Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
LANGKAH Mahkamah Konstitusi (MK), yang dinilai berbagai kalangan sebagai bagian untuk menyehatkan demokrasi, ternyata tak disambut baik oleh semua pihak. Justru sebaliknya, ada lembaga tinggi negara yang punya tafsir sendiri, lantas memilih berseberangan, padahal konstitusi menggariskan bahwa putusan MK wajib dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh siapa pun tanpa terkecuali.
Lembaga yang bersimpang jalan dengan MK itu ialah DPR. Perbedaan terang dan gamblang mereka tunjukkan dalam menyikapi putusan terkait dengan ambang batas pencalonan kepala daerah dan usia minimal calon kepala daerah.
Dua hari lalu, MK membuat putusan perihal dua masalah itu. Untuk ambang batas, majelis hakim MK memutuskan bahwa pencalonan kepala daerah dari partai politik atau gabungan partai politik tidak lagi sebesar 25% perolehan suara hasil pileg DPRD sebelumnya atau 20% kursi DPRD. Ketentuannya disamakan dengan ambang batas calon perseorangan.
MK juga menolak mengubah syarat umur calon kepala daerah, dari dihitung saat penetapan menjadi ketika pelantikan. Perubahan ini sebelumnya diputuskan Mahkamah Agung dalam uji materi peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, dengan putusan MK, usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota dihitung pada saat penetapan calon, bukan saat pelantikan.
Dua putusan itu menuai simpati. MK diapresiasi karena telah memulihkan muruahnya yang remuk setelah mengubah ketentuan batas usia calon wakil presiden yang melempengkan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menuju kursi wakil presiden.
Putusan MK kali ini seperti vitamin bagi demokrasi yang sedang kepayahan. Mereka yang berakal sehat rasanya mustahil untuk tak menyambut baik putusan itu. Akan tetapi, realitasnya, tak semua satu frekuensi dengan MK. Padahal, sebagai penjaga konstitusi, putusan MK adalah konstitusi juga.
Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR kemarin, seluruh fraksi di DPR kecuali PDIP punya tafsir sendiri, sikap sendiri. Untuk batas usia calon kepala daerah, mereka memilih mengikuti putusan MA. Untuk ambang batas pencalonan kepala daerah, mereka menyepakati putusan MK hanya berlaku bagi partai nonkursi DPRD. Adapun bagi parpol pemilik kursi berlaku ketentuan lama. Wakil pemerintah pun mengamini.
Begitulah situasi ketatanegaraan di Republik ini. MK yang membuat keputusan, DPR yang mengingkari. MK menghasilkan ketentuan, DPR coba-coba membuat tafsir sendiri. Sehatkah? Jelas tidak.
Sebuah negara hanya bisa tertib jika semua orang menaati aturan. Aturannya, MK adalah lembaga tinggi yang oleh negara diberi hak dan kewenangan untuk menafsirkan undang-undang terhadap UUD 1945. Aturannya, setiap putusan MK bersifat final dan mengikat. Final berarti tidak ada lagi upaya hukum untuk mengujinya. Mengikat berarti semua anak bangsa wajib mematuhinya. Siapa dia, apa pun jabatannya, setinggi apa pun kedudukannya. Suka tidak suka, mau tidak mau, menguntungkan atau merugikan, tidak ada urusan.
Aturannya, putusan MK adalah untuk dilaksanakan, bukan ditafsirkan sesuai kepentingan. Maka, aneh, sangat aneh, jika ada lembaga negara lebih memilih menafsirkan, lalu menolak mematuhi, bahkan berlawanan dengan putusan MK.
Sikap seperti itu jelas merupakan preseden buruk, sangat buruk, dalam kepatuhan terhadap hukum. Apa jadinya negeri ini jika mereka yang semestinya menjadi pelopor dalam memuliakan hukum malah menistakannya? Bagaimana nasib bangsa ini jika lembaga pilar demokrasi justru unjuk kekuasaan menghalangi upaya penguatan demokrasi? Kita berharap semoga kekacauan tidak terjadi.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved