Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
PUBLIK akhirnya bisa mengembuskan napas kelegaan setelah beberapa hari disuguhi drama yang mengocok perut. DPR akhirnya bisa legawa dan menerima peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengadopsi putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK menjadi momentum bagi rakyat untuk bersuara. Publik bisa seia sekata dalam bersikap. Sayangnya, sikap rakyat itu berbeda dengan kelakuan sejumlah elite di lembaga wakil rakyat. Segelintir anggota lembaga DPR nyaris menyabotase putusan MK yang merupakan garda konstitusi. Sebagian anggota DPR justru hendak bertolak belakang dengan rakyat.
Di kala masyarakat bersukaria dengan putusan MK, para elite malah merasa seperti ditampol. Bahkan, keriangan masyarakat disambut anggota DPR dengan membahas hingga nyaris mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Hebatnya, proses revisi hingga pengesahan direncanakan kelar dalam satu hari.
Semesta tidak mendukung permufakatan tersebut. Upaya rapat paripurna kandas lantaran jumlah peserta tidak kuorum. Rapat yang berlangsung di saat masyarakat yang mengepung kawasan kompleks DPR harus berhadapan dengan aparat keamanan. DPR pun pada akhirnya luluh dan mau bersepakat dengan kehendak rakyat.
Kemarin, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR dengan KPU, para wakil rakyat ini juga tak tampak melayangkan keberatan dan protes untuk menyepakati PKPU yang berlandasakan pada putusan MK. Dengan kesepakatan itu, KPU bisa bertindak cepat untuk segera memastikan dan menyosialisasikan PKPU ke daerah sebelum masa pendaftaran calon pasangan kepala daerah pada 27 Agustus.
Rakyat tentu patut mengapresiasi dan menghargai kelegawaan para politikus itu, meski sikap tersebut datang harus melalui tekanan massa dulu. Namun, publik tetap tak boleh lengah. Sebab, putusan MK hanyalah terkait dengan syarat pencalonan kepala daerah, baik syarat mengenai batas usia maupun syarat ambang batas (threshold) suara parpol atau gabungan parpol dalam mengusung pasangan calon kepala daerah.
Putusan MK pada hakikatnya ialah memberikan keadilan dalam pilkada. Jangan sampai aturan pilkada hanya menguntungkan pihak yang berkuasa. Karena itu, pengawalan oleh publik belum bisa dikendurkan. Bedanya, kalau kemarin semangatnya demi mengawal putusan MK, ke depan menjadi mengawal pilkada jujur dan bersih.
Persoalan pilkada bukan sekadar persoalan yang telah diputuskan oleh MK. Pilkada juga bukan hanya soal memilih pemimpin di daerah, melainkan juga sebuah proses pembelajaran demokrasi. Ada penguatan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, partisipasi, dan penghormatan terhadap perbedaan pandangan dan pilihan politik yang harus diperjuangkan melalui pilkada.
Pilkada merupakan sebuah proses demokrasi yang memungkinkan bagi rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung. Ia juga berperan dalam konsolidasi demokrasi di tingkat lokal sekaligus menjadi salah satu indikator dalam proses regenerasi elite politik lokal.
Karena itu, keberhasilan atau kegagalan pilkada juga mencerminkan tingkat demokratisasi di suatu daerah. Proses yang adil, inklusif, dan transparan mencerminkan demokratisasi yang kuat. Proses sebaliknya hanya memperlihatkan kemunduran demokrasi.
Penerimaan perbedaan di antara masyarakat juga dapat berwujud pada sikap penerimaan hasil pilkada. Urusan menang-kalah adalah milik kandidat, bukan rakyat. Jangan ada lagi polarisasi apalagi konflik di publik hanya karena proses dan hasil pilkada. Perbedaan pandangan politik di tengah masyarakat haruslah bisa tuntas setelah menggunakan hak pilih masing-masing di bilik suara.
Masyarakat merindukan pemimpin yang terpilih dari proses yang adil, jujur, dan demokratis. Rakyat hanya perlu memastikan proses pemilihan yang bebas dan adil, seperti pemberian akses untuk menggunakan hak pilih tanpa ada diskriminasi. Sekali lagi, 'kemenangan' yang baru saja diperoleh rakyat bukan menjadi alasan untuk kita mengendurkan pengawalan dan pengawasan hingga seluruh proses tahapan pilkada usai.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved