amnesti adalah instrumen untuk rekonsiliasi, rehabilitasi, sekaligus menegakkan prinsip keadilan berdasarkan kemanusiaan.
Maka, amnesti yang tepat bukan hanya memberikan pengampunan dan pemulihan kehidupan bagi mereka yang berhak, melainkan juga mendorong peradilan yang lebih baik di masa mendatang. Hal-hal itulah yang sangat kita tekankan pada rencana Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana.
Dari keterangan pers Menteri Hukum Supratman Andi Agtas seusai rapat terbatas yang dipimpin Presiden, Jumat (13/12), angka yang diusulkan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan ialah 44 ribu narapidana. Angka usulan itu memang masih dalam proses asesmen dan kemudian akan dimintakan pertimbangan kepada DPR. Namun, kita tidak perlu kaget jika mungkin tidak akan berubah jauh, dan berarti menjadi yang terbesar dalam sejarah amnesti di Indonesia.
Sebelumnya, kita memang tidak asing dengan pemberian grasi massal yang mencapai ratusan. Namun, jika grasi adalah pengurangan hukuman, amnesti adalah penghapusan semua hukuman pidana terhadap orang yang bersangkutan. Sesuai dengan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, sifat kesalahan dari terpidana tersebut juga hilang.
Angka usulan yang begitu besar mudah dimaklumi berkorelasi dengan besarnya kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan (LP). Menurut laman Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Publik Ditjen Pas, per 1 Oktober 2024, total penghuni rutan dan LP sudah 190% dari kapasitas semestinya. Data lain pada April 2024 menyebutkan bahwa sekitar 52% penghuni penjara merupakan terpidana maupun tahanan kasus penyalahgunaan narkoba.
Kasus-kasus itulah yang menjadi sasaran utama penerima amnesti. Andi Agtas juga memastikan bahwa pengedar, apalagi bandar, tidak akan menjadi penerima amnesti. Pengguna narkoba yang menerima amnesti juga dikatakan yang semestinya bisa mendapatkan rehabilitasi. Itu di antaranya ditunjukkan dari kepemilikan narkobanya hanya di bawah 1 gram, sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung (MA). Meski begitu, ia mengakui pula bahwa jika MA mengubah batas kepemilikan menjadi di bawah 5 gram, jumlah penerima amnesti bisa lebih banyak lagi.
Di samping itu, target lain penerima amnesti ialah narapidana yang sudah uzur dan memiliki kondisi medis yang membutuhkan perawatan, seperti penderita HIV/AIDS. Para aktivis Papua yang dipidana karena ekspresi dan dinyatakan makar tapi tidak terlibat dalam aksi bersenjata, juga diberikan amnesti. Jumlahnya disebutkan 18 orang. Kemudian, amnesti direncanakan pula untuk beberapa narapidana kasus informasi dan transaksi elektronik (ITE), yang terkait dengan penghinaan kepala negara.
Sekali lagi, bukan soal angka yang dipermasalahkan. Kita sepakat dengan pemberian amnesti bagi kelompok yang disebutkan itu, bahkan jika jumlahnya ternyata lebih besar. Namun, segala persyaratan mesti jelas-jelas terpenuhi. Jika itu yang terjadi, mereka pun layak mendapatkan amnesti.
Kendati demikian, kita juga tidak naif akan adanya upaya ‘napi boncengan’ yang tidak layak menerima amnesti seperti dalam langkah progresif pemerintah ini. Bahkan, tanpa adanya upaya nakal itu pun, pemerintah bisa saja tidak jeli dalam memberikan pengampunan.
Kita harus berkaca pada sejumlah bumerang grasi di pemerintahan sebelumnya. Misalnya, grasi Presiden SBY terhadap terpidana mati kasus narkoba Meirika Franola. Setelah selamat dari hukuman mati, Franola malah mengendalikan peredaran narkotika internasional sembari menjalani hukuman seumur hidup.
Kita juga belum lupa pada mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang hanya setahun setelah bebas dengan grasi, ia terjerat lagi oleh KPK untuk kasus korupsi. Meski kasus kedua Annas juga bagian dari kasus lamanya, pemberian grasi butuh kejelian lebih.
Dengan begitu, pemberian amnesti yang menghapuskan pula sifat kesalahan terpidana harus berkali lipat lebih jeli. Jangan sampai pemberian amnesti justru berdampak buruk terhadap pengusutan kasus lain yang mungkin masih terkait pada terpidana tersebut.
Sebab itu, sebanyak apa pun terpidana yang akan mendapat amnesti, transparansi harus diutamakan. Bahkan, sudah sepantasnya pula daftar nama calon penerima amnesti terbuka dalam saluran yang bisa diakses publik. Program yang baik mesti dijalankan dengan cara yang baik dan tepat pula, tanpa menyisakan celah.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved